CHAPTER 3
Apartemen Zaara Hayat, Pukul 01.15.
Jemari lentiknya dengan lancar bermain di atas papan ketik yang ada pada laptop hitam yang sudah tujuh tahun lamanya menemaninya, tepatnya di tahun pertama saat dirinya menginjak dunia kampus untuk pertama kali.
Laptop hitam ini adalah hadiah dari Ibu Rosi, yang merupakan ibu asuh pemilik panti asuhan tempat tinggalnya sejak dirinya masih berusia satu hari hingga ia menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya.
Zaara sedang mencoba menulis cerita dengan karakter tokoh utama pria yang diinginkan oleh penulis yang sudah memakai jasanya sejak dua tahun yang lalu.
Tapi tiba-tiba saja jemarinya berhenti bermain pada papan ketik ini. Otaknya tiba-tiba aja menjadi kosong, dan tidak tahu harus menulis kalimat apa.
"Cerita romantis? aku sungguh tidak bisa menulisnya" Gerutunya.
Kedua tangannya terangkat, kemudian telapak tangan diusap tepat di wajah cantiknya.
Setelah itu, ia beranjak dari atas kursi berbahan kayu ini, lalu melangkah menuju dapur untuk membuat mie instan yang sudah dibelinya tadi di minimarket.
Diambilnya panci stainles yang tergantung di atas meja dapur, kemudian dinyalakan kran air untuk mengisi panci ini hingga memenuhi setengah. Setelah itu dinyalakan kompor, lalu ia masukkan mie instan yang akan disantapnya tengah malam ini.
Kebiasaan makan makanan instan seperti ini sudah Zaara lakukan sejak dua tahun lalu, ketika dirinya memutuskan untuk menutup diri dari dunia luar dan berjanji tidak akan bertemu dengan orang lain lagi. Padahal sebelum kejadian itu, Zaara adalah gadis yang ceria, terbuka, dan selalu tersenyum.
Dituangkan mie instan yang sudah tiga menit diseduh nya ke dalam mangkuk berbahan keramik ini, lalu ia bawa menuju ke meja makan sembari menyelesaikan beberapa kalimat untuk bab awal novel yang sedang ia kerjakan.
***
Di lain tempat, tepatnya di Rumah sakit Swasta terbesar tengah kota.
Dokter Internship Nathan Chaiden, tengah sibuk merawat dan memeriksa pasien yang baru saja mengalami kecelakaan.
Tampak suasana di dalam ruangan pertolongan pertama ini sudah dipenuhi oleh para pasien yang mengalami berbagai keluhan, malam ini adalah malam paling sibuk yang pernah ia jalani selama menjadi seorang dokter Internship sehingga tidak ada waktu bagi nya bahkan untuk duduk sejenak.
Para perawat beserta dokter Internship yang bertugas satu lagi, yaitu Anastasya terlihat sibuk dengan melakukan pengobatan dengan merawat bergantian para pasien yang baru saja berdatangan ke rumah sakit.
Tapi, ditengah keriuhan yang sedang terjadi, sorot mata seorang Anastasya tidak lepas menatap mengarah kepada Nathan yang tampak fokus berusaha menyelamatkan para pasien.
Anastasya sendiri sudah mulai menyukai Nathan sejak awal perkuliahan mereka, ia selalu kagum dengan lelaki tampan itu.
Selain karena Nathan adalah mahasiswa terbaik di kampus, ia juga sangat menyukai kepribadian Nathan yang selalu baik kepada siapapun.
Tapi, Anastasya hanya menyembunyikan perasaan ini di dalam lubuk hatinya dan akan ia utarakan saat mereka sudah menjadi dokter spesialis nantinya, karena ia percaya dengan semua kerja kerasnya yang terus berada disamping Nathan, laki-laki itu juga memiliki perasaan yang sama kepadanya.
"Dok, selang infusnya sudah terpasang" Ucap Perawat wanita, yang memecahkan keheningan.
Anastasya kembali dengan pasien yang sedang ia tangani sekarang, tengah melakukan perawatan dan pengobatan dengan sebaik mungkin.
***
Zaara terus memegangi perutnya, yang tiba-tiba saja merasakan sakit luar biasa setelah memakan mie instan.
Tubuhnya terus meringkuk di atas sofa putih ini, dengan terus mengerang kesakitan, bahkan air matanya terus membasahi pipi.
Tubuhnya perlahan beranjak dari atas sofa untuk meraih jaket hitamnya yang tergantung di balik pintu kamar, karena ia sudah tidak bisa menahan rasa sakit ini dan harus melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit sekarang.
Jaket ini ia kenakan di tubuhnya, kemudian kakinya melangkah dengan terus membungkukkan tubuh untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, Setelah itu diambilnya dompet merah mudanya di atas meja.
"Ahh" Erangnya, saat perutnya terasa melilit.
Kakinya kembali melangkah segera keluar dari dalam tempat tinggalnya.
TAP ( Suara Pintu Tertutup)
Kakinya melangkah perlahan, berjalan untuk segera masuk ke dalam Elevator itu.
Setelah Pintu terbuka, ia masuk ke dalam Lift, kemudian menekan tombol dengan angka satu untuk segera sampai di loby.
*
Tubuhnya terlihat membungkuk, dengan satu tangannya memegangi perut.
Pak Samudi yang sedang duduk di dalam ruangannya, sontak keluar saat melihat penghuni Apartemen ini berjalan sendiri ditengah malam tepat pukul tiga dini hari.
