bab 10
Aku terbangun karna mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Aku sudah tak melihat Choky tidur disampingku. Pasti itu Choky. Apa ini sudah pagi ya. Aku celikukan mencari ponselku. Kulihat ponselku ada diatas meja berjajar dengan ponsel Choky. Aku ambil ponselku, aku lihat di ponsel menunjukkan jam 04.15. Masih pagi, tapi Choky sudah bangun. Tak begitu lama, dia keluar dari kamar mandi.
"Lo dah bangun?" Sapanya saat melihatku sudah membuka mata.
"Lo sendiri kenapa udah bangun?"
"Gw ngurus kerjaan."
Aku berusaha untuk bangun. Susah sekali, bahkan membuat kakiku terasa agak sakit.
"Lo mau ngapain? Tidur lagi aja." Choky mendekatiku dan mendorong tubuhku agar kembali berbaring.
"Tapi, Chok,"
"Jangan ngelawan sama calon suami. Kamu harus cepet sembuh."
"Gw pengen pipis."
"Oo, gitu."
Akhirnya dia membantuku bangun dan memapahku kekamar mandi. Saat sudah selesai, dia masih berdiri didepan pintu kamar mandi. Dia langsung menggendongku tanpa aba-aba. Membuatku sangat terkejut hingga aku langsung melingkarkan tangganku dilehernya. Sejenak mata kami saling bertemu. Saling bersitatap hingga jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin dia bisa mendengarkan detak jantungku. Karna malu dengan wajahku yang merona, aku langsung menundukkan kepalaku. Dia tersenyum kecil, dan membawaku menuju ranjang. Membaringkanku lagi diatas ranjang.
"Nanti siang lo dah boleh pulang." Ucapnya tiba-tiba. Lalu dia duduk disampingku. Mengambil ponselnya.
Aku tersenyum bahagia mendengarkan kabar ini. "Kalau gitu, gw akan suruh Ardi buat jemput gw." Kuraih ponselku hendak menghubungi Ardi.
"Siapa Ardi? Pacar lo?"
"Ah, bukan. Dia sepupu gw."
"Oh." Dia kembali sibuk dengan ponselnya. "Elo dah beli baju-baju yang kemarin?"
"Belum sih. Besok gw akan beli semuanya."
"Nggak usah."
"Hah?!" Aku tersenyum bahagia lagi. Itu artinya dia bebasin gw untuk memakai pakaian yang gw suka kan? Nah gitu dong. Gw kan jadi seneng.
"Biar gw yang beliin nanti."
"Apa?!" Kataku agak berteriak.
"Kenapa? Nggak mau?"
"Bukan, bukan begitu maksudnya. Cuma kan lo harus kerja. Kenapa harus repot-repot beliin gw baju?" Aku nggak bisa ngebayangin, model seperti apa nanti yang dipilih Choky. Pasti dia akan membelikan baju yang aneh-aneh untukku. Memikirkan baju saja sudah membuatku sangat cemas.
Ceklek!
Ada yang membuka pintu kamarku. Erik muncul dari balik pintu, dia membawa sekantong plastik. Entah apa itu isinya. Dia terlihat terkejut melihat aku ada diruangan bersama Choky.
"Maaf saya nggak tau kalau didalam Nova nggak sendirian." Ucap Erik sambil nyengir.
"Nggak papa. Masuk aja, Rik."
"Siapa lo?" Tanya Choky pada Erik. Choky terlihat tak suka dengan kedatangan Erik.
"Dia Erik. Teman satu kerjaan gw dulu." Aku yang menjawabnya. Sekarang Erik sudah berdiri disisiku. Dia taruh kresek hitam yang dia bawa itu di atas meja. "Elo bawa apaan?" Dengan bersemangat aku membuka kresek hitam itu. Ada dua bungkus burjo yang biasa aku beli untuk sarapan sebelum berangkat kerja.
"Kesukaan elo pastinya." Jawabnya sambil tersenyum padaku.
Aku pun tersenyum girang. "Waahh, makasih ya. Tau aja lo. Gw kangen makan ini. Udah hampir seminggu perut gw nggak menyentuh burjo nya Bang Edo.
