Bab 3 Ada Apa Dengan Hati Micha?
Bab 3 Ada Apa Dengan Hati Micha?
Setelah makan malam, Micha langsung naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Tugas kuliahnya yang menumpuk itu, seolah-olah terus melambai dan mengharapkan gapaian tangannya. Selain itu juga, Micha harus menyiapkan barang apa saja yang akan ia bawa ke gedung expo esok hari. Micha adalah tipe orang yang selalu menyiapkan segala sesuatu dengan sangat terperinci dan penuh perencanaan.
"Buku catatan, bolpoin, pensil, stabilo, heumm..." gumam Micha sambil mengetuk bibirnya, bermaksud mengingat-ingat sesuatu.
"--ha! Tisu, lipbalm, sisir dan parfum. Hehehe.. Jika perempuan disebut sebagai makhluk paling merepotkan di dunia ini, itu memang benar adanya. Selain kecerdasan, keindahan seorang wanita itu juga terletak pada penampilannya, kan?" sambung Micha seraya tersenyum lebar seorang diri.
"Baiklah, semua persiapan sudah selesai. Sekarang aku harus mengerjakan tugas Profesor Magda terlebih dahulu, lalu setelah itu pergi tidur agar esok hari tubuh dan pikiranku kembali segar."
Micha lantas berjalan ke arah meja belajarnya, mengambil duduk dan mulai berkonsentrasi dengan tugas-tugasnya. Namun, baru beberapa menit Micha memfokuskan diri pada tugasnya. Ponsel Micha tiba-tiba saja berdering. Micha melirik layar ponselnya dan berekspresi datar ketika membaca nama kontak yang kini sedang terpampang di layar ponselnya.
Micha lantas bergerak untuk meraih ponselnya seraya menghela napas, "Ah.. Ada perlu apa dia meneleponku?"
Sejujurnya Micha sangat malas untuk menjawab panggilan ini. Tapi, Micha memilih untuk tetap menjawabnya. Karena ia tak ingin membuat masalah apapun untuk kedua orang tuanya.
"Halo," sapa Micha ketika ia telah menggeser tombol jawab pada layar ponselnya lalu menempelkan ponselnya pada cuping telinga.
"Hai, apa kabar, Cha?" tanya seseorang di seberang.
Micha menunduk dan menggigit bibirnya, "Oh, hai. Kabar baik. Kamu?"
"Kabar baik juga. Apa kamu sedang sibuk?"
Micha tersenyum tipis, "Eum... Tidak. Aku hanya sedang mengerjakan beberapa tugas kuliah."
"Ah.. Begitu. Aku mengganggu, ya?"
"Tidak. Kamu ada perlu apa? Mengapa meneleponku?"
"Tidak ada perlu apa-apa. Aku hanya sedang merindukanmu, Cha."
Micha terdiam. Meski rasa berdebar langsung mendera jantungnya. Namun, entah mengapa rasanya masih saja hampa.
Rasa canggung yang ia rasakan selalu mendominasi dan membuatnya sedikit tidak nyaman.
"Cha?"
Seseorang di seberang kembali membuka suara ketika Micha hanya diam seribu bahasa.
"Ya?"
Ah, astaga! Mengapa Micha seperti ini? Apa kebungkamannya membuat seorang pria yang kini meneleponnya ini, tersinggung?
"Mengapa kamu diam? Aku mengganggu, ya? Jika iya, akan aku tutup teleponnya."
"Tidak. Bukan seperti itu, Jun. Ah.. Maafkan aku. Aku hanya banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Micha sambil menghela napas dan menggaruk alisnya yang tak gatal.
Micha tiba-tiba merasa tak enak dengan pria bernama Juna ini, tunangannya.
"Kamu baik-baik saja, kan? Kamu tidak enak badan? Kamu sudah minum obat? Sudah pergi ke Dokter?"
Micha tersenyum tipis, "Aku baik-baik saja, Jun. Aku sehat."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Lalu apa yang menjadi beban pikiranmu akhir-akhir ini? Eum.. maaf. Bukan maksudku untuk mencampuri urusan pribadimu. Tapi, jika kamu butuh teman untuk berbagi keluh kesah dan masalahmu. Kamu bisa mencariku. Aku pasti akan berusaha membantumu dan ikut mencari solusinya."
Micha diam-diam tersenyum bahkan pipinya memerah mendengar betapa lembut nada suara Juna. Juna benar-benar bijak dan dewasa. Seharusnya Micha merasa sangat bahagia dan beruntung, kan? Namun, lagi-lagi ia merasa seperti ada yang kurang dalam hubungannya dan Juna ini.
Ah, tidak. Bukan salah Juna. Ini murni karena hatinya. Perasaan hati yang tak mampu Micha pahami.
"Tidak, Jun. Aku masih bisa menanganinya sendiri."
"Ah.. Begitu. Tapi aku ing.."
"-- aku pasti akan mencarimu jika aku mendapatkan masalah yang tak bisa ku selesaikan sendiri. Aku akan memintamu untuk membantuku, Jun," Micha cepat-cepat memotong ucapan Juna ketika ia menyadari kekecewaan dalam nada bicara Juna.
"Ya. Aku pasti akan siap membantumu, Cha."
Micha tersenyum ketika ia mendengar nada penuh antusias dan kebahagiaan dalam ucapan Juna ini.
"Kamu sedang apa sekarang, Jun? Sudah makan malam?"
Micha mendengar Juna tersenyum lirih, "Ya aku sudah makan malam, Cha. Baru saja selesai dan aku langsung menghubungimu."
"Ha.. Begitu. Baiklah."
"Cha."
"Ya?"
"Kamu benar-benar tidak bisa datang besok?"
Micha menghela napas, "Iya, Jun. Maaf. Aku ada seminar."
"Mau kuantar?"
Micha tersenyum, "Tidak perlu, Jun. Aku pergi bersama Anna dan Arumi."
"Hmm... Begitu. Apa kamu mau aku menjemputmu?"
Micha makin tersenyum lebar, "Tidak perlu, Juna. Aku bukan gadis kecil. Aku bisa pulang sendiri. Kamu bukan sopir pribadiku kan?"
Juna tertawa lirih di ujung sana, "Aku tidak pernah merasa menjadi sopirmu walau kamu memintaku untuk menjemputmu setiap hari, Cha."
Micha tersenyum. Sekali lagi, ucapan Juna berhasil membuat pipinya bersemu merah. Juna selalu pintar berkata manis meski itu terasa amat canggung karena Juna selama ini selalu nampak kaku dan serius.
"Kamu sedang menggombaliku, ya?"
Juna tertawa di ujung teleponnya, "Hahaha.. Apakah aku nampak seperti sedang menggombal? Tidak, Cha. Aku serius mengatakan itu. Bukankah jika kita sudah menikah nanti, aku harus mengantar dan juga menjemputmu?"
Micha terdiam ketika Juna membahas soal pernikahan. Micha hanya menyetujui soal pertunangan ini saja. Tapi soal pernikahan, ia tidak pernah memikirkannya sama sekali.
Ya. Agak aneh memang. Tapi, hati sekali lagi tak pernah bisa berbohong, kan? Mulut boleh berkata iya dan setuju. Tapi hati belum tentu.
Pernikahan bukan hanya soal ikatan dua orang yang saling mencintai. Tapi, pernikahan juga soal keyakinan dalam hati.
Masih banyak keraguan dan ketakutan dalam diri Micha untuk melangkah ke tahap itu bersama Juna. Lagipula umur Micha masih sangat muda. Ia masih mempunyai banyak mimpi yang ingin ia capai.
Bukan berarti pernikahan akan menghalanginya untuk meraih mimpi. Tidak ada yang salah dengan pernikahan karena pernikahan adalah ibadah.
Namun, Micha perlu lebih dalam mengenal Juna. Apakah Juna adalah pria yang bisa mendukung semua mimpi-mimpinya kelak? Atau malah Juna adalah pria yang sangat egois dan suka memonopoli pasangannya?
"Cha? Mengapa kamu diam? Aku salah bicara, ya?"
Micha tersadar dari lamunan panjangnya ketika suara Juna kembali terdengar.
"Heum? Ah.. Maafkan aku, Jun. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu."
Senyum Juna kembali terdengar sayup-sayup, "Kamu sepertinya sudah lelah. Kamu perlu istirahat. Baiklah, aku tutup teleponnya, ya?"
Micha menghela napas sambil memijit pelipisnya.
"Tidak ada yang perlu kamu sampaikan lagi padaku, Jun?"
"Tidak ada. Begini saja sudah cukup mengobati rasa rinduku padamu. Tidurlah, Cha!"
"Iya, baiklah. Maafkan aku, Jun. Aku banyak diam."
"Iya tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Tapi aku.."
"Chaa.. Aku tidak apa-apa. Jangan berpikir macam-macam. Aku paham kamu pasti lelah. Aku yang salah karena terlalu larut malam meneleponmu."
Micha menghela napas seraya terpejam erat. Micha makin merasa bersalah setelah mendengar semua ucapan Juna ini.
"Selamat malam, Cha," sambung Juna karena Micha kembali terdiam.
"Ya, selamat malam, Jun."
Micha menjauhkan ponsel dari cuping telinganya dengan perlahan. Dia berkedip dan memikirkan sikapnya pada Juna. Micha merasa telah berbuat kejam.
"Maafkan aku, Jun," gumam Micha lirih.
Dia lantas kembali mengerjakan tugas kuliahnya setelah meletakkan ponsel ke atas meja belajar tepat di sampingnya. Meski dengan pikiran dan perasaan hati yang tak karuan, Micha tetap berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya ini.
Entahlah. Ia tak peduli dengan hasilnya nanti.
Ah.. Baru kali ini Micha mengerjakan sesuatu dengan seenaknya saja. Padahal Micha termasuk tipe gadis yang sangat perfeksionis.
Jika kalian beranggapan bahwa Micha adalah gadis munafik dan kurang bersyukur atas keberuntungan yang ia dapatkan ini, maka itu benar adanya.
Micha seolah mengikuti kebimbangannya ini dan membuatnya menjadi seorang yang amat menyebalkan.
"Astaga.. Aku tidak bisa jika harus memaksakan diri! Aku memang butuh istirahat. Ya, aku memang butuh tidur! Ya Tuhan.. Apa yang terjadi pada diriku? Mengapa laki-laki membuatku menjadi gadis gila seperti ini?" gumam Micha yang kini telah merangkak di atas ranjangnya untuk bersiap tidur, setelah menyerah dan membiarkan tugas kuliahnya tergeletak begitu saja di atas meja belajar.
Micha memeluk boneka sapinya, menarik selimut lalu mulai memejamkan matanya erat-erat.
Ia berharap dapat segera pergi ke alam mimpi dan melupakan kejadian yang baru saja berhasil mengusik hatinya ini.
Bersambung.