Bab 7 : Mystiriódes Paidí
Xander duduk di meja kerjanya dengan tangan terkepal kuat. Ia menggeram kala Althous kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Ada masalah apa lagi, Beta?" tanyanya.
"Kepala desa melapor bahwa salah satu penduduknya hilang."
"Lalu apa masalahnya dengan kita?" Xander memijit pangkal hidungnya.
"Ia bersikeras bahwa malam saat orang itu menghilang, ia melihat sinar ungu yang terang serta teriakan kencang dari perbatasan hutan."
"Sinar ungu?" gumam Xander pelan lalu menoleh pada Althous. "Siapa nama penduduk yang hilang itu?"
"Davidson," kata Althous. "Ia juga memiliki seorang anak laki-laki yang masih kecil."
"Di mana putranya?"
Xander bangkit dari kursinya dan berjalan mengikuti Althous. Mereka berhenti di sebuah ruangan yang memang dikhususkan untuk menyambut tamu. Mata Xander berhenti pada seorang anak laki-laki yang ia tebak umurnya bahkan belum menyentuh angka delapan. Anak itu tampak lusuh seolah sudah tidak membersihkan diri selama bertahun-tahun. Matanya menatap kosong ke depan, tetapi Xander dapat melihat kesedihan tersirat dari matanya.
"Siapa namanya?" bisik Xander.
"Ia tidak mau memberitahu nama lengkapnya dan menyuruh kita hanya memanggilnya Cal."
Xander mengangguk lalu mengibaskan tangannya menyuruh Althous pergi meninggalkannya bersama Cal. Xander berjalan mendekati anak itu yang mungkin masih belum menyadari kehadirannya. Entah apa yang dipikirkan bocah kecil itu.
"Cal?" Anak itu menoleh lalu menatapnya takut. Xander berpikir dan bertanya-tanya apa yang salah dengan penampilannya sehingga anak itu takut?
"Kau takut padaku?" tanya Xander yang dijawab dengan anggukan polos dari Cal.
Xander mengembuskan napas berat. Beberapa hari ini cukup melelahkan baginya. Sejak tiga hari yang lalu, ia belum beristirahatlah sebentar pun. Anak buahnya terus bolak-balik dan membawa masalah ke ruang kerjanya. Jujur, ia sedikit rindu pada gadisnya. Sontak Xander terdiam. Ranya? Xander menyeringai. Bukan ide yang buruk.
***
Xander mengetuk pintu kamar Ranya beberapa kali seraya melirik wajah Cal yang tampak ingin membuang air kecil dalam gendongannya. Ia kembali mengetuk pintu ketika Ranya tak kunjung membuka pintu. Jujur, ia sedikit kasihan pada Cal yang tampak sangat takut dengannya. Walau menyadari hal itu, ia cukup kesal.
Baru saja Xander hendak mengetuk pintu kembali, pintu kamar dibuka dan menampilkan wajah mungil yang menenangkan hati Xander.
"Ya? Sia-- Xander?" beo Ranya. Dahi Ranya berkerut melihat seorang anak kecil berada dalam gendongan Xander.
"Itu anakmu?" tanya Ranya agak ragu.
Xander melotot membuat Cal semakin takut. "Tentu saja bukan." Xander melirik Cal yang hendak menangis. "Aku akan menjelaskannya. Tapi bisakah untuk saat ini kau mengambil alih anak ini terlebih dahulu? Kurasa sebentar lagi ia akan meledak jika terus kugendong."
Ranya hampir terbahak. Ia mengambil Cal dan menggendongnya. Anak itu langsung mengalungkan tangannya pada leher Ranya--tampak sangat imut. Xander mendengus sebal. Mulutnya sangat gatal untuk mengatakan, "Jangan sentuh gadisku, bung!", tetapi tentu saja Xander tidak akan langsung mengatakannya. Bisa-bisa anak itu langsung menangis histeris.
Ranya membawa anak itu masuk ke dalam kamarnya diikuti Xander yang mengekor di belakang. Ia membaringkannya ke atas kasur. Ranya menatap wajah anak itu yang tampak tenang dan teduh saat tidur.
"Jadi bisa kau jelaskan siapa anak ini?" tanya Ranya mulai mengintrogasi sang Alpha.
Xander menarik napas dalam sebelum menceritakan kejadian nahas yang menimpa Ayah anak itu. Ranya menatap Cal sedih. Xander berjalan mendekatinya dan mengelus kepala gadis itu dengan pelan. Ranya menoleh lalu mendapati senyuman menenangkan dari sang Alpha.
"Tenang saja. Aku akan menemukan Ayahnya segera." Ranya mengangguk lalu membalas senyuman Xander.
Gadis itu bangkit dari kasurnya membuat elusan Xander pada kepalanya terlepas. Ia menarik tangan Xander dan mendorong lelaki itu hingga berbaring di sebelah Cal. Tentu saja hal itu membuat Xander terkejut sekaligus gugup. Hei! Dia laki-laki tulen, tahu!
"Kau bisa mencari Ayahnya nanti. Sekarang sepertinya kau harus beristirahat terlebih dahulu."
Xander terdiam bingung membuat Ranya kembali melanjutkan ucapannya, "Aku tau kau tidak tidur selama beberapa hari." Kini Ranya mengelus kepala Xander seperti lelaki itu mengelus kepalanya.
