Bab 5 : Pséytiki Elpída
Ranya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Tidak ada yang menarik perhatian, hanya ada pepohonan lebat yang Ranya yakini sangat menyeramkan saat gelap. Ranya mengembuskan napas berat. Sebenarnya ia sedang berada di mana? Redlow pack? Sumpah, ia baru pernah mendengarnya.
"Melamunkan apa?"
Dan kini, pria yang Ranya harap dapat menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya datang. Damian Denalfian Xander. Hm, enaknya Ranya panggil apa ya? Damian? Alfian? atau Xander seperti Luna Ara?
"Xander?"
"Iya, kenapa?" sahut Xander seraya berbaring di ranjang yang Ranya gunakan saat tinggal di sini.
"Bisa kau ceritakan semuanya?"
"Ceritakan apa maksudmu?" Xander memejamkan matanya. Lelaki itu tampak kelelahan.
"Dari mengapa aku bisa ada di sini, lalu tempat apa ini, dan mengapa banyak orang memanggilmu dengan sebutan Alpha sementara namamu tidak ada unsur Alpha nya."
Xander menghela napas. Ia membuka matanya lalu menepuk kasur sebelahnya, memberi kode agar Ranya ikut berbaring. Ranya sontak melotot. Seranjang dengan lelaki asing? Tidak, terima kasih!
"Katamu ingin diceritakan? Duduklah!"
Mau tidak mau, Ranya menuruti perintah Xander demi memenuhi rasa penasarannya. Ia mendudukkan bokongnya di sebelah Xander. Bulu kuduk Ranya meremang kala merasakan tatapan intens dari Xander.
"J-jadi bisa kau ceritakan?"
"Kau tidak akan percaya."
Ranya mengernyit. "Ceritakan saja dulu. Aku yang berhak memilih ingin percaya atau tidak."
"Aku takut, kau akan menjauhiku."
Ranya menarik napas lelah. "Ceritakan saja dulu, Xander." Matanya menatap mata Xander serius. Seolah meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja setelah mendengar penjelasan lelaki itu.
"Kami bukan manusia biasa, kami adalah werewolf."
Hening.
Ranya terdiam dengan wajah pucatnya. Dirinya tidak bodoh, ia jelas tahu apa itu werewolf. Ia pernah ikut kuliah umum tentang makhluk mitologi. Yah, walau ia tidak tahu sekali sih.
"W-werewolf?" ulang Ranya terbata-bata, berusaha memastikan pendengarannya tidak bermasalah.
Xander mengembuskan napas kasar. Ia menganggukkan kepalanya. Ranya menggigit bibirnya. "Kau seriuskan?" tanya Ranya lagi.
Xander berdecak kesal. "Memang wajahku seperti sedang bermain-main?" tanyanya jengkel.
"Jadi kau bisa berubah menjadi serigala?"
“Iya.” Xander bingung dengan respon Ranya. Gadis itu tidak terlihat takut.
“Itu gila! Coba berubah jadi serigala, aku ingin melihatnya!”
Xander membulatkan matanya. Ia tidak salah dengarkan? Gadis di hadapannya ini memintanya menunjukkan wolf-nya? Ekspektasinya sangat berbeda. Ia kira gadis di hadapannya akan kabur setelah mendengar kenyataan satu itu.
"Kau tidak takut?" tanya Xander heran.
"Takut? Takut kenapa? Aku malah penasaran sekali bagaimana bentuk werewolf. Wah, aku benar sangat beruntung!" pekiknya antusias.
Xander terkekeh kecil. Ia mengangguk. "Baguslah. Tapi aku tidak bisa menunjukkan wolf -ku padamu sekarang."
"Hah? Kenapa? Aku ingin melihatnya!" protes Ranya kecewa.
Xander bangkit dari tidurnya dan bersandar pada kasur. "Aku takut kau tidak siap, Ranya." Xander mencubit hidung Ranya gemas.
"Tidak siap apa? Bukankah aku sudah bilang, aku tidak takut?"
Xander menggeleng. "Aku dan Leo sepakat untuk tidak menunjukkan wujudnya padamu sekarang."
"Leo? Siapa?"
"Wolf -ku."
Mata Ranya semakin berbinar. "Jadi maksudmu sekarang aku sedang dalam kumpulan werewolf?"
Xander mengangguk santai. Ia cukup tenang dan lega setelah melihat respon gadis itu. Sejak tadi, ia sangat takut gadis itu malah melarikan diri setelah mendengar kenyataan tentang dirinya.
"Bolehkah aku berkeliling? Aku ingin melihat mereka," bujuk Ranya.
"Kakimu masih belum sembuh. Kau tidak boleh terlalu sering bergerak."
"Tapi...."
"Besok. Aku janji besok akan menemanimu berkeliling."
Ranya bersorak girang. Sungguh, kini ia merasa seperti sedang berada dalam negeri dongeng. Sulit dipercaya tapi benar-benar nyata!
***
Entah karena terlalu semangat atau rajin, Ranya sudah bangun sejak pukul 4 dini dan bersiap-siap menunggu kedatangan Xander membawanya berkeliling. Bahkan Onix--seorang perempuan paruh baya yang disuruh Xander untuk membantunya-- menggeleng-geleng melihat betapa antusiasnya Ranya.
"Tidak bolehkah aku memakai celana panjang saja?" tanya Ranya merengut melihat dress longgar melekat di tubuhnya.
"Maaf, Luna. Kaki Luna masih belum sembuh total. Alpha melarang kaki Luna untuk bergesekan dengan celana."
Ranya mendengus. "Baiklah. Sekarang kita tinggal menunggu Alpha mu itu datang ke sini," ujar Ranya girang seraya tersenyum manis.
Satu jam..
Lima jam..
Lima belas jam berlalu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Xander tak kunjung datang. Ranya meletakkan kepalanya di atas meja rias. Ia lelah menunggu. Bahkan matanya sudah mulai mengantuk sekarang. Onix menatap kasihan majikannya itu.
"Sepertinya Alpha sedang sibuk. Apakah Luna mau beristirahat dulu?" tawar Onix tak tega.
Ranya menoleh. Ia menggeleng lesu. "Biar aku menunggu setengah jam lagi."
Onix menghela napas lalu mengangguk pasrah. Ia tidak bisa membantah ucapan majikannya. Bisa-bisa ia diusir dari pack dan menjadi rogue. Onix mengambil segelas tes dan menyodorkannya pada Ranya. Ia hanya dapat berharap sang Alpha dapat segera datang dan menjemput Lunanya ini. Tetapi bahkan sejam telah berlalu, Xander masih belum kunjung datang.
Ranya mengembuskan napas kesal. Ia bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan riasannya. Dalam hatinya ia terus mengumpati sang Alpha sialan.
***
Ranya membuka matanya dengan perasaan yang masih jengkel. Bahkan karena rasa kesalnya itu, ia malas untuk bangun dari tidurnya. Ia melirik Onix yang berdiri tegap di samping tempat tidurnya. Perempuan paruh baya itu tersenyum hangat menatapnya.
"Kenapa?" tanya Ranya.
"Alpha sudah menunggu Anda di taman setengah jam yang lalu, Luna."
Ranya mengernyit. Untuk apa lelaki itu menunggunya di sana setelah mengingkari janjinya? Ranya mendengus, ia membuang muka. "Bilang sama Alpha-mu itu, aku tidak akan datang!" ujarnya.
"Baiklah." Onix menunduk sejenak sebelum ia keluar dari kamar Ranya.
Ranya mendesis kesal. Semakin dipikir rasanya ia semakin jengkel. Ia bukan menunggu satu atau dua jam, tetapi lima belas jam! Bayangkan saja kalian duduk selama lima belas jam menunggu seseorang dan orang itu tidak datang.
Tak lama kemudian, pintu kembali diketuk. Ranya berdecak sebal. Dengan amarah yang sudah di puncak ubun-ubun, Ranya turun dari kasurnya. Ia berjalan tertatih-tatih dan membuka pintu dengan kasar. Baru saja ia hendak menyembur siapapun yang mengetuk pintu, Ranya dibuat terpana dengan ketampanan sang Alpha yang tersenyum manis di hadapannya.
"Kau marah?"
Pertanyaan Sang Alpha membuat Ranya tersadar dari lamunannya. Ia menatap tajam Xander sebelum akhirnya Ranya lebih memilih membuang muka dibanding menatap wajah tampan itu lama-lama.
"Kau benar-benar marah?" tanya Xander sekali lagi.
Ranya mendengus. "Kau pikir saja sendiri!" ujarnya sinis lalu membalikkan tubuhnya, kembali menggerakkan kakinya menuju kasur. Untuk sesaat, Ranya merutuki kakinya yang lama sekali pulih hingga membuatnya sedikit kesusahan untuk berjalan.
Ranya memekik tertahan kala merasakan tubuhnya melayang di atas udara. Ia menatap sinis lelaki di hadapannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Xander, Sang Alpha. Lelaki tampan itu menggendong Ranya lalu membaringkannya ke atas kasur.
"Maafkan aku. Kemarin ada sedikit masalah hingga aku tidak bisa menepati janjiku."
Sedikit masalah? Kerutan tercetak jelas di dahinya. Ingin rasanya Ranya bertanya, tetapi ia sadar, dirinya bukan siapa-siapa di sini. Ranya memaksakan sebuah senyuman tipis di bibirnya. "Ya sudahlah, tidak apa."
Tubuh Ranya menegang seketika mendapatkan elusan lembut pada rambutnya. Ia mendongakkan kepalanya, matanya bertabrakan dengan bola mata biru milik lelaki itu. Seakan terperangkap dalam indahnya bola mata itu, Ranya tak bisa mengalihkan perhatiannya.
"Bagaimana jika sebagai gantinya, aku membawamu berkeliling hari ini, hm?"
Ranya berdeham lalu mengangguk. Bibirnya terlalu kaku bahkan sekadar untuk menjawab. Ranya mengembuskan napas lega ketika lelaki itu menjauhkan tubuhnya.
"Bersiaplah, aku akan kembali satu jam lagi." Xander memberikan senyuman tipis sebelum berjalan keluar dari kamarnya.
"Sialan, lelaki itu sangat tampan," umpat Ranya dalam hati.