Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 6

Masuk kedalam rumah megah itu. Mataku sibuk menyisir setiap ruangan dan benda-benda unik yang berjejer rapi di setiap etalase. Maklum, ini pertama kalinya aku masuk rumah mewah. Jadi aku terlihat sangat kampungan. Mataku benar-benar sibuk melihat samping kiri kanan dan lampu yang sangat cantik diatas plafon. Sangat cantik. Aku tersenyum sendiri melihat lampu itu. Di mall ada kok yang jual lampu seperti itu. Tapi kan aku nggak pernah lihat secara langsung saat terpasang. Ternyata bagus banget.

"Ppckk ...." Desis Choky yang sudah berjalan agak jauh dariku. Aku tersenyum dan berlari mendekatinya. "Kampungan banget sih lo!" Ucapnya sambil menjitak keningku dengan jarinya.

"Panda, itu lo pilih mau undangan yang gimana. Gw mau masuk kamar bentar." Dia berlalu pergi.

Undangan? Jadi dia mengajakku kerumahnya untuk memilih undangan pernikahan? Kenapa nggak bilang dari kemarin. Ah, tapi buat apa juga dia bilang.

Aku langsung berjalan mendekati dua orang wanita yang sepertinya sudah dari tadi duduk menunggu.

"Maaf ya, Mbak, nunggunya lama." Sapaku. Lalu aku duduk disofa depan mereka.

"Ya, lumayan, Mbak, hampir satu jam." Terang salah satu Mbaknya. "Ini, mbak, konsep undangannya. Silahkan pilih." Dia menyodorkan sebuah tablet padaku.

Aku raih tablet itu. Ada banyak sekali contoh undangannya. Bahkan aku yakin 1 lembar undangan itu harganya ada diluar kemampuanku. Mataku tertarik pada satu contoh undangan yang bertema pantai. Sangat sejuk dilihatnya.

Membuatku ingat saat aku sering berlibur kepantai dengan Reno. Hah kenapa aku mengenangnya lagi sih. Ah dasar! Tapi aku menyukai tema pantai ini. Sangat bagus, terasa sejuk dan damai.

"Yang ini aja, Mbak." Aku menunjukkan gambar yang aku pilih. Mbaknya pun mengiyakan. "Eh, tapi sebentar. Nanti aku tunjukkan dulu sama Choky. Takutnya dia nggak setuju."

"Gw setuju. Asal elo yang pilih." Ucapnya sambil berjalan kearahku. Lalu dia duduk didekatku. Ah bukan berdekatan. Bahkan jarak kami ada 30cm lebih.

"Baik, Pak. Ini mau bikin berapa, ya?" Tanya Mbaknya itu.

"Limaribu tambah Seratusduapuluh tujuh kurwngi enamratus dua dan ... tambah tujuhratuh. Ada bonusnya, kan?"

Apa? Banyak sekali yang diundang? Itu semua orang kan ya. Sungguh diluar dugaan. Cara ngomong Choky bikin orang jadi mikir. Terlihat Mbak yang satunya sibuk mencatat kata-kata Choky.

"Ada, Pak. Kita selalu menyediakan bonus. Dan untuk nama-namanya, Pak?"

"Itu nanti sore. Aku akan menyuruh asistenku mengirimnya lewat email."

"Baiklah." Kedua wanita itu saling berpandang. "Kalau begitu kita permisi, Pak."

"Ingat ya, dua hari harus sudah jadi." Lanjut Choky memperingatkan.

"Iya, Pak. Kami akan bekerja sebaik mungkin."

Kedua wanita itu undur diri. Menyalamiku dan juga Choky, tapi Choky tak membalasnya. Dia tidak mau berjabatan dengan para wanita itu. Ternyata dia cukup sombong ya. Dan kedua wanita itu berlalu pergi.

"Udah selesai. Lo mau langsung pulang atau mau liat-liat rumah gw dulu?" Ucapnya sambil melihatku.

Dia bilang lihat-lihat rumah? Emang rumahnya museum apa? Gerutuku.

"Mbok Tut!" Teriaknya.

Tak lama kemudian muncul seorang wanita seumuran Ibukku.

"Ada apa, Tuan?" Tanya wanita yang bernama Mbok Tut tadi. Dilihat dari pakaiannya, dia adalah pembantu dirumah ini.

"Ajak Panda melihat seisi rumah ini. Nanti biarkan dia istirahat di kamar tamu. Aku harus pergi sebentar. Ada buyyer yang ingin bertemu."

"Baik, Tuan." Jawab Mbok Tut sambil menganggukkan kepalanya.

"Panda, empat jam lagi gw balik. Ntar gw antar pulang. Kalau butuh apa-apa bilang sama Mbok Tut." Ucapnya. Tanpa menunggu jawaban dariku dulu, atau berjabattan tangan, dia langsung pergi. Berjalan setengah berlari keluar rumah. Aku hanya menatap punggungnya dengan kesal.

"Mari, Nona." Kata Mbok Tut sambil mengarahkan tangannya agar aku mengikutinya.

Aku berjalan dibelakangnya. Berjalan menaiki undakan kecil, melewati lorong yang lebar dengan dinding yang ada pintu berjajar layaknya sebuah kamar kost. Ya aku tau itu tidak mungkin kamar kost. Aku tak tau tempat apa saja karna disana tidak ada tulisannya. Hanya ada 2 pintu disamping kiri dan 2 pintu disamping kanan. Setelah melewati lorong itu, Aku melewati sebuah ruangan cukup besar. Banyak sekali tanaman bunga disana. Ada banyak macamnya. Lalu keluar dari ruangan itu, terlihat sebuah taman yang ada air terjun kecil. Banyak sekali ikan dibawah air terjun itu. Aku yakin ini hanya buatan tangan. Tapi terlihat seperti sungguhan. Sangat indah.

"Mari, Nona." Ucap Mbok Tut lagi. Karna langkahku terhenti oleh air terjun itu.

"Ah, iya, Mbok." Aku kembali mengikutinya.

"Apa Nona ingin melihat-lihat di ruang bunga tadi?" Tanya Mbok Tut kemudian.

"Ah, tidak, Mbok. Saya hanya terpesona saja. Bagus sekali bunga-bunga itu. Siapa yang menanamnya, Mbok?"

"Itu Nona muda. Maksud saya adiknya Tuan Choky."

"Choky punya adik?"

"Iya, Nona."

"Wanita?"

"Benar, Nona."

"Dimana dia sekarang? Kenapa aku tidak melihatnya?"

"Nona muda sedang pergi berlibur. Mungkin 4 hari lagi akan kembali tinggal disini."

"Oh." Jadi Choky bukan anak tunggal. Dia punya adik cewek juga. Baiklah, jika aku jadi menikah dengannya dan tinggal dirumah ini, aku tidak akan kesepian dirumah yang besar ini. Ada adik iparku yang menaniku ngobrol.

"Kita duduk disana saja, Mbok." Aku menunjuk sebuah ruangan yang semuanya terbuat dari kayu, dengan tanaman pot yang menggantung di tepi atapnya. Ruangan terbuka itu tidak terlalu besar. Tapi terasa sangat sejuk dan nyaman. Mbok Tut menemaniku duduk disebelahku.

"Mbok Tut sudah lama ya kerja disini?"

"Belum, Non. Baru 20 tahun.

"Hah, 20 tahun?! Itu sih udah lama, Mbok." Balasku dengan agak berteriak. Masak 20 tahun dibilang baru. "Berarti kerja disini enak ya? Buktinya Mbok Tut bisa betah."

"Ya lumayan, Non. Tuan sangat baik."

"Eh, iya, Papa dan Mama Choky kemana? Kok tadi saya nggak lihat mereka?"

"Tuan sedang ada diluar kota, Non. Kalau Nyonya besar sudah meninggal.

"Oh, jadi Choky sudah nggak punya Mama ya."

"Iya, saya yang merawat Tuan Choky sejak kecil. Apa Nona mencintai Tuan?"

"Saya?"

"Maaf Nona, saya hanya khawatir dengan Tuan. Saya khawatir dia akan terluka seperti sebelumnya."

"Saya baru mengenalnya, Mbok. Baru kemarin saya ketemu sama dia. Saya berharap, suatu saat akan begitu."

"Saya ambilkan minum dan camilan ya, Non."

"Iya, Mbok."

Mbok Tut berdiri dan undur diri melangkah pergi. Terlihat sekali jika dia sangat menyayangi Choky. Sampai bertanya begitu padaku. Aku duduk terdiam menikmati pemandangan yang seperti dipuncak. Halaman rumah yang sangat luas. Terlintas dikepalaku. Bagaimana mereka membersihkan halaman yang luas ini? Jangan-jangan ini akan menjadi pekerjaanku setelah menikah. Ah tapi terlihat itu tidak mungkin. Mbok Tut sepertinya betah disini. Itu menandakan bahwa pemiliknya sangat baik kan.

Tak begitu lama, Mbok Tut kembali menghampiriku tapi tidak membawa camilan dan minuman. Dia kembali dengan tangan kosong.

"Nona Panda, Tuan Choky sudah kembali dan dia ingin bertemu dengan anda."

Aku melotot kaget. Aku kaget saat Mbok Tut ikut memanggilku Panda. "Mbok, namaku Nova. Bukan Panda. Itu hanya akal-akalannya Choky aja manggil begitu."

"Oh, maafkan saya, Nona. Saya tidak tau."

Aku menghela nafas kasarku. "Sudahlah tak apa. Hanya panggilan. Ayo kita temui Choky."

"Baik, Nona. Mari." Mbok Tut mempersilahkan aku untuk lebih dulu melangkah.

Setelah melewati beberapa ruangan dan lorong itu, aku melihat Choky sudah berdiri diruang tamu.

"Katanya 4 jam lagi. Kok sudah kembali?" Tanyaku saat berada disampingnya.

"Besok pagi gw harus berangkat keluar kota. Jadi hari ini kita akan ke wedding organizer untuk foto preweding sekaligus memilih gaun pengantinnya. Gw di sana seminggu. Dan saat gw pulang, itulah hari pernikahan kita. Jadi hanya ada waktu hari ini untuk menyiapkannya."

"Apa!?" Aku melotot kaget. Bahkan mungkin mataku sampai ingin keluar. Gila ya, nikah seminggu lagi?

"Biasa aja dong mukanya! Jelek baget sih lo!" Dia berjalan menuju pintu keluar.

"Hey, kenapa harus mendadak sekali sih? Seminggu lagi? Dan gw belum nyiapin apa-apa." Aku mengikuti langkahnya keluar rumah.

Dia langsung membukakan pintu mobil. Menyuruhku untuk segera masuk dengan mengkode pakai kepalanya. Aku masih berdiri diluar berharap dia mau mengatakan sesuatu.

"Cepet. Waktu kita nggak banyak. Atau lo mau bokap lo masuk penjara?"

Beraninya dia mengancamku dengan alasan Ayah. Huuh menyebalkan. Terpwksa aku masuk kedalam mobil mewah itu. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung tancap gas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel