Bab 8 Harapan Mama dan Papa Micha
Bab 8 Harapan Mama dan Papa Micha
Malam ini Micha tidak ingin melakukan apa pun, termasuk mengerjakan tugas. Setelah seharian ia mengikuti seminar, tubuh dan otaknya sudah amat lelah. Meski tidak langsung tidur, setidaknya ia ingin bersantai dengan mendengarkan musik, membaca novel atau hanya sekedar bermain ponsel.
"Haa... Rasanya tubuhku pegal sekali," gumam Micha yang kini telah merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi melintang, sambil menatap langit-langit kamarnya yang beraksen kayu modular di pinggirannya itu.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar dan ini sontak membuat Micha mengalihkan tatapannya ke arah pintu kamarnya.
"Masuk saja tidak di kunci," ujar Micha.
Pintu lantas terbuka dan menampakkan sosok Mamanya yang sedang tersenyum manis.
"Hai, sayang."
Micha bangkit terduduk dan balas tersenyum manis saat Mamanya mulai berjalan ke arahnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Micha setelah Mamanya mengambil duduk tepat di sampingnya.
"Tidak ada apa-apa. Mama hanya sedikit khawatir karena sepanjang kita makan malam kamu banyak diam dan tidak cerewet seperti biasa. Bahkan saat Papamu sedang melucu sekalipun," jawab Mama Micha sembari merapikan rambut panjang Micha.
Micha tersenyum, "Aku tidak apa-apa, Ma. Aku hanya lelah."
"Hmmm... Begitu," ucap Mama Micha sambil mengangguk-angguk paham.
Micha bergerak untuk berhambur memeluk erat Mamanya.
"Maaf sudah membuat Mama khawatir."
Mama Micha tersenyum lebar sambil mengusap-usap lengan halus Micha.
"Tidak perlu meminta maaf, sayang. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun, kan? Mama yang terlalu berlebihan."
Micha tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya, "Mama tidak berlebihan. Kurasa semua Ibu di dunia ini akan bersikap sama seperti Mama ketika anaknya berbeda dari biasanya. Bukan begitu, Ma?"
Mama Micha tersenyum dan mengangguk, "Iya, benar sekali. Cinta seorang Ibu terlalu besar untuk anak-anaknya. Jadi, sekecil apapun perubahan yang terjadi pada diri anaknya, seorang Ibu pasti akan sedikit khawatir."
"Micha sayang Mama."
"Hmmm... Anak cantik Mama. Mama juga sayang kamu, Nak."
Keduanya kembali saling berpelukan dengan erat dan saling tertawa gemas. Bagi Mama Micha, Micha tetaplah gadis kecil cantiknya meski sekarang Micha sudah beranjak dewasa.
"Terkadang ada satu hal yang sering sekali Mama pikirkan, Cha."
Micha melepas dekapannya lalu menatap wajah teduh dan cantik Mamanya ini.
"Apa itu, Ma?"
Mama Micha tersenyum sedih, "Bagaimana jika kelak kamu menikah dan tidak tinggal di sini lagi? Jauh dari Mama dan Papa. Mama, terlebih Papamu pasti akan sangat merindukanmu."
Micha tersenyum sambil menggenggam erat-erat tangan Mamanya.
"Ma, itu masih terlalu dini untuk di pikirkan."
Mama Micha mengeryit, "Apa yang terlalu dini? Hanya tinggal beberapa tahun lagi kamu lulus kuliah, kan? Dan setelah itu, Tante Ruby akan menentukan tanggal pernikahanmu dan Juna."
Micha terdiam.
Ah... Lagi-lagi perihal ini. Micha benar-benar tidak pernah memikirkannya sedikitpun.
"Cha? Mengapa kamu diam, Nak?" tanya Mama Micha ketika mendapati Micha malah melamun dengan tatapan mata menerawang.
Dan pertanyaan Mamanya ini, berhasil menyadarkan Micha kembali.
