Bab 3
Ardhi duduk di sofa ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga. Matanya meneliti ke seluruh penjuru apartemen yang ditempati oleh Diana. Sederhana. Sangat sederhana.
Lalu mata elangnya menatap pada Diana yang sedang berjalan menuju arahnya dengan membawa sebuah nampan. Ardhi tak melepaskan sedikit pun matanya dari Diana. Hingga suara lembut Diana menyadarkan Ardhi.
"Silahkan diminum. Maaf hanya air putih saja." Diana menunduk merasa malu karena hanya bisa menyediakan air putih saja. Harus bagaimana lagi, kulkas nya sudah hampir kosong. Dia belum sempat belanja bulanan.
Ruangan hening, hanya suara hujan diluar yang mematahkan keheningan. Diana memandang keluar jendela melihat hujan yang turun dengan deras. Diana tak sadar bahwa sekarang dia sedang diperhatikan oleh pria didepannya.
Ardhi menatap Diana lekat-lekat. Dia memperkirakan bahwa usia Diana masih dibawahnya tapi wanita itu sudah memiliki anak berumur 4 tahun.
Tapi sebuah fakta menyadarkan Ardhi. Dia mengingat, bahwa Ibunya pun melahirkan dirinya beserta dua kembaran nya diusia yang belum genap 18 tahun. Dan Ardhi pun bisa menebak bahwa Diana pun menikah di usia muda, seperti Ibunya.
"Kemana suamimu?" Tanya Ardhi dengan suara beratnya. Bukan apa-apa, Ardhi hanya tidak mau berlama-lama kalau saja suami Diana sedang tidak ada disini. Diana terhenyak dengan pertanyaan Ardhi itu.
"Suamiku sudah tidak ada." Jawab Diana. Ardhi dapat melihat sorot kesedihan dalam manik coklat madu itu. Entah kenapa, Ardhi merasa tidak suka melihat kesedihan yang terpancar itu. Kenapa dia peduli? Buat apa dia peduli pada orang asing?
Ardhi masih memaku pandangannya pada Diana. Hingga suara keponakannya itu membuat pandangan Ardhi teralih.
"Om Ardhi, hujannya sudah reda. Ayo kita pulang." Ajak Delia pada Ardhi. Mendengar perkataan keponakannya, Ardhi langsung melihat ke arah jendela dan ternyata benar, hujan sudah reda.
Ardhi masih duduk. Dia merasa tidak mau pergi dari sana. Entah apa yang membuatnya terasa nyaman berada di apartemen yang sangat sederhana baginya.
Bukan, bukan apartemennya yang membuat Ardhi merasa nyaman, tapi manik coklat madu itu yang membuat Ardhi nyaman dan ingin selalu melihatnya.
Ardhi mengerjapkan matanya saat sadar apa yang dipikirkannya. Lalu dia kembali mendengar suara keponakannya lagi.
"Om kok melamun? Ayo pulang Om, nanti hujannya keburu turun lagi." Ucap Delia dengan suara khas anak kecil. Ardhi pun bangkit berniat pulang.
"Kami pulang dulu Tante Diana." Ucap Delia sambil melambaikan tangannya pada Diana dan Hany. Diana dan Hany pun membalas lambaian tangan Delia dengan senyuman. Kemudian mata Diana beralih pada Ardhi.
"Sekali lagi terima kasih telah mengantar Hany pulang." Ungkap Diana. Ardhi hanya mengangguk singkat dan kakinya pun langsung menggiringnya pergi dari tempat yang terasa nyaman baginya.
.
.
.
Hari sudah malam, jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Ardhi keluar dari kamarnya menuju ruang makan untuk makan malam. Tubuh atletisnya dibalut sebuah kaos tipis dan celana pendek.
Saat sampai diruang makan, Ardhi dapat melihat semua anggota keluarganya telah berkumpul.
"Ayo Ardhi, kita makan malam." Ardhi mengangguk sebagai respon dari ajakan Ibunya itu. Kemudian Ardhi duduk di kursi sebelah Ibunya.
Makan malam dimulai. Suasana di meja makan terasa tenang karena semua orang fokus pada makanannya, kecuali Ardhi.
Bayang-bayang wajah Diana muncul dalam kepalanya. Keindahan manik coklat madu itu seolah menghipnotis Ardhi membuat Ardhi ingin terus menatapnya.
Ardhi masih mengingat sorot mata itu yang penuh kesedihan dan kesepian. Tidak ada sorot kagum ataupun memuja dari mata itu saat melihat Ardhi. Ardhi merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia ingin melihat mata indah itu lagi. Dia ingin melihat wajah lugu itu lagi. Dia ingin bertemu dengan Diana lagi.
'Apa yang terjadi padaku?' Batin Ardhi bertanya-tanya. Sebuah sentuhan lembut dipunggung tangannya menyadarkan Ardhi. Ardhi menoleh dan ternyata Ibu tercintanya lah yang kini sedang menatapnya dan menyentuh punggung tangannya.
"Ada apa? Kenapa makannya tidak dimakan? Apa tidak enak?" Ardhi menatap piringnya dan dia baru sadar, bahwa makanan itu belum masuk ke dalam mulutnya sedikit pun. Ardhi pun menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Vely, Ibunya.
"Tidak Ma, hanya sedang banyak pikiran saja." Jawab Ardhi disertai senyuman lembut. Vely tersenyum mendengar jawaban putra sulungnya itu.
"Jangan terlalu dipikirkan. Habiskan makanannya." Perintah Vely lembut. Ardhi mengangguk patuh.
Makan malam keluarga besar itu telah selesai. Tapi belum ada satupun yang beranjak pergi meninggalkan meja makan karena Sang Kepala Keluarga masih duduk dengan tenang disana.
"Tya, bagaimana sekolahmu?" Tanya Sean pada anak bungsunya. Gadis yang bernama Tya itu mendongak menatap Ayahnya.
"Baik-baik saja Ayah. Hanya saja Jordi selalu mengangguku disekolah Ayah." Adu Tya pada Ayahnya itu. Jordi adalah anak semata wayang Jason dan Seanna yang 1 tahun lebih muda dari Tya dan bersekolah disekolah yang sama dengan Tya. Sifat Jordi itu benar-benar menjengkelkan bagi Tya.
"Mungkin Jordi naksir padamu Tya." Ucap Erick. Tya langsung melotot mendengarnya.
"Enak saja. Kita itu sepupu Kak." Ucap Tya seraya mengerucutkan bibirnya.
Ardhi melihat interaksi saudara-saudaranya itu dalam diam. Dia sangat menyayangi keluarganya itu walaupun dia jarang mengekspresikan nya.
Kemudian pikirannya kembali teralihkan pada Diana. Entah kenapa, rasa peduli dan rasa ingin melindungi yang biasanya Ardhi rasakan hanya pada saudara-saudaranya kini juga terasa saat melihat Diana. Apakah dia juga peduli pada wanita itu? Apakah dia juga ingin melindungi wanita itu? Dan Ardhi pun penasaran ada apa yang terjadi padanya. Ardhi melirik Ibunya yang sedang menatap adiknya, Farrel.
"Ma, aku ingin bicara dengan Mama berdua." Seketika itu juga ruang makan yang semula sedikit riuh karena perdebatan antar saudara langsung hening karena kalimat Ardhi. Semua yang ada disana menatap Ardhi penasaran. Vely tersenyum lalu meraih tangan Ardhi.
"Ya udah. Kita ke kamarmu." Vely dan Ardhi pun bangkit pergi dari sana meninggalkan yang lainnya yang masih bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh Ardhi dan Vely.
Vely sudah sampai dikamar milik anak sulungnya itu. Vely langsung mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ardhi pun mengikuti Ibunya. Ardhi membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha Vely sebagai bantalannya. Kemudian mata Ardhi terpejam merasakan usapan halus tangan Vely di kepala nya.
"Apa yang kamu mau bicarakan dengan Mama?" Tanya Vely dengan suara yang lembut. Ardhi membuka matanya dan menatap manik hitam Sang Ibu yang sama persis seperti miliknya.
"Mama, bagaimana rasanya jatuh cinta?" Tanya Ardhi. Vely tertawa renyah mendengarnya.
"Kamu kan pernah menjalin hubungan dengan perempuan. Kenapa kamu masih bertanya hm?" Ardhi memejamkan kembali matanya. Walaupun dia menjalin hubungan selama 2 tahun dengan Reina, Ardhi tidak merasakan yang namanya cinta. Itulah mengapa dia masih belum tahu bagaimana rasanya.
"Aku tidak mencintainya Ma." Jawab Ardhi. Vely pun hanya menatap anak sulungnya itu dalam diam. Kemudian suaranya yang lembut mengalun dengan indah.
"Jatuh cinta itu rasanya menyenangkan juga menyakitkan. Tergantung yang menjalaninya." Vely kembali menerawang hubungannya dulu dengan Sean.
"Ciri-cirinya kau tak bisa melupakannya atau menghilangkannya dari pikiranmu. Kau merasa peduli padanya dan kau selalu ingin melihatnya bahkan selalu ingin bersamanya." Ardhi termangu mendengarnya. Semua yang dikatakan oleh Ibunya persis seperti apa yang dia rasakan. Benarkah? Benarkah Ardhi jatuh cinta pada wanita yang baru saja dia temui tadi siang itu?
"Ma, kalau kita merasakan seperti apa yang Mama katakan pada orang yang baru kita temui, apakah itu juga cinta?" Vely menatap putra sulungnya dengan lekat. Tak mungkin anaknya yang dingin dan kaku itu akan menanyakan hal seperti itu kecuali kalau dia merasakannya sendiri.
"Ya bisa saja. Itu dinamakan cinta pada pandangan pertama." Jawab Vely.
Cinta pada pandangan pertama? Apakah Ardhi mengalami hal itu? Ardhi berusaha menyangkal tapi hatinya terasa sesak saat pikirannya menyangkal hal itu.
Jadi, dia jatuh cinta pada pandangan pertama?