bab 9
Kepala yang terasa sangat sakit. Bukan lagi pusing, tapi sakit seperti tertusuk. Mataku terasa begitu berat untuk kubuka. Tapi tetap berusaha untuk kubuka dengan perlahan. Pandangan yang kabur, tidak terlalu jelas. Tapi aku merasakan ada tangan yang sedang menggenggam tanganku dengan erat.
"Nova, Nov, lo dah bangun?" Ucap orang itu. Entah siapa dia. Aku belum bisa melihat secara jelas. Pandanganku masih kabur.
Aku masih terdiam tak menyahut. Hanya terus mengedipkan mataku. Berharap aku bisa lebih jelas melihat sekeliling. Setelah beberapa menit, aku mulai bisa melihat dengan jelas.
"Erik?" Sapaku saat sudah bisa mengenali orang yang berada disampingku. Dia masih menggenggam tanganku dengan erat.
"Iya ini gw. Sabar ya, bentar lagi pasti dokter kesini. Gw udah panggilin."
"Ini gw dimana?"
"Elo di Rumah Sakit. Tadi elo kecelakaan."
Aku ingat lagi kejadian tadi. Aku memang jatuh terpental mobil.
"Kenapa elo bisa ada disini?"
"Ya gw tadi telfon elo, kebetulan yang angkat telfon suster. Dia bilang elo kecelakaan."
"Sekarang jam berapa?"
"Jam 6 sore. Kenapa?"
"Ponsel gw mana?"
"Mau ngapain?"
"Ngasih kabar sama Ayah."
"Ok. Gw ambilin."
Erik pergi mengambil tasnya. Lalu dia duduk lagi disampingku. Memberikan ponselku yang berwarna putih. Baru saja kubuka kunci dilayar utama, sudah ada telfon masuk dari Choky.
"Hallo. Kenapa, Chok?"
"Udah sampai rumah?"
"Belum. Ini gw ...."
Belum selesai aku bicara, seorang dokter dan suster membuka pintu kamar.
"Bagaimana, Mbak? Kepalanya masih sakit?"
"Eemm ... iya, Dok. Masih sakit."
"Saya priksa dulu, ya."
Dokter pun memeriksa mataku, mulutku, lalu dadaku. Lalu dokter wanita itu tersenyum.
"Aman, Mbak, nggak papa. Nanti saya kasih obat untuk menghilangkan rasa sakitnya."
"Tapi ini kaki saya kok buat gerak agak sakit ya, Dok?"
"Kakinya retak ringan, Mbak. Jadi jangan banyak gerak dulu ya."
"Oh gitu. Makasih ya, Dok."
Dokter itu pun berlalu. Aku kembali meraih ponselku. Agak lega mendengan penuturan Dokter tadi. Telfon dari Choky sudah mati.
"Makasih ya, Rik, udah temenin gw. Gw udah nggak papa. Elo pulang aja ya."
"Tapi disini elo sendirian, Nov."
"Ada suster kok. Nanti kalau ada apa-apa gw bisa panggil suster."
"Tapi ...."
"Gw nggak papa. Elo pasti capek kan. Udah nungguin gw dari siang tadi." Pasti Erik capek banget. Bahkan dia masih dengan baju kerjanya.
"Ok gw pulang. Tapi elo makan dulu ya.Tadi suster udah bawain makan, tapi karna elo belum bangun, jadi udah dingin." Erik mengambilkan makanan yang ada dimeja. Lalu dia menyendokkan kemulutku.
"Gw makan sendiri aja, ya. Gw bisa kok. Ini kan yang sakit kaki gw."
Lalu Erik memberikan nampannya padaku. "Elo pasti capek banget, Rik. Elo pulang ya, terus istirahat. Gw malah nggak bisa tenang kalau elo nggak istirahat."
"Yaudah gw pulang. Tapi elo harus makan yang banyak ya. Kalau ada apa-apa langsung kabari gw."
"Iya." Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. "Makasih ya, Rik."