Terlihat Choky yang sangat tidak suka dengan keadaan sekarang. Melihat kedekatanku dengan Erik. Dia ngeluyur pergi meninggalkan ruanganku tanpa berkata apapun.
"Dia siapa, Nov?" Tanya Erik saat sudah melihat Choky tak terlihat lagi.
"Itu calon suami gw." Jawabku dengan sibuk memakan burjo langsung pada plastiknya. Ya memang dari dulu aku suka makan begini. Selain menghemat waktu, ini juga menghemat tenaga. Karna nggak perlu cuci mangkok.
"Hah?!" Erik kelihatan kaget banget dengan matanya yang melotot.
"Kenapa? Lo kenal sama dia?"
"Nggak, gw nggak kenal."
"Terus kenapa lo kaget gitu?"
"Ganteng ya calon suami elo."
"Ppck, iya emang ganteng. Tapi ...." Ah lebih baik jangan cerita tentang keanehan Choky. Biar gw aja yang tau.
"Tapi kenapa, Nov?"
"Tapi gw belum suka sama dia."
"Lama-lama lo juga suka sama dia kok. Udah ganteng, tajir pula. Siapa yang nggak suka sama orang begitu?"
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ah kalian bisa bilang begitu karna nggak tau keanehannya. Bahkan baru beberapa hari mengenalnya, aku sudah bisa membayangkan kehidupanku yang mungkin akan sangat rempong. Huufftt hanya bisa menerimanya.
"Lia kesini nanti siang pas jam istirahat. Tadi dia baru bangun." Tutur Erik. "Gw ikut kekamar mandi buat ganti sragam ya." Aku hanya menganggukkan kepala. Dia pun masuk kekamar mandi.
**
Siang hari pukul 11.30.
"Nova." Lia membuka pintu ruanganku sambil tersenyum. Terlihat tangannya membawa sekresek makanan. Pasti dia sengaja mau makan siang disini, sambil menjengukku.
"Hey, sini." Aku melambaikan tanganku menyuruhnya untuk mendekatiku. Lalu dia duduk di sampingku.
"Nih, gw bawain lotek buat makan siang lo. Gw juga bawa buat gw sendiri." Dia membukakan sebungkus untukku dan sebungkus lagi untuknya. "Kita makan bareng ya."
Dengan semangat aku langsung memakan sebungkus lotek itu.
"Tadi Erik cerita. Katanya semalam elo ditemenin sama calon suami elo ya?" Tanya Lia dengan masih mengunyah makanan dimulutnya.
"Iya."
"Waahh, so sweet banget ya dia. Kata Erik, dia ganteng banget. Emang iya ya, Nov?" Tanyanya lagi dengan wajah keponya.
Aku menghela nafas kasarku. "Iya."
"Beruntung banget sih lo, Nov. Gw juga mau kalau dijodohin model begituan."
Ceklek!
Terlihat wajah Choky masuk keruang rawatku. Dia membawa sekantong plastik putih. Ada dua sterofoam didalamnya. Sudah pasti dia membawakanku makan siang. Dia melihatku, menatapku yang sedang makan. Lalu menatap Lia.
Lia terlihat sangat terkejut dengan kedatangan Choky. Matanya membulat, sampai berhenti menguyah makanannya.
Choky menghembuskan nafas kesalnya. Lalu berjalan mendekatiku. Duduk disebelahku. Meletakkan kresek yang dia bawa diatas meja. Tanpa berkata apapun, dia langsung mengambil ponselnya, bersandar disisi meja dan memainkan ponselnya. Dia sedang melanjutkan pekerjaannya. Iya dia bekerja, karna semalam dia juga bekerja dengan cara begitu.
"Elo bawa apaan?" Aku meletakkan sendokku dan meraih kresek yang dibawa Choky. Aku ambil satu kotak sterofoam. Lalu kubuka, sedikit nasi dengan sayur-sayuran dan ayam goreng didalamnya. Aku menatapnya lagi. Dia tetap fokus pada ponselnya. Tidak menatapku atau menanggapi kata-kataku.