Xander tersenyum tipis. Ia menarik Ranya hingga duduk di sebelahnya dan memeluk pinggang gadis itu. Lelaki itu memejamkan matanya sementara Ranya mati-matian menahan napasnya.
Lelaki sialan! Dikasih hati minta jantung, batin Ranya mengumpati Sang Alpha.
***
Ranya memandang wajah Cal yang tampak tenang saat tidur. Sudah dua belas jam, tetapi anak kecil itu sepertinya belum ingin bangun dari mimpinya. Ranya jadi penasaran apa yang telah dimimpikan anak itu.
"Hm ... Ayah ..." Cal merengek dalam tidurnya.
Ranya langsung berdiri tegap dan memegang pipi Cal. "Sstt ... tidurlah."
Cal menggeleng. Matanya masih terpejam tetapi bibirnya terus mengeluarkan rintihan dan ucapan yang tidak dapat Ranya pahami. "Jangan pergi, Yah. Ayah ... Yah ... Ayah ...."
"Dengarkan aku kali ini saja ..." Cal terus menggeliat dalam tidurnya. Ranya tampak panik dan cemas. Ia menepuk kedua pipi anak itu berusaha membangunkan Cal dari mimpi buruknya.
"Ayah!!" teriak Cal, membuka matanya lebar-lebar. Napasnya ngos-ngosan seolah baru saja dikejar oleh ratusan hantu atau monster menyeramkan.
Ranya sigap memeluk Cal. Ia mengelus rambut anak itu. Cal menangis dalam pelukan Ranya. "Ayah ...," panggil Cal pelan.
"Tenanglah, itu hanya mimpi buruk. Tidak akan ada yang terjadi pada Ayahmu."
Cal menggigit bibirnya, berusaha menahan tangisannya membuat Ranya semakin panik. Ia mengangkat Cal dan menggendongnya seolah seorang Ibu sedang mendiamkan bayi kecilnya.
"Jangan melukai bibirmu. Jika menangis bisa membuatmu lega, menangislah sepuasnya."
Ranya hanya diam mendengar suara tangisan yang menyakitkan keluar dari bibir Cal. Ia mengerti perasaan anak itu. Dulu ia juga sering menangis diam-diam ketika mendapati perlakuan buruk dari kedua orang tuanya. Ia mendadak teringat dengan sepasang suami-istri itu. Kira-kira apa yang sedang mereka lakukan saat ini? Apakah mereka sedang berusaha mencari Ranya? Atau justru merasa bahagia atas hilangnya anak pembawa beban? Memikirkan hal itu membuat hati Ranya sedikit sedih.
***
"Apa yang terjadi?" Xander langsung bertanya ketika baru memasuki kamar Ranya.
Ranya berdecak. Ia menempelkan jari pada mulutnya, menyuruh Xander untuk tidak mengeluarkan suara. Ia menunjuk Cal yang tertidur lelap dengan dagunya lalu menarik Xander untuk keluar dari kamarnya.
"Jadi apa yang terjadi? Aku dengar ia menangis? Kau apakan dia?"
Ranya melotot kesal. "Memang apa yang bisa kulakukan pada anak kecil? Pertanyaanmu itu seolah aku ini penjahat tau!"
Xander terdiam kala menyadari pertanyaannya sedikit ambigu. "Maaf, jadi bisa kau jelaskan mengapa ia bisa menangis?"
"Ia mimpi buruk tentang Ayahnya dan menangis selama dua jam penuh sampai kelelahan dan tidur kembali," jelas Ranya, ia menghela napas lelah, tangannya sedikit pegal menggendong dan memeluk Cal hingga anak itu tenang.
"Ada perkembangan tentang Ayahnya Cal?" tanya Ranya penuh harap.
Xander menggeleng. "Tidak ada petunjuk sama sekali. Bahkan tetangganya pun tidak tahu apa-apa. Sepertinya Cal dan Ayahnya jarang bersosialisasi dengan orang lain."
Bahu Ranya merosot. Ia merasa kasihan dengan Cal. Anak itu masih kecil dan sudah mengalami hal sepahit ini. Mata Ranya membelalak kaget kala Xander memeluknya erat.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Ranya terbata-bata.
"Aku sedang kelelahan sekarang. Biarkan aku mengisi daya ulang sebentar saja."
Ranya terdiam. Ia merasa jantungnya berdebar kencang seolah ingin keluar dari tempatnya. Pipinya memanas, ia merasa perutnya digelitik oleh ratusan jari. Beberapa saat mereka diam dengan posisi yang sama hingga Xander menjauhkan tubuhnya.
"Baik. Sekarang aku harus kembali bekerja."
Baru saja Xander hendak berbalik, Ranya menarik tangan lelaki itu dan menempelkan bibirnya dan bibir Xander. Hanya sebentar. Karena setelah itu, Ranya langsung berlari masuk ke dalam kamarnya.
Xander terdiam kaku. Matanya membulat sempurna, menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat. Sebuah senyuman kecil terbit di bibirnya. Tidak ia sangka, gadisnya seberani itu. Ia mendengus geli lalu berjalan menuju ruang kerjanya dengan semangat.
Di lain sisi, Ranya menyandarkan tubuhnya ke pintu. Ia memegang dadanya yang terus berdebar kencang. Pipinya memerah seperti kepiting rebus. Ia memegang bibirnya lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menahan teriakannya karena masih menyadari bahwa Cal tertidur di atas kasurnya. Ya Tuhan, dari mana ia mendapat keberanian gila seperti ini?