Bab 8 : Mikrí Diamáchi
Ranya tersenyum kecil menatap tangan Cal yang tampak mungil di genggamannya. Hari ini tepat satu bulan setelah Ayah Cal menghilang. Tetapi tampaknya masih tidak ada perkembangan akan hal itu. Anak kecil itu juga perlahan mulai tenang--tidak lagi menangis terus-menerus setiap hari.
Dan sekarang mereka sedang berada di sebuah taman yang dipenuhi bunga matahari. Ia sudah meminta izin dengan Xander untuk membawa Cal pergi berkeliling agar anak kecil itu dapat lebih tenang. Yah, padahal sih sebenarnya alasannya bukan hanya itu. Ranya akui ... dirinya sangat bosan terus berada di dalam kamarnya. Parahnya lagi, sejak adegan ciuman itu, Xander tidak datang menemuinya sekalipun. Ia saja meminta izin pada Xander melalui Onix. Cih ... semakin dipikir, ia semakin sebal.
Ranya menatap jauh ke arah taman bunga itu. Ia tersenyum lebar. "Indah," bisiknya lalu menoleh pada Cal yang juga menatapnya.
"Kenapa Cal?" tanyanya.
"Luna sangat cantik."
Ranya tersedak mendengar penuturan anak kecil di hadapannya lalu terkekeh kecil. "Untung saja kau masih kecil. Kalau kita seumuran, aku pasti sudah menyukaimu," gumam Ranya.
"Ingin berkeliling sayang?" Cal mengangguk semangat.
Baru saja mereka hendak melangkahkan kaki. Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah mereka membuat Ranya dan Cal kompak menoleh. Melihat siapa yang berada di sana, Cal langsung bersembunyi di belakang Ranya. Gadis itu terkekeh. "Kau membuatnya takut, Xander."
Lelaki tampan itu berdecak lalu mengerucutkan bibirnya kesal. "Entah apa salahku ....”
Ranya tertawa terbahak-bahak. Ia membalikkan tubuhnya hingga dirinya berhadapan dengan Cal. Ia mengacak rambut anak kecil itu. "Mengapa kau takut?"
Cal menggeleng. Sangat kentara bahwa anak itu takut. "Bolehkah aku berkeliling sendiri saja?"
Tawa Ranya pecah seketika. "Sebegitu takutnya kau dengan Xander?" tanya Ranya di sela tawanya.
Wajah Cal tampak pucat membuat Ranya sedikit merasa kasihan pada anak itu. "Baiklah, kau boleh pergi berkeliling sendiri. Tapi ingat, jangan pergi terlalu jauh dan kau harus kembali dalam satu jam. Aku akan menunggumu di pondok itu, paham?" pesan Ranya panjang lebar.
Cal hanya mengangguk. Ia menunduk sekilas--berpamitan-- lalu berlari terbirit-birit meninggalkan Ranya dan Xander. Sepeninggalnya Cal, tawa Ranya kembali menggelegar. Wajah Xander tampak masam.
"Apa saja yang kau lakukan hingga dia ketakutan seperti itu?"
Xander berdecak. Ia menarik tangan Ranya dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Ia menarik napas dalam-dalam. Mencium aroma tubuh Ranya yang telah menjadi candunya. Ranya yang awalnya tertawa terbahak-bahak kini terdiam kaku dalam pelukan Xander.
"Aku merindukanmu."
Ranya hanya diam. Jujur, ia juga merindukan lelaki itu. Tetapi kini otaknya seolah membeku, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Xander menjauhkan tubuhnya dari Ranya tetapi tangannya masih mengalungi pinggang gadis itu. "Kau tidak mau membalas pelukanku?" protesnya lalu mengerucutkan bibirnya.
"Ah? Oh iya." Ranya terkekeh kecil lalu membalas pelukan Xander.
"Aku juga merindukanmu ...," bisik Ranya pelan.
***
Sinar matahari mulai menghilang digantikan bulan yang perlahan menampilkan wujudnya. Ranya mendongakkan kepalanya, menatap langit yang terbentang luas. Sempat terbesit di otaknya dulu, untuk kabur dari rumah bahkan kabur dari dunia ini. Tetapi, untunglah hal itu tak terlaksanakan karena tertangkap basah oleh Bu Sumi. Ranya masih mengingat jelas betapa marahnya Bu Sumi saat melihatnya berdiri di atas sebuah bangku dengan tali yang terikat di atas pintu. Ia bahkan mendiamkan Ranya selama tiga hari. Ya, hanya tiga hari karena di hari keempat, Ranya melihat Bu Sumi menyimpan seluruh benda tajam ke dalam lemari dan menguncinya. Bukan hanya itu, ia melihat Bu Sumi menangis sendirian di sana.
Sungguh, itu adalah pertama kalinya Ranya sangat merasa bersalah sekaligus bahagia. Ternyata ada seseorang yang sangat memedulikannya.
“Xander …,” panggil Ranya pelan dengan mata masih menatap ke langit.
Meskipun tidak ada jawaban dari Xander, Ranya dapat merasakan laki-laki itu menoleh padanya.
“Kapan aku boleh pulang?”
Pertanyaan itu.
Pertanyaan yang Ranya kira tak akan ia tanyakan.
Ranya menoleh saat tidak mendapatkan respon dari laki-laki itu. Ia cukup terkejut sekaligus takut saat Xander menatapnya tajam. Apa dirinya telah salah bertanya?
“Rumahmu di sini.”
Ranya menghela napas. “Ini bukan rumahku. Mau senyaman atau semewah apapun tempat ini, aku merasa ini bukan rumahku. Jadi, biarkan aku kembali ke tempatku.”
Xander bangkit berdiri. “Kau tidak akan kembali ke mana-mana,” ujarnya lalu meninggalkan Ranya sendirian.
***
"Aku tidak ingin mendengar kabar buruk lagi, Althous." Xander memperingatkan orang yang baru saja memasuki ruang kerjanya.
"Kali ini saya membawa kabar baik. Kami menemukan ini."
Xander mengernyit melihat sebuah kalung arloji kuno di tangan Althous. Ia menatap Beta-nya bingung. "Apa yang kau maksud dengan kabar baik?"
"Apakah Alpha tidak mencium aro--" Mendapat tatapan tajam dari Xander, Althous langsung membungkukkan tubuhnya cepat. "Maafkan saya, Alpha."
Xander berdecak. "Aroma siapa yang kau maksud?"
"Davidson."
Xander sontak menatap Althous serius. Sudah satu bulan, tetapi baru kali ini ia mendengar kabar terbaru dari pencarian Davidson. Ia mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Althous dengan fokus.
"Aku akan pergi ke sana untuk menyelidiki lebih dalam lagi," putus Xander setelah berpikir sejenak.
"Baiklah, saya akan menyiapkan warr--"
"Tidak usah," potong Xander, "aku akan pergi sendiri."
"Tapi, Alpha ... Berbahaya untuk pergi ke sana sendiri. Tolong jangan lupakan kata peramal tentang ...."
Xander berdecak membuat Althous langsung menutup bibirnya. "Jangan terlalu peduli dengan perkataan nenek tua itu. Dan jangan meremehkanku, Beta. Aku adalah Alpha di pack ini."
Althous hanya dapat mengangguk pasrah. "Baik, kalau begitu, saya akan menyiapkan bekal dan beberapa senjata untuk Anda."
Xander menghela napas berat setelah Althous meninggalkan ruangannya. Ia menatap lekat arloji yang berada di tangannya. Entah apa yang terjadi, tapi yang pasti, Xander memiliki firasat buruk akan hal itu.
***
Ranya memekik tertahan kala sebuah tangan memeluk pinggangnya dari belakang dengan erat. Bahu Ranya perlahan menurun saat menyadari Xander lah yang memeluknya. Lelaki itu menaruh kepalanya di ceruk leher Ranya dan menghirup rakus aroma milik gadisnya.
"Aku merindukanmu," bisik Xander.
Ranya terbatuk. Ia merasa pipinya memanas. "A-apa yang kau lakukan?"
"Tidak ada."
Xander mengecup sekilas leher Ranya sebelum menjauhkan wajahnya dari leher gadis itu. Ia membalikkan tubuh Ranya tanpa melepaskan tangannya di pinggang Ranya sehingga kini mereka dalam posisi berpelukan.
"Di mana Cal?" tanya Xander. Matanya menatap wajah Ranya lekat. Ia baru menyadari mate-nya secantik ini. Bukan, maksudnya, ia sadar Ranya memiliki wajah yang cantik sejak pertama kali bertemu. Tetapi semakin lama, ia merasa gadisnya itu semakin cantik.
Gadis itu memiliki bola mata berwarna hazel, bibir mungil berwarna pink alami, bulu mata yang lentik, dan jangan lupakan pipinya yang tembam hingga membuat Xander terus menahan diri untuk tidak menggigit bakpao satu itu.
"Hei, kau dengar aku?" tanya Ranya menyentak Xander dari lamunannya.
"Oh ya, apa yang kau bilang?"
Ranya mendengus. "Cal sedang berjalan-jalan di taman," ulang Ranya, tetapi kemudian ia mengernyit, seolah baru menyadari sesuatu.
"Kenapa?" tanya Xander melihat kerutan di dahi Ranya.
"Sudah lama sejak ia pergi, kenapa Cal belum kembali?"