Aku menyisihkan pembungkus lotek yang masih ada sedikit sayurannya disana. Lalu mengganti dengan makanan yang dibawa Choky. Jangan sampai dia marah karna aku tidak memakan makanan yang dia bawa.
"Elo kan udah makan. Taruh aja itu. Biar gw kasih ke anak buah gw aja." Ucapnya tanpa melihatku.
"Gw masih lapar." Aku mulai menyendok nasi dan memasukkannya kedalam mulutku. Walau sebenarnya sudah kenyang, tapi demi kebaikan, lebih baik aku memakannya.
Aku lirik Lia, dia masih saja menatap Choky dengan tidak berkedip. Masih dengan posisi yang sama. Bahkan sendoknya pun masih dengan posisi yang tadi. Dasar Lia, kalau liahat cowok ganteng, pasti penyakitnya kambuh gini kan. Aku pukul lengannya dengan sendok yang kupegang.
"Aauw! Sakit tauk!" Dia elus-elus lengannya. Gw kira dia nggak akan ngerasa sakit karna lihat orang ganteng.
"Chok, mau nggak beliin minum?" Pintaku. Sejujurnya, aku memang sengaja menyuruhnya pergi. Nggak enak banget sama dia yang terus diliatin Lia sampai begitunya.
Dia menatapku, dan aku hanya tersenyum sambil memperlihatkan botol minum yang memang sudah kosong. Lalu dia ngeloyor pergi meninggalkan ruanganku.
"Elo liat apaan, sih? Sampai lupa diri gitu?" Kataku pada Lia yang masih saja memperhatikan pintu ruangan. Padahal pintu itu sudah tertutup rapat.
"Ya, liat cowok ganteng lah. Ini kan pemandangan yang sangat langka. Lo kenapa sih malah nyuruh dia pergi."
"Dia itu calon suami gw. Gw nggak rela ya lo liatin dia sampai begitu."
"Jadi dia calon suami elo? Sumpah ganteng nya tingkat dewa Nov. Beruntung banget sih hidup lo. Gw pengen banget." ucapnya sambil menggoyang-goyang pahaku yang sakit.
"Aaw! Ini kaki gw retak tau. Jangan disentuh." Aku tepuk tangan Lia.
"Eh iya, gw sampai lupa."
**
Ceklek!
Ardi membuka pintu ruang rawatku. Dia masuk masih dengan memakai jasnya. Pasti dia baru saja pulang dari kerja.
"Nov, gimana keadaan lo sekarang?" Sapanya sambil berjalan mendekatiku. Terlihat wajahnya yang sangat mengkhawatirkanku.
Choky menatap Ardi dengan tajam. Aku sudah tau, pasti dia penasaran sama Ardi.
"Gw udah baikan. Makanya gw nyuruh lo jemput gw." Jawabku. Ardi hendak memelukku. Ya karna biasanya kita selalu begitu.
"Hey!" Teriak Choky. Lalu dia bangkit dari duduknya.
Aku dan Ardi sama-sama kaget. Padahal tangan kami berdua sudah terbuka hendak berpelukan. Kami sama-sama menatap Choky dengan heran.
"Mau cari mati ya lo!!" Lanjut Choky. Dia menarik tanganku. "Elo itu calon istri gw. Sembarangan peluk orang!"
Aku mengerucutkan mulutku. Ardi pun membuang nafas kesalnya.
"Dia itu Ardi sepupu gw."
Dia menyilakan tangannya didepan dada. "Mumpung kita belum menikah. Lo boleh peluk sepupu elo ini. Tapi setelah menikah, awas aja ya." Lanjutnya. Lalu dia berjalan keluar ruangan.
Aku menatapnya dengan sangat kesal. Terlihat Ardi tertawa kecil melihat kekesalanku.
"Waahh, gw bakalan dapat saudara ipar yang sangat baik menjaga istrinya." Ejeknya sambil tersenyum menggodaku.
"Apaan sih lo. Nggak lucu tauk!"