"Iya, gw pergi dulu ya."
Dia pun berlalu pergi. Kembali kutaruhakan nampan itu diatas meja. Sungguh makannannya tidak enak. Rasanya bikin perut mau muntah. Aku ambil ponselku untuk mengirim pesan pada Ayah. Aku takut jika keluargaku mengkhawatirkanku. Setelah itu aku mainan ponsel sebentar. Jenuh sekali rasanya. Sekarang sudah hampir pukul 9 malam. Apa aku jalan-jalan keluar aja ya. Ah tapi kepalaku masih sakit. Akhirnya cuma bisa miring kiri, miring kanan. Lama-lama aku tertidur.
Satu jam berlalu.
Aku menggeliatkan tubuhku. Mulai membuka mataku perlahan. Terlihat seseorang tengah duduk disampingku memperhatikanku. Aku mengucek-ucek mataku agar mataku benar-benar terbuka.
"Choky?!" Ucapku sedikit berteriak. Bahkan tak percaya tiba-tiba dia ada disini menemaniku. Dia bilang dia diluar kota. "Kok elo bisa disini sih?"
"Nggak penting. Sekarang elo makan. Gw suapin." Dia membuka sekotak makanan yang ada di sterofoam.
"Tapi gw nggak lapar." Aku menolak sesendok makanan yang ingin Choky masukkan kemulutku.
"Kalau sampai hari H pernikahan kita elo belum juga sembuh, gw nggak akan berfikir 3x lagi untuk masukin bokap lo kepenjara." Ancamanya. Wajahnya terlihat sangat serius. Bahkan terlihat sangat kesal.
"Jangan!" Ucapku sedikit berteriak. "Iya gw makan." Aku mulai membuka mulutku. Dia pun menyuapiku dengan pelan.
"Kok lo bisa kesini sih? Bukannya elo diluar kota ya?"
"Gw khawatir ...." Terlihat mulutnya ingin mengatakan sesuatu lagi. Tapi ditahannya. Akhirnya kembali diam dan menyuapiku lagi.
"Elo khawatir sama gw?" Ada sedikit rasa bahagia dihatiku. Seneng pastinya, dia mengkhawatirkanku. Itu artinya dia mulai perhatian padaku.
"Mikirnya kejauhan!" Bantahnya dengan ketus. "Gw khawatir sama semua uang gw. Bikin undangan, foto prewedding, fiting baju nikah, pesanan catering. Lo pikir itu murah? Kalo sampai elo nggak sembuh, itu artinya gw juga batalin semuanya. Duit gw juga hilang sia-sia, kan." Dia menyodorkan sesendok lagi.
Aku langsung memayunkan bibirku. Iiih nyebelin banget. Ternyata yang dipikir cuma duit. Gw kira dia khawatir sama keadaan gw. Makanya dia sampai harus balik sebelum pekerjaannya usai.
"Ayo cepat buka mulutmu." Perintahnya. Udah kaya' nyuruh pembantunya buat ngepel aja.
Terpaksa aku pun membuka mulutku. Begitu seterusnya hingga perutku mulai terasa kenyang.
"Aku udah kenyang, Chok."
Seorang suster masuk. Choky memilih menurutiku dari pada berdebat. Suster itu memberikan obat untukku. Dan menyuruhnya untuk segera meminum obatnya. Tapi tidak ada segelaspun minuman diatas meja. Jadi Choky pergi keluar untuk membelikanku minuman.
"Bahagia banget ya, Mbak, punya suami yang siaga gitu." Ucap suster itu. Sambil tersenyum dengan terus memperhatikan punggung Choky.
"Hah?!" Mataku membelalak kaget mendengar ucapan suster itu. Kenapa dia bisa bicara begitu. "Dia bukan suami saya, Mbak."
"Masa' sih, Mbak? Mas nya sendiri kok yang bilang. Tadi dia kesini panik banget lho, Mbak. Dari Bengkulu naik helikopter. Dia turun di lapangan X. Langsung naik taksi kesini." Jelas suster itu.
