Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 7

Ruangan ini kembali gelap, pengap tanpa pencahayaan matahari dengan tirai putih itu sudah tertutup sepenuhnya.

Zaara meringkuk di atas sofa, menyembunyikan wajahnya.

Sedangkan di luar suara ketukan dari Nathan terus menggema, lalu berhenti saat salah satu dari penghuni Apartemen di lantai ini menegurnya.

Keputusannya untuk membuka mata, keluar dari ruangan pengapnya adalah salah besar. Zaara tidak hentinya meratapi kebodohannya, tidak ada yang bisa mengubah masa lalunya beberapa tahun lalu semua sudah terjadi, perasaan bersalah masih mendarah daging di sanubari terdalamnya.

***

Nathan terduduk di atas sofa empuk kediamannya, menatap kosong ke depan tampak tirai berwarna abu itu tergerai karena hembusan angin yang terasa cukup kencang.

Masih teringat jelas saat melihat kemarahan Zaara, wanita itu tampak menyembunyikan kepedihan mendalam di dalam relung hatinya, mencoba menyembunyikan dengan menutup semua akses kehidupannya.

"Apa yang pernah terjadi padamu, Zaara ?" Gumamnya.

Drrt..Drrt..

Ponsel di saku celana Training pendeknya bergetar, Nathan mengambil dengan segera takut kalau ada panggilan darurat dari Rumah sakit.

"Ya Halo, Sya?" Jawabnya.

Nafasnya terdengar lega, ternyata Anastasya hanya bertanya mengenai jadwal nanti malam.

"Tidak perlu Sya, Apartemenku dekat dari rumah sakit" Jawab Nathan.

Ia tampak enggan untuk menjawab pertanyaan wanita itu, hingga memutuskan panggilan ini sepihak

Tubuhnya bangkit dari sofa hitam di ruang tamu, lalu kakinya melangkah menuju ke dapur untuk mengambil sereal di dalam lemari untuk mengisi perutnya yang sejak tadi belum terisi.

Disiapkan mangkuk berukuran sedang yang baru diambil dari rak nakas di sebelah kiri tempatnya berdiri, lalu mengambil susu cair di dalam lemari pendingin. Kemudian dituangkannya ke dalam mangkuk.

Lagi, ia tampak termenung memikirkan tetangga sebelah.

"Apa Zaara sudah sarapan?" Gumamnya.

Helaan nafasnya terdengar berat, ia suapkan sereal ini tergesa-gesa untuk segera keluar, lalu membeli sesuatu.

*

"Selamat siang, Mas Nathan" Sapa Pak Samudi.

Nathan menganggukkan kepala, sedikit bergumam dalam hati saat melihat penjaga keamanan ini masuk di siang hari.

"Oh saya ada urusan keluarga Mas jadi masuk siang" Ucap Pak Samudi.

Nathan mengerutkan keningnya, menatap tidak percaya saat laki-laki ini menjawab pertanyaannya yang baru saja terlintas di dalam hati.

Nathan lalu mendekati Pak Samudi, karena merasa penasaran akan sesuatu.

"Pak saya boleh bertanya?" Tanya Nathan.

Pak Samudi menganggukkan kepala, senyum lebar tersimpul di bibir tebal kehitamannya.

"Bapak sudah lama kenal dengan Zaara ?" Tanya Nathan.

"Oh, Non Zaara. Tentu saja, karena dia penghuni paling cantik di Komplek kita" Jawabnya.

Nathan berusaha mengorek sesuatu dari laki-laki paruh baya ini, karena tidak mungkin bertanya kepada Zaara.

"Apa Zaara memang sejak dulu pendiam ?" Tanyanya.

Pak Samudi mencoba mengingat kembali waktu pertama melihat wanita itu.

"Sebenarnya Non Zaara sebelumnya pernah tinggal disini beberapa tahun lalu, dia sangat ramah dan ceria tapi setelah kembali lagi untuk menempati Unit Apartemen 101, tiba-tiba saja sikapnya berubah" Jawab Pak Samudi.

