bab 13
Ting tung! Ting tung!
Terdengar suara bel pintu berbunyi. Aku membuka mataku perlahan. Masih dalam pelukan Choky. Jam berapa ya sekarang. Pengen gerak lihat jam tapi nggak bisa. Itu yang didepan siapa juga. Aku raba dadanya. Waahh keras juga ya badannya. Dadanya kotak-kotak gini. Bagus banget. Bel pintu berbunyi lagi.
"Chok, Choky. Bangun." Aku sedikit memukul-mukul pundaknya.
"Eeggh ... Kenapa?" Suara yang masih terdengar serak.
"Itu diluar ada tamu."
"Paling itu tukang rias. Suruh masuk aja sana."
"Ya, ini tangannya lepasin dulu."
Dia pun melepaskan pelukannya. Aku bangun, berjalan keluar kamar, dan membukakan pintu. Menyuruh si tukang rias menunggu sebentar. Karna aku harus mandi dulu. Aku langsung mandi. Setelah selesai mandi aku duduk dirias oleh si tukang rias. Ternyata cukup lama dia merias wajahku. Terdengar ada suara lagi yang datang kekamar. Tapi sepertinya itu makanan dari hotel yang datang. Karena hidungku sudah bisa merasakan bau makanan yang sangat menggoda.
"Mbak, kok nikahnya nggak pakai gaun kenapa sih?" Tanya masnya yang merias.
"Hah?" Aku kaget ditanya begitu. "Ah, anu, mas, biar beda aja."
"Oh, gitu ya."
Aku hanya bisa tersenyum. Duh mas, nggak tau aja sih. Aku maunya juga pakai gaun sama kaya' orang menikah pada umumnya.
"Elo orang yang beruntung lo Mbak bisa nikah sama Choky."
"Beruntung?" Aku mengeryitkan keningku keheranan.
"Iya, Mbak. Banyak lo yang ngejar dia. Gw dulu temen satu kampusnya dia. Duuhh cewek-cewek kalau liat dia pada ngiler sampai nggak kedip." Masnya memasang beberapa asesoris di rambutku. Ada kondenya pula. Tapi cuma kecil jadi nggak terlalu berat. "Dah selesai nih. Elo cantik banget deh. Pantes aja Choky kesengsem. Umur lo berapa sih? Kok kayak baru lulus SMA." Masnya duduk disampingku sambil menatapku kagum.
"Saya udah tua kok, Mas." Aku hanya tersenyum. Ya, memang wajahku terlihat babyface.
"Hey, brow." Masnya langsung berdiri mengetahui Choky datang.
Apalagi wajah Choky terlihat nggak suka ngelihat tadi Mas nya duduk disebelahku. Lalu Choky menatapku. Terdiam sesaat, ada tatapan kagum disana. Tapi dia cuma diam.
"Lo sarapan dulu sana. Jangan lupa minum susu nya." Perintahnya padaku. Tanpa menjawabnya, aku langsung berdiri dan pergi dari kamar itu.
Aku berjalan kemeja makan. Waahh begitu banyak makanan. Tumben ya ada nasi juga. Biasanya Choky kalau makan nggak pernah pakai nasi. Tanpa berfikir lebih lama, aku langsung makan. Menghabiskan sepiring makanan dan segelas susu. Cukup kenyang perutku.
Setelah selesai, Choky menggandeng tanganku menuju ke tempat pernikahan kami. Aku masuk kesebuah ruangan yang disana sudah ada keluargaku dan beberapa orang.
Kami langsung duduk didepan penghulu.
"Sudah siap, Mas?" Tanya Pak penghulu.
"Sudah." Jawab Choky dengan mantap.
"Sudah siap, Mbak?" Tanya Pak penghulu padaku.
"Sudah, Pak."
"Baiklah. Mari kita mulai."
Tangan Choky menjabat tangan Ayahku. Dengan suara yang sangat lantang Ayah mengucapkannya.
"Saya nikah dan kawinkan anak saya yang bernama Nova astria binti Triyono dengan maskawin uang 1 milyar dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Nova astria binti Triyono dengan maskawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAH!"
**
Jam 10 memasuki aula pesta pernikahanku. Disana sudah banyak para tamu undangan yang jumlahnya beribu-ribu. Karna tamu undangan keluarga Choky cukup banyak. Choky menggenggam erat tanganku menaiki panggung kecil di aula itu. Diatas panggung itu, aku bisa melihat teman-teman kerjaku dulu. Mereka berkumpul bergerombol jadi satu. Lia tersenyum kearahku. Lalu melambaikan tangannya. Ada Erik juga disana. Erik masih saja sendiri, tapi dia juga tersenyum kearahku. Aku hanya bisa membalas senyumnya.
"Lo senyam senyum sama siapa sih?" Tanya Choky yang dari nada bicaranya terlihat kurang suka.
"Itu teman-teman kerja gue." Aku tak menunjuk kearah mereka. Sudah aku pastikan dia akan sangat tidak suka.
"Nggak usah banyak senyum."
Hah?! gimana ceritanya nggak boleh senyum. Ini kan pesta kita. Masa' pengantinnya sadis banget. Emang aneh ya suamiku ini. Eh iya, sekarang dia sudah resmi menjadi suamiku.
Aku hanya diam tak membalas kata-katanya. Karna pasti hanya akan berdebat. Kembali aku menyisiri tamu-tamu yang hadir. Aku melihat teman kerjaku sedang ngobrol bersama seseorang yang semalam.
Dia Reno. Aku tidak mengundangnya. Siapa yang mengundangnya? Apa dia tamu undangan Choky ya. Kenapa dia disini.
Aduh pikiranku kembali memikirkan seorang Reno. Ada tangan yang menggelayut manja di pundak Reno. Itu Vera istrinya Reno. Menggunakan baju adat juga.
Hah, aku baru menyadarinya. Semua tamu undangan menggunakan baju adat. Tidak ada yang memakai jas ataupun dress layaknya orang kepesta. Dan disudut lain, aku melihat fotoku saat memegang bom itu. Yaampun, iya itu benar-benar fotoku. Wajahku yang dicoret-coret layaknya tentara, jadi tak begitu mirip denganku. Banyak mata yang memperhatikan foto ku itu.
Anehnya, mereka mengaguminya. Katanya sih unik. Jelas unik lah, aku pun juga merasa begitu. Pasti tidak ada kan pernikahan yang menggunakan tema seperti ini.
Ardi naik kepanggung. Menyalami tangan Choky.
"Gw serahin sepupu tersayang gw ya brow. Tolong jaga dia. Kalau sampai dia tersakiti, elo berhadapan sama gw." Ucap Ardi dengan menatap tajam Choky.
"Gw akan pastikan dia bahagia." Lalu Choky menepuk lengan Ardi. Ardipun tersenyum lega. Mereka berpelukan.
Sekarang Ardi memegang tanganku. "Selamat ya, Nov. Gw nggak nyangka lo dah finis sekarang."
"Iya makasih ya. Semoga lo cepet nyusul." Aku sudah membuka kedua tanganku hendak memeluk Ardi. Tapi....
"Kalian mau mati?" Ucap Choky pada aku dan Ardi.
Ardi langsung tertawa kecil. Aku mengerucutkan bibirku.
"Gw ambil makan dulu ya." Masih dengan tawanya, dia berjalan menuruni panggung.
Terlihat teman-teman kerjaku dulu mulai berjalan untuk naik ke panggung kecil. Pak Guntur yang memimpin mereka semua.
"Selamat ya, Nov. Semoga langgeng dan bahagia."
"Makasih ya, Pak Gun. Kenapa sudah mau pulang, Pak?" Tanyaku karna mereka baru sekitar 15 menit dipesta.
"Ini kita harus masuk kerja, Nov. Ijinnya cuma sebentar." Iya, hari minggu bukan hari yang bisa libur untuk para pekerja ditoko.
"Nova sayang, selamat ya, gw ikut seneng. Malah seneng gw kebangetan." Lia memelukku. "Gw nggak nyangka ya, elo pinter banget balas dendam." Bisiknya lirih, lalu dia melepaskan pelukannya. Menempelkan pipinya pada kedua pipiku. Dia nyengir dan berjalan turun dari panggung.
Apa maksudnya? Siapa yang balas dendam? Balas dendam sama siapa? Lia kenapa sih, aneh deh. Aku hanya mengeryitkan keningku.
"Nova, selamat ya. Gw masih nggak percaya elo nikah juga." Ucap Erik.
Akupun tersenyum. "Makasih ya, Rik. Gw harap lo cepet nyusulin gw juga."
Erik hanya tersenyum. Entah apa yang dipikiranku, aku langsung memeluknya. Aku tak melihat Choky yang ternyata sedari tadi mengawasiku.
"Cara lo balas dendam sadis juga ya." Lalu Erik melepaskan pelukanku.
Dia tersenyum nyengir dan turun menjauh dariku. Berhasil membuat raut wajahku heran mati penasaran. Aku terus menatapnya, berharap dia menoleh dan menjelaskan detail kata-katanya itu.
"Ehem!"
Suara deheman Choky memcoba mengalihkan perhatianku. Aku memang mendengarkan suara itu tapi aku tidak tau jika itu suara Choky. Akhirnya dia pegang tanganku.
"Lo mau mati ya?" Bisiknya tepat dibelakang telingaku. Membuatku merinding.
"Ah, iya maaf gw lupa." Aduh bahkan aku sampai lupa jika tadi sudah memeluk Erik juga.
Reno dan Vera naik keatas panggung, menjabat tangan Choky. Lalu Vera memeluk Choky. Membisikkan sesuatu.
"Selamat ya, Kak. Semoga bahagia dengan perjodohan ini." Lalu dia tersenyum pada Choky. Dan beralih padaku. Menjabat tanganku. Hanya tersenyum saja tanpa berkata apapun.
Reno menjabat tanganku. "Selamat ya, Nov. Gw nggak nyangka kalo kita bakal jadi saudara." Lalu dia lepaskan tangannya dan turun dari panggung.
Aku sangat terkejut mendengar kata-katanya. Yang berhasil menjelaskan semua perkataan Lia dan Erik. Jadi Vera itu adiknya Choky? Apa begitu? Jika memang benar, aku bisa gila kalau mereka jadi tinggal satu atap denganku. Setiap hari harus selalu bertemu dengannya. Apa yang bisa aku lakukan sekarang.