"Eum? Ah... Maaf, Ma."
"Kamu baik-baik saja?"
Micha tersenyum dan mengangguk, "Iya, Ma. Micha baik-baik saja. Oh, ya. Bagaimana tadi pertemuan Mama dengan Tante Ruby dan Om Matias?" Micha mengalihkan pembicaraan agar Mamanya tidak terus bertanya perihal kegundahannya ini.
Karena mau bagaimana pun, Mamanya akan peka terhadap perasaan hatinya.
Mama Micha tersenyum ceria, "Seperti biasa, Tante Ruby lebih banyak membahas soal kamu. Tante Ruby selalu iri dengan Mama karena memiliki anak perempuan."
Micha tersenyum, "Memang apa yang salah dengan anak laki-laki, Ma?"
"Yaaa... Anak laki-laki tidak akan bisa di ajak pergi berbelanja, pergi ke salon, berdandan, memasak bersama dan mengobrol seperti yang kita lakukan saat ini, Cha."
Micha makin tersenyum lebar, "Tante Ruby merasa kesepian, begitu?"
"Iya, Cha. Dia selalu mengeluh bahwa Juna dan suaminya tidak ada yang bisa mengerti dirinya. Keduanya terasa kaku dan membosankan untuk Tante Ruby. Hahahaha... Jika mengingatnya kembali, Mama selalu ingin tertawa karena cara Ruby bercerita sangatlah lucu," jawab Mama Micha sambil memasang mimik wajah bahagia.
"Wah... Mama mentertawakan penderitaan Tante Ruby...," goda Micha sambil melirik Mamanya dengan jahil.
"Eh! Bukan begitu, Cha...."
"Lalu, bagaimana?"
Mama Micha menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Eum... Eum... Se--sejujurnya iya."
Tawa Micha meledak saat mendengar jawaban jujur Mamanya ini. Terlebih mimik wajah Mamanya sangat menggemaskan ketika salah tingkah seperti ini.
"Hhahaha...."
"Chaa... Jangan tertawakan Mama!" rengek Mamanya ketika Micha terpingkal.
"Hahahaha... Aduh, perutku sakit! Hahahaha..." Micha makin terpingkal hingga ia berguling-guling di atas ranjang.
"Ishh... Sudah, Chaaa...."
"Haa... Astaga... Aku adukan soal ini pada Tante Ruby ya, Ma?" ucap Micha setelah tawanya reda dan mengusap sisa air mata yang ikut keluar karena ia terpingkal.
Mama Micha mendelik, "Ish... Jangan, Cha! Dasar anak nakal!" pekik Mama sambil mencubit gemas lengan Micha.
Micha kembali memeluk Mamanya erat-erat, "Ughh... Mama... Iya... Iya... Tidak akan aku adukan pada Tante Ruby."
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kembali terdengar dan nampaklah sosok Papa Micha sambil tersenyum tampan. Pria penyayang keluarga ini lantas berjalan menghampiri ratu dan putri dalam hatinya ini.
"Cha, ada yang ingin bertemu denganmu di bawah," ucap Papa sambil menunjuk ke arah pintu.
Micha mengeryit, "Siapa, Pa?"
Papa Micha tersenyum, "Turun ke bawah saja terlebih dahulu. Temui dia. Dia sudah menunggumu di ruang tamu," jawab Papa Micha sembari menepuk-nepuk bahu anak gadisnya ini.
Micha bergantian menatap Papa dan Mamanya lalu bangkit berdiri.
"Mengapa aku derdebar? Papa tidak sedang mempermainkanku, kan?" tanya Micha penuh curiga.
Haha... Sejujurnya tuduhan Micha pada Papanya ini beralasan karena Papanya memang terkenal jahil pada Micha selama ini.
Papa Micha mendelik, berpura-pura marah, "Astaga... Bisa-bisanya kamu menuduh Papa mempermainkanmu. Papa serius. Papa tidak berbohong. Memang ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Tapi, siapa, Paaaaa?" rengek Micha pada Papanya sambil sesekali menoleh ke arah belakang karena Papa dan Mamanya berjalan di belakangnya.
"Heiisshh... Mengapa kamu tidak percaya pada Papamu sendiri, Cha?"
Meski Papanya sudah berucap seperti ini. Tapi Micha tetap saja merasa curiga. Micha bahkan mengalihkan pandangannya ke arah sang Mama dan memasang mimik seperti orang yang butuh pertolongan.
Mama Micha hanya tersenyum melihat mimik wajah Micha. Mamanya ini malah memeluk pinggang Papanya dan bermanja-manja.
Astaga... Dua insan di mabuk asmara ini benar-benar membuat Micha pusing.
Micha sedikit membulatkan matanya ketika ia melihat sosok yang amat ia kenal ini bangkit berdiri dan tersenyum untuk menyambut kedatangannya.
Pria berwajah manis, berbadan kekar, berkulit putih pucat, memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh delapan sentimeter dan jika ia tersenyum matanya pasti akan ikut tersenyum dan membentuk bulan sabit. Pria yang sangat sopan, beretika baik dan juga sabar.
"Hai," sapanya sambil tersenyum manis.
Sudut-sudut bibir Micha terangkat, "Hai."
Melihat kecanggungan Micha dan tamunya ini, Papa dan Mama Micha menjadi sedikit gemas.
"Astaga... Ada apa dengan kalian? Mengapa masih saja canggung?" tanya Papa Micha sambil menatap Micha dan tamunya secara bergantian.
Micha tersenyum tipis, begitupun dengan tamunya ini.
"Lebih baik kalian berdua mengobrol saja di taman depan. Di temani dengan angin sepoi-sepoi dan beribu bintang di angkasa, pasti akan menambah kesan romantis--" ujar Mama Micha sambil mendorong tubuh Micha untuk lebih mendekat pada tamunya ini.
"--ucapan Tante betul kan, Jun?" sambung Mama Micha sambil menatap wajah tamu Micha ini, Juna.
Juna tersenyum lalu mengangguk. Apapun yang Juna lakukan, ia tidak pernah kehilangan kewibawaannya di depan siapapun.
Kesan dewasa dan ketegasannya memang sudah sangat terpancar meski ia hanya duduk diam dan tak mengucapkan satu kata pun.
Micha menatap Juna, "Ayo kita... Ke taman depan, Jun!" ajak Micha dengan sikap canggungnya.
Juna mengangguk, "Ya, baiklah," ujar Juna sambil mempersilahkan Micha untuk berjalan terlebih dahulu.
Micha lantas berjalan ke arah pintu rumahnya dengan Juna mengekor di belakangnya.
Sepeninggal Micha dan Juna, Papa dan Mama Micha terpekik gemas bersamaan.
"Pa, mereka menggemaskan sekali, ya?" ujar Mama Micha dengan wajah sumringah.
Papa Micha mengangguk, "Iya. Meski mereka masih canggung satu sama lain."
"Mama rasa mereka canggung karena malu, Pa. Sama seperti kita di masa lalu, saat pertama kali kita bertemu. Tingkah kita tidak jauh berbeda dengan Micha dan Juna ini, kan?"
Papa Micha tersenyum lebar, "Ya, itu benar, Ma. Haa... Papa hanya berharap semoga Tuhan mengijinkan mereka berjodoh, Ma. Papa tidak akan tenang jika pria yang menjaga Micha kelak, bukanlah Juna."
Mama Micha tersenyum sambil mengusap lengan suaminya ini.
"Jodoh, maut dan rejeki ada di tangan Tuhan. Kita sebagai orang tua pasti akan selalu berdoa yang terbaik untuk anak kita, Pa."
Papa Micha meraih bahu istrinya ini dan membawanya ke dalam dekapan dada bidangnya.
"Iya, Ma. Kita percayakan saja semua pada Tuhan."
Bersambung.