Lagi, aku sangat terkejut mendengar penuturan si suster ini. Choky sampai harus pakai helikopter hanya untuk melihat keadaanku. Tapi sayangnya itu bukan karna khawatir padaku. Tapi karna takut uangnya terbuang sia-sia. Dasar! Pintar sekali dia memainkan karakternya. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi setiap pujian yang suster katakan untuk Choky.
Tak begitu lama, Choky datang membawa dua botol minuman. Lalu duduk lagi disebelahku. Mengambilkan obat untukku. Membukakan tutup botol. Dengan sangat lembut dia membantuku minum obat. Membuat suster itu bertingkah gemas. Sampai dia meremas kertas laporannya sendiri.
"Sus, sudah. Anda bisa keluar." Ucap Choky mengusir suster itu.
Aku sedikit tidak nyaman dengan kata-kata Choky yang mengusirnya. Nggak ada basa-basinya. Tapi yang diusir malah kesenengen. Karna diajak ngomong sama Choky. Tapi akhirnya suster itu pergi juga. Choky mengambil selimutku. Menyelimutiku hingga leherku.
"Aku belum ngantuk." Kubuka lagi selimut yang menutupiku.
"Orang sakit itu harus banyak tidur. Biar cepet sembuh." Dia tutup lagi tubuhku dengan selimut.
"Tapi, aku tadi sudah tidur dari siang. Aku nggak bisa tidur lagi." Aku mengerucutkan mulutku. Aku celikukan mencari keberadaan ponselku. Membuka selimutku, tapi tidak ada.
"Nyari apa?"
"Ponselku kemana, ya? Kaya'nya sih tadi aku taruh dimeja. Kok nggak ada ya."
"Gw pindahin."
"Kemana?"
"Orang sakit nggak usah mainan ponsel. Sekarang lo istirahat."
Kembali aku mengerucutkan mulutku. "Gw nggak bisa tidur."
"Gw temenin. Gw juga mau tidur." Dia merebahkan kepalanya ditepi ranjang yang aku pakai tidur sambil terus mengawasiku.
Sekarang bisa kulihat wajahnya yang sangat letih. Jangan-jangan memang tadi dia baru selesai kerja, langsung pulang dan datang kesini. Pasti sangat melelahkan. Kasihan sekali dia. Cukup lama kami berpandangan. Hanya berpandangan.
"Choky, elo nggak mau pulang?"
"Elo ngusir gw?"
"Bukan begitu. Gw takut elo malah sakit kalau tidur begitu."
Lalu dia naik keatas ranjang yang aku pakai tidur. Aku gelagapan melihat dia mulai merebahkan tubuhnya disampingku. Tapi aku hanya bisa terdiam. Karna kakiku tidak bisa untuk banyak bergerak.
"Lo gila, ya! Kenapa lo tidur disini?"
"Elo sendiri tadi yang bilang."
Tuh kan gw yang salah. Dia tidur menghadapku, menatapku. Aku jadi salah tingkah ditatapnya begitu. Melihat wajah tampannya. Bikin gemes pengen nyubit pipinya yang putih itu. Mungkin sekarang dia bisa melihat wajahku yang memerah karna malu. Aku tak lagi sanggup menatapnya.
Aku alihkan pandanganku, menatap langit-langit kamar yang ada 2 cicak sedang berkejar-kejaran. Sesaat aku lirik dia, matanya sudah terpejam. Lama-lama dia terlelap. Nafasnya terdengar beraturan. Dia benar-benar tertidur.
Aku nikmati wajahnya yang sangat tampan. Aku tersenyum sendiri menatapnya. Bagaimana bisa, seorang lelaki mempunyai wajah semulus ini. Bahkan lebih mulus dari kulit wajahku. Hidungnya yang mancung, bikin gemes banget. Ah, sepertinya aku mulai mengaguminya. Tak terasa, dengan menatap wajahnya, aku mulai merasa ngantuk. Akhirnya aku bisa tertidur.