"Non, mau kemana?" Tanya Pak Samudi, saat melihat seperti nya wanita pendiam ini sedang tidak baik-baik saja.
Zaara menggelengkan kepalanya, kembali melangkahkan kaki.
"Bapak, panggilkan Taksi ya?" Bujuk penjaga keamanan yang ramah ini.
Zaara tidak bisa menolak, sekarang dirinya sangat membutuhkan bantuan dari orang lain.
Pak Samudi mengajak Zaara untuk duduk sejenak di kursi yang ada di post penjagaan, sedangkan ia masuk ke dalam ruangan untuk menghubungi kontak sopir Taksi.
Tidak berapa lama, Taksi pun tiba.
Zaara beranjak dari duduknya untuk segera masuk ke dalam Taksi hitam itu, dengan langkah perlahan dan tertatih.
"Mau Bapak temani?"Tanya laki-laki dengan rambut pendek yang sedikit sudah memutih ini.
Zaara menggelengkan kepalanya, ia masuk setelah Pak Samudi membukakan pintu belakang.
Mobil pun melaju, menuju ke tempat yang dituju oleh penumpang.
*
Di dalam Taksi, Zaara terlihat meringis kesakitan.
Perutnya terasa semakin melilit, tidak pernah ia mengalami rasa sakit perut yang begitu menyiksa seperti ini, biasanya hanya penyakit Maag yang dideritanya dengan memakan obat maka semuanya kembali baik-baik saja.Tapi, kali ini berbeda, walaupun sudah memakan obat tapi sakit diperutnya terus menyiksa.
Tidak berapa lama Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk ruang Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit terdekat.
Zaara keluar dari dalam mobil setelah membayar ongkos taksi.
Kakinya berjalan tertatih menuju pintu masuk ruangan tempat melakukan pertolongan pertama bagi pasien.
*
Hiruk pikuk terlihat di dalam ruangan ini, beberapa perawat berlalu lalang begitu saja tanpa bertanya kepadanya yang sudah terlihat pucat pasi.
Zaara melangkahkan kakinya perlahan, mencoba membuka mulutnya untuk meminta pertolongan kepada para tim medis yang sedang bekerja.
"Ma-af, Sus.." Gumamnya, dengan terus mengerutkan kening.
Nafasnya tersengal, bibirnya terlihat pucat dan bergetar. Tapi, tidak ada satu pun perawat yang menghampirinya.
"Sakit sekali" Rintihannya
Tubuhnya semakin membungkuk, lalu terduduk di lantai dengan kedua tangannya terus memegangi perutnya dengan kuat.
Air matanya menetes, hingga ada satu perawat wanita mendekatinya.
"Mbak, sakit dimana?" Tanya perawat ini.
Kedua kelopak mata Zaara tampak sayup, lalu terhuyung dan pingsan.
Perawat yang sedang mendekap tubuh Zaara berteriak untuk meminta pertolongan agar pasien segera dibawa untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter.
Satu dokter berlari mendekati Perawat, adalah Nathan yang sempat tertegun sejenak setelah melihat siapa pasien yang akan ia rawat dan obati.
*
Kedua kelopak mata Zaara terbuka, manik cokelat hazel nya langsung menangkap bola lampu yang sedang menyilaukan matanya.
Sekarang Zaara sedang terbaring di atas ranjang berukuran kecil, dengan tangan kanannya yang sudah terpasang selang infus, lalu tubuhnya sudah ditutupi dengan selimut tebal putih rumah sakit ini.
KRAKKK ( Suara tirai ditarik)
Perawat baru saja menarik tirai putih yang menutupi ranjang pasien, tempat tubuh Zaara sedang terbaring lemah.
"Mbak Zaara Hayat" Sapa perawat berseragam hijau ini.
Zaara menatap sayup dengan kedua kelopak matanya yang masih terlihat lelah.
"Kenapa tahu nama saya?" Tanyanya, dengan suara terbata-bata.
Perawat wanita ini menyimpul senyumnya, lalu ia berikan dompet merah muda milik Zaara kembali.
"Kami meminta maaf Mbak, karena sudah membuka dompet anda dan melihat data diri anda demi administrasi rumah sakit" Jawabnya.
Zaara tertegun, ia tidak bisa marah karena itu demi perawatan nya.
"Dokter akan memeriksa Mbak Zaara, tapi saya ingin memberikan obat ini dulu untuk diminum" Ucap Perawat dengan tanda pengenal tergantung di kra seragamnya.
"Biar saya saja" Ucap Zaara.
Zaara mengambil dua butir kaplet dalam plastik kecil di tangan wanita dengan rambut digelung ini, lalu ia angkat gelas tinggi berisi air mineral yang sudah terletak di atas nakas sebelah kiri ranjang kecil yang sekarang ditempatinya.
Menelan dua pil bersamaan, lalu ia teguk air di dalam gelas ini.
TAP
Terdengar langkah kaki tegas, tengah mendekatinya dan perawat wanita ini.
"Dokter, Pasien sudah siuman" Ucap perawat ini.
Zaara tertegun saat melihat siapa yang ada di hadapannya, tubuhnya terasa lemas, kedua tangannya mengepal, detak jantungnya terasa tidak menentu.
Senyum Nathan tersimpul, dan terlihat tampan dengan jas putih yang sedang melekat di tubuh sempurnanya.
"Zaara.." Panggil Nathan.
DEG !