Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Tiga Serangkai

Bab 4 Tiga Serangkai

Micha sungguh ingin menangis ketika ia menatap jalanan di depannya. Padahal ia sudah bangun pagi sekali dan berusaha untuk berangkat lebih awal. Lalu mengapa ia masih saja terjebak macet?

Ah.. Kapan kota yang Micha tinggali sedari lahir ini bebas dari kemacetan?

Ya, baiklah. Penyebab kemacetan sebenarnya adalah orang-orang seperti Micha ini, kan? Yang memilih membawa kendaraan pribadinya ketimbang menaiki transportasi umum.

Tapi, andai saja transportasi umum negara yang Micha diami ini seaman dan senyaman transportasi negara maju yang lain. Micha pasti memilih menaiki transportasi umum saja. Tidak perlu repot menginjak gas dan menarik presnelling, kan?

Micha semakin frustasi ketika Anna dan Arumi bergantian menghubunginya. Mereka berdua terus saja menggangu Micha karena Micha sengaja mengabaikan panggilan keduanya.

Ya. Micha tidak suka menerima panggilan telepon saat ia berkendara. Konsentrasinya akan pecah dan ia tak bisa fokus dengan kondisi jalanan di depannya. Meski dengan menggunakan alat bantu earphone sekalipun.

"Ah.. Akhirnya!" pekik Micha ketika ia melihat kendaraan yang berada tepat di depannya mulai berjalan lambat.

Baru saja Micha kembali memfokuskan diri dengan jalanan di depannya ini. Ponselnya berdering kembali. Micha lagi-lagi hanya meliriknya saja karena nama Anna terpampang di layar ponselnya.

Micha menghela napas, "Aku sedang berkendara, kawan!" pekik Micha yang kali ini, menjadi sedikit emosi.

Namun, sepertinya baik Anna ataupun Arumi sama-sama tidak peduli. Mereka berdua malah makin gencar menghubungi Micha tanpa henti.

Akhirnya, mau tidak mau Micha pun lantas menepikan mobilnya dan bermaksud untuk menerima panggilan kedua sahabat tidak tahu dirinya ini.

"Halo!" pekik Micha sesaat setelah ia menekan tombol jawab.

"Woah! Santai saja, kawan. Hahaha.."

Micha memutar bola matanya dengan kesal ketika Anna malah tertawa tanpa merasa berdosa sedikitpun.

Huh, dasar!

"Ada apa? Aku sedang berkendara, jangan menggangguku! Kamu ingin aku celaka?!"

"Heum? Astaga.. Mengapa kamu menuduhku seperti itu, Cha? Tsk! Yang sudah kamu lakukan padaku ini, jahaaat, Cha!"

Micha menghela napas dan memutar bola matanya sekali lagi ketika Anna malah bermain opera sabun dengannya.

"Na, aku serius! Katakan, ada perlu apa? Mengapa kamu terus saja menerorku sedari tadi?"

"Hehehe.. Maafkan aku, Cha. Tapi, apakah kamu bisa mampir ke minimarket terlebih dahulu?"

Micha mengeryit, "Heum? Untuk apa? Tsk! Aku bisa terlambat ke gedung expo jika harus mampir ke minimarket terlebih dahulu, Na."

"Tenang saja, Cha. Gedung expo masih belum di buka. Rencana kita datang pukul delapan pagi itu sepertinya terlalu pagi."

Micha menghembuskan napasnya ketika ia mendengar ucapan Anna ini. Padahal sedari tadi Micha di rundung rasa gelisah karena takut terlambat ke acara seminar.

"Baiklah. Apa yang harus kubeli di minimarket, untukmu?"

"Eum.. Belikan aku pembalut, Cha."

Micha mendelik, "Heum?! Pembalut?!"

"Cha.. Maafkan aku. Aku lupa jika hari ini adalah waktunya."

Micha menghela napas, "Haa.. Bagaimana bisa yang seperti itu kamu melupakannya, Na?"

"Aku benar-benar lupa, Cha."

"Ya sudah, akan aku belikan. Pembalut jenis apa yang biasa kamu pakai?"

"Samakan saja dengan yang biasa kamu pakai, Cha."

"Baiklah."

"Terima kasih ya, Cha. Maaf sudah merepotkanmu."

Micha menghela napas dan tersenyum. Ia sempat emosi memang. Tapi saat mendengar nada penuh rasa bersalah yang keluar dari mulut sahabatnya ini, emosi Micha pun mereda.

Meski Anna kadang sedikit menjengkelkan. Tapi, Micha amat sangat menyayangi sahabatnya itu.

"Sudahlah, jangan berterima kasih. Kamu seperti dengan siapa saja."

"Ya, tapi aku tetap merasa tak enak."

"Tsk! Sudahlah jangan coba-coba bermain opera sabun lagi denganku. Itu sungguh menggelikan, tahu!"

"Hahaha.. Heiss.. Dasar ketus!"

"Kamu mengataiku apa?! Baiklah, jangan harap ada pembalut untukmu!"

"Cha! Cha! Astaga.. Aku hanya bercanda, sayang. Jika kamu tidak membelikannya, lalu aku harus memakai apa? Kamu tega padaku?"

Micha tersenyum lebar diam-diam.

"Pakai saja karung goni!"

"Ha?! Apa kamu bilang?! Wah.. Benar-benar kurang ajar kamu, Cha!"

"Hahahaha.. Aduh perutku sakit!"

"Tertawalah terus sampai polisi menegurmu karena menepikan mobil terlalu lama!"

Micha langsung menghentikan tawanya ketika ia menyadari posisinya saat ini.

"Wah, iya! Ah.. Ini semua karenamu, Na! Sudahlah, tutup teleponnya!" pekik Micha panik.

Gadis ini meletakkan begitu saja ponselnya di kursi penumpang lalu mulai menarik presnelling, menginjak pedal gas dan memutar setir mobilnya.

"Huuuu.. Lagi-lagi aku yang kamu salahkan. Ya sudah, hati-hati di jalan, Cha."

"Iya."

Micha hanya menjawab singkat saja karena ia telah berkonsentrasi mengendarai kuda besinya ini. Sedangkan Anna telah menutup panggilannya.

Anna dan Arumi nampak tersenyum cerah bersama saat melihat Micha berlari ke arah keduanya dengan rambut panjangnya yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Terlebih hari ini Micha terlihat segar dan cantik dari biasanya.

"Michaaaaaa!" teriak Anna dan Arumi.

Micha hanya tersenyum seraya menaruh telunjuk di bibirnya, bermaksud untuk menghentikan teriakan heboh kedua sahabatnya itu.

"Hei.. Sssstt! Berhenti berteriak. Lihatlah! Banyak orang melihat ke arah sini. Kalian tidak malu?!" pekik Micha sambil menekan nada suaranya dalam-dalam untuk memperingatkan kedua sahabatnya ini.

Anna dan Arumi kompak melihat ke arah beberapa orang yang kini sedang memperhatikan mereka bertiga.

"Tidak masalah. Anggap saja bahwa sekarang kita bertiga ini adalah aktris terkenal," ucap Anna sambil mengibas rambut panjangnya dengan percaya diri.

"Iya, itu benar.." imbuh Arumi yang kini juga melakukan hal yang sama dengan Anna.

"--lagipula, Cha. Mereka yang sedang menatap ke arah kita itu, siswa dan siswi SMA. Anak ingusan. Jadi, santai saja," sambung Arumi.

"Hei, sebentar, Mi! Soal sebutan anak ingusan itu, aku tidak setuju denganmu," pekik Anna.

Arumi mendelik, "Lho? Aku benar, kan?"

Anna memutar bola matanya, "Iya, benar. Tapi mereka semua sudah berumur tujuh belas tahun lebih. Maka, mereka sudah bisa disebut dewasa. Sama seperti kita."

Arumi melipat tangan di dada.

"Bagiku, tidak. Mereka tetap anak ingusan dan kekanakan."

Anna mendelik, "Waahh! Kamu belum pernah terkena panah asmara berondong SMA ternyata, ya?"

"Itu tidak akan pernah terjadi. Aku bukan kamu yang selalu tertarik dengan para berondong yang tidak ada pesonanya sama sekali itu!"

Anna berdecak pinggang, "Kamu menyindirku?!"

"Aku tidak menyindir, itu kenyataan!"

Micha menghela napas ketika melihat Anna dan Arumi malah beradu argumen seperti ini. Terlebih apa yang mereka perdebatkan ini bukanlah sesuatu yang penting.

Astaga.. Apa yang sudah Micha perbuat di masa lalu hingga di kehidupan sekarang, ia di pertemukan dengan kedua sahabat tidak warasnya ini?

"Hei.. Sssstt! Mengapa kalian malah berdebat?" tegur Micha pada kedua sahabatnya yang masih saja gaduh ini.

"Diam kamu, Cha!"

Micha berkedip sambil membuka mulutnya ketika Anna dan Arumi kompak meneriakinya.

Micha menghela napas, "Ya sudah terserah! Aku mau kembali ke dalam mobil saja. Aku malas mendengar ocehan tak penting kalian itu!"

Micha sudah akan berbalik badan dan meninggalkan kedua sahabatnya ini. Tapi ternyata Anna dan Arumi kompak meraih pergelangan tangan Micha dan mencegah gadis ini pergi.

"Eh, Cha! Cha! Jangan pergi!"

Micha melirik keduanya, "Mengapa kalian mencegahku?! Biarkan aku pergi."

Anna dan Arumi tersenyum bersamaan.

"Kami tadi hanya bercanda, Cha. Tidak serius," ucap Anna.

Micha mengeryit, "Kalian sedang bermain opera sabun?"

Arumi dan Anna kompak mengangguk dan tersenyum lebar.

Micha menghembuskan napas lalu memijit pelipisnya.

"Ah.. Tiba-tiba kepalaku pusing. Minggirlah! Aku butuh tempat duduk."

Micha mengambil duduk di depan serambi gedung expo, di ikuti Anna dan juga Arumi yang mengambil duduk di kiri dan kanan Micha.

"Cha.. Maaf. Kami merasa bosan. Jadi kami mencoba untuk mencari kegiatan," ujar Arumi sambil mengusap bahu Micha yang masih menunduk.

"Iya, kegiatan yang tidak bermanfaat memang," imbuh Anna.

Micha meraih botol air mineral yang sedari tadi di genggam oleh Anna dan meneguknya hingga tandas.

"Kalian berdua benar-benar sudah gila!"

Anna dan Arumi makin terpingkal.

"Tertawalah sepuas kalian!" pekik Micha.

"Eh, lihat siswa SMA yang menyandang tas berwarna merah di bahunya itu!" seru Anna sambil menunjuk seorang siswa SMA yang sedang berdiri dan berbincang bersama keempat temannya.

Arumi dan Micha sontak mengikuti arah telunjuk tangan Anna.

"Memang ada apa dengannya, Na?" tanya Arumi.

Anna tersenyum, "Berondong jaman sekarang, mengapa terlihat tinggi dan tampan, ya? Sungguh menggoda iman perempuan dewasa sepertiku ini."

Arumi mencebikkan bibir, "Ah.. Kamu memang gampang tergoda! Aku bahkan tidak melihat sisi menarik dari anak-anak ini. Mereka tetap masih kekanakan."

Anna langsung memukul punggung tangan Arumi, "Huuu.. Dasar gadis kaku!"

Arumi sebenarnya berniat membalas pukulan Anna ini. Namun, Micha segera melerai keduanya.

"Heiiii.. Sudah! Na, kamu tadi menyuruhku membeli pembalut untuk apa?"

Anna mendelik, "Nah, iya! Di mana itu sekarang, Cha? Kamu tidak lupa membelinya, kan?"

"Ini," Micha langsung menyerahkan kantong plastik berisi pembalut itu kepada Anna.

"Astaga.. Terima kasih, Cha. Kalau begitu aku ke kamar mandi terlebih dahulu, ya?" ucap Anna seraya bangkit berdiri setelah menerima kantong plastik pemberian Micha.

"Tidak perlu kami antar?" tawar Arumi.

Anna tersenyum, "Tidak perlu. Jangan khawatir, aku tidak akan hilang."

"Bukan begitu, kami hanya takut kamu di culik berondong," goda Micha.

Anna tersipu malu, "Hehehe.. Mereka tidak perlu menculikku. Aku akan menyerahkan diri dengan sukarela."

"Hahahaha.."

Micha dan Arumi langsung terbahak mendengar jawaban Anna ini. Anna pun juga ikut terbahak seraya berlari menjauh dari Micha dan Arumi untuk mencari kamar mandi.

Anna benar-benar gadis gila.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel