bab 7
Sesampainya di studio tempat untuk foto prewedding, aku terus diam mengerucutkan mulutku. Kesal sekali rasanya. Baru kemarin dilamar, sekarang langsung sibuk. Bahkan seminggu lagi aku akan sah menjadi seorang istri. Aah ini sangat membuatku frustasi. Mimpi apa sih aku, bisa dapat pernikahan yang sama sekali tidak membuatku bahagia. Tidak dengan orang yang aku cinta. Padahal menikah itu, prinsinku sekali seumur hidup. Lalu apa yang akan terjadi dipernikahanku kelak.
"Panda, sini." Choky mengisyaratkan tangannya agar aku mendekatinya. Aku langsung berjalan mendekat. "Ganti kostum sana." Perintahnya. Dia menyuruhku masuk keruang ganti.
Seorang wanita menyerahkan setelan baju berwarna hijau amry. Baju mirip punya tentara jaman perjuangan dulu. Aku sibuk memandangi bajunya. Ini baju apaan sih? Buat apa pakai baju beginian? Gumamku dalam hati.
"Choky, ini baju apaan sih? Bukannya tadi lo bilang kita foto prewedding ya?"
"Iya. Itu bajunya. Cepet pakai. Gw juga mau pakai." Dia juga memegang baju yang sama seperti punyaku.
"Emang ini temanya apa sih?"
"Masa perjuangan tempo dulu." Lalu dia ngeloyor pergi masuk ruang ganti.
"Hah?!"
Dengan terpaksa, aku juga masuk keruang ganti. Gila ya, nasipnya orang yang nggak punya uang. Bahkan aku kan juga yang menikah. Tapi keinginanku, kata-kataku bahkan tidak penting. Aku sudah membayangkan akan foto dengan baju pengantin yang bagus, atau baju dress mewah yang membalut tubuhku dengan sangat anggun. Pasti aku akan terlihat sangat cantik kan. Lalu apa ini?
Selesai mengganti kostum, aku dirias. Didandani layaknya tentara yang mengincar musuhnya. Wajahku yang cantik di poles dengan lukisan tentara itu. Argg! Menyebalkan sekali!
Setelah itu kita foto. Aku dan Choky, kita berdua bawa senapan. Aku bawa pegang bom dan dengan gaya menggigit ujung bom sambil tangan yang satu memegang senapan. Sedangkan Choky ada disampingku. Dia ngumpet menyembunyikan tubuhnya di balik pohon, tapi matanya mengawasiku. Pose kedua. Kita berdua tengkurap, sembunyi diantara semak-semak sambil membidik musuk. Tapi mata kami saling bersitatap. Sungguh tidak ada romantisnya.
Anehnya, Choky bisa tersenyum puas. Dia terlihat sangat puas dengan hasil pemotretannya.
Setelah acara itu, dia membawaku kegaleri. Sudah pasti untuk fiting gaun pengantinnya kan. Sesampainya disana, Dia minta pihak butik membuatkan baju coupel-an dari batik lurik ala-ala jogja. lengkap dengan blangkon dan kemben buat bawahannya.
Ya, ya, ya! Ini pernikahanku akan sangat bersejarah. Dia menginginkan tema tradisional Jogja. Dengan adat jawa. Dan biasa saja. Dia bilang, dia nggak mau melihatku menggunakan baju yang terbuka. Memperlihatkan pundak pun tak diijinkan. Jadi dia memilih kostum dan tema yang aneh dari yang lain. Kenapa dia seperti itu? Bahkan melihatkan sedikit paha pun tak diijinkan. Aneh kan. Iya dia lelaki yang aneh.
Pihak butik awalnya tidak bisa menerima permintaan Choky, karna waktu yang sangat mepet. Tapi karna choky mengatakan akan membayarnya 3x lipat. Siapapun pasti akan tergiur dengan uang kan. Hingga akhirnya pihak butik mengiyakan.
Setelah fix kostumnya bisa diantarkan sebelum hari H yang tinggal seminggu lagi, dia membawaku masuk kedalam mobilnya. Dia mengeliatkan tubuhnya, menelentangkan tangannya.
"Hari ini cukup melelahkan." Ucapnya, lalu menyandarkan kepalanya dikursi.
Aku hanya terdiam sambil menyilakan kedua tanganku didepan dada. Aku masih tidak mengerti dengannya.
"Hey, panda. Kenapa sih lo? Dari saat berangkat sampai sekarang, mulut lo dah mirip mulut bebek." Ejeknya sambil tertawa kecil.
Bener-bener nggak peka ya nih orang. Dasar orang aneh! "Sekarang gw nanya. Kenapa besok dipernikahan elo harus milih kostum baju jogja begitu? Kostumnya aneh pula. Itukan hari pernikahan, hari yang sangat penting dan cuma sekali seumur hidup, Chok. Kenapa kita tidak pakai baju pengantin layaknya orang menikah. Elo pakai setelan jas dan gw pakai gaun. Pasti akan sangat bagus, kan?"
Dia menatapku tajam. "Panda, gw nggak suka sama cewek yang selalu memperlihatkan kulit putih mulusnya. Jadi setelah kita menikah. Ganti semua baju elo itu dengan baju longgar lengan panjang dan celana panjang. Dan jangan pernah elo pakai pakaian yang memperlihatkan bentuk tubuh lo. Gw eneg lihatnya." Dia mengambil dompet disaku celananya. Mengambil satu slip kartu Atm. "Ini buat lo belanja baju. Lo ganti pakaian elo yang sexy. Elo beli semua baju yang gw bilang tadi pakai ini. Jadi jangan sampai gw dengar alasan elo nggak punya bajunya."
Aku meraih kartu atm itu. Apa maksudnya dia begini? Apa dia khawatir akan ada pria lain yang melirikku? Bahkan harus pakai celana panjang.
"Pinnya tanggal lahir gw." Lanjutnya. Dia mulai menyalakan mesin mobilnya.
Dasar gila. Dia pikir aku tau kapan dia lahir. Bahkan aku baru mengenalnya kemarin. Orang yang aneh. Iya dia sangat aneh. Pantas saja menikah pun harus dijodohkan dengan cara begini. Itu artinya, dia tak punya pacar kan?
Ya, tapi gw biasa apa? Gw cuma bisa diem dan nurut. Karna pasti ujungnya bakalan ancaman buat Ayah.
Mobil Choky memasuki sebuah parkiran di area cafe. Aku sibuk menatap kesekeliling.
"Kita nggak pulang?" Tanyaku saat menyadari tempat ini bukan rumah dia ataupun rumahku.
"Kita makan dulu. Dari tadi lo juga belum makan kan? Gw nggak mau nanti jadi tersangka penyiksaan karna elo pingsang akibat kelaparan." Lalu dia turun dari mobil, berjalan lewat depan dan membukakan pintu untukku.
Iya sih dia tampan, bahkan banyak sekali cewek-cewek yang meliriknya saat berjalan disampingku. Aku jadi risih, seandainya saja para penggemar itu tau sifat dia yang aneh. Apa masih memujanya? Huufft dia pun tak romantis.
Kami duduk ditempat paling pojok. Karna waktu itu meja sudah penuh semua. Maklumlah, ini sudah jam makan sore. Datanglah seorang waiter memberi buku menu.
"Silahkan, Pak, mau pesan apa?" Tanya masnya dengan sangat sopan.
Diraihnya buku menu itu, lalu dia buka-buka. "Chicken salad sama mocktail. Panda, lo pesen apa?"
Yaampun, makanan apa itu? Bahkan Aku belum pernah mendengar sebelumnya. Dan dimenu, tidak ada gambar makanannya. Hanya tulisan saja. Akupun tidak mengenal semuanya. Aku menatap Choky sambil mengedip-ngedipkan mataku. Berharap dia tau, jika aku tidak mengenal makanan yang seperti ini.
Terlihat dia membuang nafas kasarnya. "Samain aja, mas."
"Baik." Lalu masnya pergi meninggalkan kami.
"Chok, kenapa kita kesini sih? Gw kan nggak kenal makanan kaya' gini."
"Kampungan banget sih lo. Ini sih masih ukuran standar."
"Ya, gw kan belum pernah ketempat seperti ini." Aku langsung mengerucutkan mulutku.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Dua piring makanan yang disebut Chicken salad dan dua gelas minuman warna merah berpadu warna putih, didalamnya ada daun dan buahnya. Aku meraih minuman itu, melihatnya dengan seksama, apa sih yang ada didalamnya.
"Silahkan dinikmati." Ucap Mbaknya yang ngantar makanan.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Choky menyodorkanku sepiring makanan. Dua potong makanan kecil, daging ayam yang didalamnya ada sayur-sayuran. Tampilan yang mirip burger, tapi bukan burger. Choky mulai mmakannya. Dia terlihat sangat menikmatinya. Karna ini pertama kali aku makan makanan seperti ini, menurutku rasanya agak aneh. Tapi tetap aku makan. Karna perutku sangat lapar. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Cukup sebentar saja makanan dipiringku sudah habis tak bersisa sedikitpun, minumanku masih banyak. Aku tak begitu menyukainya.
"Lo lapar banget ya?" Tanya Choky. Saat melihat piringku sudah bersih. "Cepet banget lo makannya."
"Makanan cuma sedikit gitu. Nggak berasa diperut." Ucapku dengan sangat santai. Lalu aku menyandarkan tubuhku dikursi.
"Mau gw pesenin lagi?"
"Nggak, nggak usah. Nanti gw makan dirumah aja."
Dia langsung menaruh garpu dan pisau yang dipegangnya. Lalu pergi membayar makanannya dan mengajakku pulang.
"Makanan elo kan belum habis." Ucapku saat itu.
Dia tak menggubris. Tetap berjalan menuju mobilnya. Sudah membukakan pintu mobil menyuruhku untuk segera masuk. Setelah aku masuk, dia ikut masuk dan langsung menjalankan mobilnya.
Dia menghentikan mobilnya dipinggir jalan didepan bakkery. Menyuruhku untuk menunggunya sebentar. Lalu dia masuk kedalam toko roti itu. Tak begitu lama, dia keluar dengan membawa satu bungkus roti ukuran sedang. Lalu menyerahkannya padaku.
"Apa ini?"
"Buat lo. Nanti lo makan dirumah biar kenyang. Dihabisin, ya." Tanpa melihatku, lalu dia menyalakan mesinnya kembali.
Aku mengeryitkan keningku. Jadi dia memikirkan perutku yang belum kenyang. Aku tersenyum kecil. Dasar orang aneh.