Nathan tertegun mendengar setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki ini, sudah bisa ia pahami kalau Zaara bukanlah wanita yang tertutup sejak awal, tapi ada sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu.

"Kalau begitu saya ke Minimarket dulu, Pak" Ucap Nathan.

Pak Samudi menganggukkan kepala.

Kaki Nathan melangkah menuju ke Minimarket dengan Gedung Apartemen ini.

*

Setelah baru saja naik ke lantai sepuluh, Nathan menghentikan langkah kakinya saat melihat Anastasya sudah berada di depan pintu kediamannya.

Wajahnya tampak tidak suka, entah sejak kapan mungkin saja saat Zaara melihat kebersamaan mereka beberapa malam lalu, atau dirinya takut kalau wanita sebelah semakin menjauhi dirinya.

Kaki Nathan melangkah mendekati Wanita itu yang sudah tampak cantik dengan Blouse merah muda serta rok plisket hitam di tubuhnya, tapi Nathan tidak tersentuh sama sekali baginya hanya Zaara lah yang bisa menggetarkan hatinya yang tidak pernah tersentuh.

"Ada apa kesini, Sya ?" Tanya Nathan.

Anastasya menyibak senyuman manis, mencoba meraih tangan Nathan yang biasa ia sentuh, tapi kali ini berbeda. Nathan menolak sentuhan darinya, sehingga membuat dirinya malu.

"Aku hanya ingin mengunjungi mu saja" Jawab Anastasya.

Nathan tampak dingin, ditambah Zaara masih belum juga membuka pintu itu sejak tadi pagi.

"Aku ingin beristirahat, kamu bisa ke Apartemen Doni saja" Jawab Nathan.

Wanita ini tertegun, tanpa mengucapkan kalimat selanjutnya saja ia sudah tahu kalau Nathan mengusirnya secara halus. Tapi, Anastasya tetap seorang yang tidak tahu malu, ia akan tetap berusaha menempel dengan Nathan memaksakan kehendaknya.

"Sya, aku lelah. Bisakah mengajak Doni saja" Celetuk Nathan terlihat jengah dengan wanita ini.

Deru nafas dokter internship ini tertahan, dengan satu tangan mengepal, dan satu lagi meremas rok hitamnya.

"Maaf, aku benar-benar lelah. kamu bisa pulang saja, nanti malam saja sampaikan apa yang ingin disampaikan" Ucap Nathan.

Wanita ini menyeringai, mencoba tetap anggun.

"Baiklah, aku pulang dulu ya" Jawabnya dengan suara lembut.

Nathan mengerjapkan kedua matanya, kakinya melangkah lalu memutar kenop pintunya.

TAP !

Pintu tertutup rapat.

Anastasya terdiam mematung di depan pintu ini, meremas rok dengan kedua telapak tangannya.

Raut wajahnya tampak tidak suka, karena Nathan tidak pernah bersikap kasar seperti tadi. Gigi-giginya terdengar menggertak, deru nafasnya kasar.

***

Di dalam Apartemen kecilnya, Zaara baru saja membuka kedua matanya setelah tertidur beberapa jam. Kemudian duduk, lalu meregangkan sedikit tubuhnya, setelah itu kakinya melangkah menuju ke dalam kamar mandi.

Gemericik suara air terdengar dari kran air yang baru saja menyala, tubuhnya berdiri tegak tepat dibawah derasnya air yang mengalir.

Tubuhnya mematung, dengan kepala tertunduk. Perlahan kedua matanya terpejam..

"Zaara, jangan tinggalkan aku !" Pekik suara wanita itu terdengar kembali.

Sontak tubuhnya terduduk di atas lantai basah, dengan siraman air yang menusuk kulit mulusnya.

"Aku minta maaf.." Erangnya.

Perasaan bersalah yang tidak pernah pias dari relung hatinya, membuat hatinya tersiksa setiap detiknya.

Air matanya berderai bercampur dengan air yang terus mengalir deras.

Suara erangannya terdengar, menangis sesenggukan tanpa bisa ia tahan.

*

Setelah membersihkan diri, mengenakan pakaian ternyaman di tubuhnya. Zaara melangkahkan kaki menuju ke dapur untuk membuat Mie instan, tapi ternyata di dalam nakas dapur sudah habis.

"Aku belum beli lagi" Gumamnya.

Kepalanya tertunduk, lalu melihat jam dinding disana.

"Masih pukul empat sore" Gumamnya.

Ia lalu duduk di atas sofa, menunggu langit lebih gelap agar bisa pergi ke Minimarket.

***

Pukul 20.45.

Di dalam Apartemennya, Nathan tengah bersiap untuk berangkat bekerja.

Diambilnya kemeja hitam berlengan panjangnya, lalu digelung nya hingga batas siku kedua tangannya.

Kakinya kembali melangkah untuk mengambil Tas dukung berwarna birunya yang sudah terletak diatas meja kerja di dalam kamar ini, ia dukung di kedua pundaknya.

Kakinya lalu melangkah, menuju ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil kantong plastik berisi sesuatu yang sudah ia beli tadi siang di minimarket.

*

CEKREKK

Kakinya melangkah lalu terhenti tepat di depan pintu Tetangga sebelah.

Nathan menatap dengan lekat pada pintu yang masih tertutup ini, menatap berharap akan terbuka.

"Buka, Buka,.." Mulutnya bergumam, seperti membaca mantra.

CEKREKK

Pintu ini terbuka, senyuman sontak tersibak di bibir nya.

Tubuh wanita di depannya mematung, membeku tidak dapat bergerak.

Sepersekian detik, mereka tersadar.

Nathan mengangkat tangan kanannya, meraih tangan mungil Zaara. Tanpa penolakan, wanita ini seakan terhipnotis.

Sentuhan lembut tangan Nathan membuat sekujur tubuhnya nyaman.

Lalu tangan kiri Nathan yang baru saja meletakkan kantong plastik di lantai merogoh saku celana Chino hitamnya, mengeluarkan plester luka bergambar karakter kartun yang lucu.

"Tangan kamu terluka" Gumam Nathan, sembari mengusap telapak tangan mulus Zaara.

Kedua kelopak mata Zaara mengerjap, sekali lagi suara laki-laki ini berhasil menenangkan hatinya yang rapuh.

Masih dengan telapak tangan yang terus menggenggam tangan mungil ini, Nathan perlahan melepaskan perekat pada Plester ini lalu ia tempelkan pada pergelangan tangan Zaara yang terluka.

Kedua manik cokelat hazel Zaara tanpa berkedip, menatap penuh kekaguman.

"Kamu sudah makan?" Tanya Nathan.

Zaara spontan menggelengkan kepalanya, Nathan memberikan kantong plastik besar berisi makan cepat saji yang cukup sehat seperti sereal dan lainnya.

"Aku letakkan di dalam ya?"Ucap Nathan.

Zaara menganggukkan kepala.

Nathan perlahan melepaskan genggaman tangannya pada Zaara untuk meletakkan kantong plastik ini.

Lalu kembali lagi keluar, kemudian menutup pintu Apartemen Zaara dengan rapat.

"Aku ajak makan diluar ya? Aku juga belum makan" Ucap Nathan.

Zaara menganggukkan kepala.

Telapak tangan Nathan menggenggam telapak kiri Zaara, lalu kaki mereka melangkah.

TAP

Langkah kaki Zaara terhenti saat melihat wanita yang sering ia lihat sudah berada di depan mereka berdua.

Telapak tangannya berusaha melepaskan genggaman Nathan, tapi laki-laki ini terus menggenggam tangannya dengan erat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel