Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 4

Belum selesai aku bicara, Ardi sudah membungkam mulutku dengan tangannya.

"Sstt ... Dengarkan dulu. Ngomongnya nanti." Ucap Ardi. Ya, sepertinya aku memang harus mendengarkannya dulu.

"Nova, kamu harus menerima lamarannya Pak Haryono ini. Dia adalah pemilih sekaligus direktur utama di pabrik tempat Ayahmu bekerja." Jelas Ibuk. Ibuk menghela nafas beratnya. "Seminggu yang lalu, Ayahmu masuk malam, dia lalai dengan kerjaannya sehingga membakar semua gudang di pabrik. Kami tidak punya uang untuk mengganti kerugiannya yang jumlahnya sampai beberapa ratus juta. Bahkan mungkin sampai hitungan milyar."

Aku lihat Ayah hanya menundukkan kepalanya. Tapi terlihat matanya yang sudah memerah. Ibu mengelus pundak Ayah berkali-kali.

"Pak Haryono datang kerumah kita secara pribadi. Beliau meminta Ayahmu untuk menikahkan anaknya dengan anak laki-laki Pak Haryono. Lalu semua dianggap lunas. Ayahmu juga tidak akan dituntut hukum."

Expresi terbaik bagaimana sekarang yang akan aku tunjukkan.

"Kamu tau kan, Fani dan Lina masih sekolah. Kamu adalah harapan Ayah dan Ibu satu-satunya, Nov." Ayah memohon padaku dengan menelakupkan kedua tangannya. "Ayah mohon, Nov."

Aku menatap Ardi. Hingga kami saling berpandangan. Mataku mulai berkaca-kaca. Lalu Ardi merangkulku. Mengelus pundakku.

Ayah, seandainya engkau tau yang baru saja aku alami. Aku baru saja ditinggalkan oleh orang yang sangat penting dalam hidupku. Bahkan aku tidak lagi perawan. Rasa sakit itu sulit untuk hilang Ayah. Kenapa sekarang aku harus menghadapi ini? Menikah? Dengan orang yang tidak aku kenal. Seperti apa keluarganya bahkan aku tidak tau.

"Baiklah." Aku mengusap pipiku yang mulai basah. "Aku akan menikah."

Ayah langsung tersenyum mendengarkan jawabanku. Dia berpelukan dengan Ibuk. Begitu juga Paman dan Bibi. Aku memeluk Ardi dengan erat. Ardi hanya mengelus punggungku. Pasti dia tau apa yang aku rasakan saat ini.

"Nova, kamu tidak perlu lagi kerja. Kehidupan kamu sudah pasti akan terjamin." Ucap Bibi.

Aku lepaskan pelukan Ardi. Lalu aku berlari kekamarku.

"Nova!" Teriak Ayah memanggilku.

Tapi tak kudengarkan lagi teriakan Ayah. Hatiku sangat rapuh sekarang. Aku langsung tengkurap diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya.

"Sudah, Yah. Nanti Nova juga akan mengerti. Dia menangis karna kaget, Yah." Ibuk yang berusaha menenangkan hati Ayah.

Memang dari dulu Ayah adalah yang paling menyayangi aku. Berbeda dengan kasih sayang Ibuk.

"Bagaimana jika ternyata Nova sudah punya kekasih, Buk. Kasihan dia."

"Ayah tadi juga dengar, kan? Nova setuju untuk menerima lamarannya."

Ardi masuk ke kamarku, dia mengelus pundakku dengan lembut. Memang dari kecil aku sangat dekat dengan Ardi. Umur kami sama hanya berbeda bulan saja.

"Nova. Kalau lo nggak mau, kenapa lo menyanggupi?" Katanya dengan lirih. "Elo bisa menolaknya, kan?"

Aku duduk dan mengusap pipiku yang basah dengan kasar. "Kalau gw nolak, apa Ayah nggak akan dipenjara? Uang sebanyak itu, gimana ngebayarnya coba? hiks hiks hiks ...."

Ardi mengelap pipiku dengan lembut. Lalu memelukku lagi, mengelus pundakku.

Gw harap keluarga Pak Haryono bisa menerima elo dengan baik. Dan suami elo, bisa menyayangi elo dengan sepenuh hatinya. Batin Ardi dalam hati.

**

Sabtu pagi yang mendung. Sama seperti suasana hatiku yang sangat rapuh. Mataku mulai terlihat seperti mata panda. Semalam aku menangis tanpa bisa berhenti. Air mataku menetes tanpa aba-aba. Bahkan sekarang sulit sekali untuk kubuka.

Ingin rasanya gantung diri, atau membenturkan kepalaku ditembok. Tapi jika aku mati, bagaimana dengan Ayah? Bagaimana jika Pak Haryono meminta Fani atau Lina yang menikah dengan anaknya itu. Berarti adikku akan putus sekolah. Aku tidak ingin semua itu terjadi.

Tunggu!

Kenapa Pak Haryono sampai mencarikan jodoh untuk anaknya itu? Bahkan dia mempunyai pabrik besar yang banyak cabangnya. Kekayaan yang sangat berlimpah. Apa anaknya itu cacat? Atau gila? Atau sangat jelek? Sehingga tidak ada yang mau menikah dengan dia? Aah sepertinya aku punya cara.

Pukul 9 lebih 30 menit.

"Nova! Nov!" Teriak Ibu dari luar kamarku.

Aku memang mendengarnya. Aku sengaja tidak menjawab panggilannya. Aku sengaja masih menyamankan tubuhku diatas kasur. Belum madi belum menyiapkan apa pun.

Ceklek!

Terdengar suara pintu kamarku yang terbuka.

"Nova! Kamu masih tidur?!" Teriaknya lagi. Dia menarik selimut yang masih membungkus tubuhku. Aku mengeliat dengan sangat malas. "Ayo cepat bangun. 15 menit lagi calon suamimu akan datang." Ibu menarik tanganku untuk segera bangun.

"Buk, Nova masih ngantuk." Aku duduk ditepi ranjang sambil mengucek mataku.

"Tidurnya nanti lagi. Sekarang cepat mandi." Ibu mendorong tubuhku masuk kedalam kamar mandi.

Didalam kamar mandi, aku sengaja berlama-lama. Aku ingin membuat keluarga Pak Haryono membenciku.

Saat aku keluar dari kamar mandi, aku tak lagi melihat Ibuk dikamarku. Tapi sudah ada sebuah dress warna merah diatas ranjangku.

Sepesial sekali jika aku harus memakai dress secantik ini. Gumamku sambil ku amati dress merah yang memang sangat cantik itu.

Pukul 10 lebih 15 menit. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Aku memakai celana jeans panjang yang sobek dibagian lutut berpadu dengan kaos merah yang aku tutupi kemeja warna biru dongker. Rambutku aku ikat acak-acakan. Dan aku sengaja tidak merias diri. Masih dengan mata sembab dan pandaku. Hanya sedikit mengoleskan lipstik agar tak terlihat pucat.

Aku berjalan santai menuju ruang tamu. Terlihat ada beberapa orang disana.

"Itu kah, yang namanya Nova?" Tanya seorang lelaki paruh baya umurnya terlihat lebih tua dari Ayah. Kumisnya tebal, badannya besar. Terlihat sangat berwibawa dan gagah dengan jas warna navy yang melekat ditubuhnya itu.

Ayah menoleh kearahku.

"Maaf ya, sudah menunggu lama." Sapaku pada mereka semua. Aku langsung menyalami orang itu. Lalu aku duduk di sofa dekat Ayah.

Ibuk terlihat marah karna aku tak berpenampilan seperti yang Ibuk harapkan.

"Ini putri kami, Pak. Ini yang namanya Nova." Ayah memperkenalkanku. "Penampilannya sehari-hari memang seperti ini, Pak. Tidak ada yang dibuat-buat. Saya minta maaf jika Bapak kurang berkenan."

"Saya sangat suka, Pak." Ucap Pak Haryono.

Mataku membelalak kaget. Apa? Dia menyukai penampilanku? Bahkan aku sengaja berpakaian layaknya preman. Tak ada sedikitpun bedak diwajahku.

"Dia sangat alami. Berbeda dari gadis yang lainnya." Lanjut Pak Haryono.

Kali ini aku tersenyum nyengir. Benar-benar gila! Kuhela nafas kasarku.

Ayah dan Ibuk pun terlihat sangat lega dengan senyumnya yang merekah di bibirnya.

Masuklah seorang pria gagah, kulit putih, Tubuhnya pun kekar. Terlihat sekali jika dia pecinta olahraga. Tapi sungguh, dia sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari Reno. Dia tersenyum padaku dan pada kedua orangtuaku. Lalu dia duduk disamping Pak Haryono.

"Choky, itu Nova. Calon istrimu." Ucap Pak Haryono sambil menunjukku.

Jadi dia yang akan menjadi suamiku? Orang yang sangat tampan. Sungguh dia sangat tampan. Wajahnya putih bersih, senyumnya pun sangat manis. Mana mungkin orang setampan itu tidak ada yang mau. Apalagi dengan kekayaannya yang melimpah. Pasti banyak sekali kan cewek-cewek yang menginginkannya.

Pria yang bernama Choky itu berdiri, dia tersenyum padaku. Senyum yang sangat manis. Lalu mengulurkan tangannya untuk berjabatan denganku. Aku meraih tangannya dan membalas senyumnya.

"Choky." Ucapnya. Suaranya pun sangat lembut. Dia memperhatikanku dari atas sampai bawah.

"Nova." Balasku.

Dia duduk kembali disamping Papanya.

"Apa kau menyukainya, Chok?" Tanya Pak Haryono sambil menatapku. Lalu kembali menatap anaknya.

"Iya, Pa. Aku sangat menyukainya. Dia manis sekali. Mirip boneka panda."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel