Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Momen Manis Micha dan Papanya

Bab 12 Momen Manis Micha dan Papanya

Sore ini Micha sedang duduk sendiri dan berayun di atas ayunan taman rumahnya yang lumayan luas ini.

Micha sedang memikirkan keaneahan dirinya tiap kali bertemu dengan pemuda yang menjadi siswa di SMA Doremifa itu. Micha tidak pernah seperti ini sebelumnya kepada laki-laki. Termasuk kepada Juna, tunangannya.

Micha bahkan tak pernah bisa melupakan tatapan mata pemuda itu dari pikiran dan bahkan hatinya.

Sebenarnya Micha ingin tahu siapa nama pemuda yang umurnya jauh di bawahnya itu. Tapi, saat pria berondong itu mengulurkan tangan kepadanya. Micha sudah merasa lemah kaki, lemah tubuh bahkan juga lemah hati.

Entahlah, pesona pemuda itu terlalu kuat untuk Micha yang lemah ini.

Menatap mata pemuda itu saja, kaki Micha sudah terasa seperti jelly. Lantas bagaimana jika ia berhasil berjabat tangan dan merasakan telapak hangat pemuda itu? Pasti seluruh tubuhnya akan terasa tersetrum aliran listrik berjuta-juta watt.

Meski sedikit terlonjak kaget. Tapi, pada akhirnya Micha malah tersenyum lebar ketika ia merasakan telapak tangan besar seseorang menutupi kedua matanya, menggodanya.

"Papa...."

"Papa siapa? Ini aku kekasihmu," jawab seseorang ini dengan suara yang di ubah dan di buat-buat.

Micha makin tersenyum lebar, "Aku tidak memiliki kekasih."

"Heum? Baiklah. Kamu memang tidak memiliki kekasih. Tapi, tunangan, kan?"

Senyuman lebar di bibir Micha berubah menjadi senyuman tipis, "Ya, begitulah."

Seseorang yang baru saja menutup mata Micha ini lantas bergerak dan menjulurkan tubuhnya dari samping tubuh gadis ini.

"Cilukba!"

Micha tertawa ketika ia melihat wajah tampan Papanya menyembul dari arah samping kanannya.

"Sudah ku duga. Pasti Papa yang melakukan ini. Papa kan jahil sekali."

Papa Micha tersenyum, "Mengapa kamu duduk sendiri di sini? Kamu terlihat melamun sedari tadi. Apa yang kamu pikirkan, Cha?"

Micha menggeleng. Meski sejujurnya memang ia sedang memikirkan sesuatu. Tapi, Micha tidak mungkin terang-terangan mengaku, kan?

"Aku tidak memikirkan apapun, Pa. Aku hanya ingin sendiri dan melamun sejenak."

Papa Micha tersenyum, "Ayo ikut dengan Papa!" ajak Papa Micha sambil meraih dan menggenggam tangan anak gadisnya itu.

Micha mengeryit, "Papa akan mengajakku ke mana?"

"Temani Papa bermain biliar, Cha."

Micha yang kini sudah berjalan terseok mengikuti tarikan tangan Papanya ini kembali mengeryit tak mengerti.

"Ha?! Apa?! Papa mau memintaku menemani Papa bermain biliar?! Di mana?"

Papa Micha menoleh ke arah belakang dan tersenyum, "Sudahlah. Ikut saja. Jangan banyak bertanya, sayangku."

Micha menghela napas. Papanya ini selalu unik. Tidak ada pilihan lain selain menuruti ajakan Papanya. Lagipula ini pertama kalinya Papanya ingin Micha menemaninya. Mungkin Papanya ini sedang jenuh atau penat.

Bukankah lebih baik jika Papanya ini meminta anaknya untuk menemaninya daripada Papanya di temani oleh wanita lain?

***

Micha mengedarkan matanya ke segala penjuru tempat ini. Ia merasa agak aneh karena ini pertama kali baginya memasuki tempat semacam ini. Tempat ini sangat berisik, asap rokok di mana-mana, wanita dengan pakaian minim berjalan mondar-mandir sambil memasang senyum menggoda. Dan lagi, di sudut sana terdapat seorang bartender yang sedang sibuk meracik minuman dengan latar belakang berbagai botol minuman beralkohol berkualitas tinggi berjejer rapi di bar display.

"Pa," panggil Micha pada Papanya yang sedang membungkuk di atas meja biliar.

Jarak antara Micha dan Papanya memang tidak terlalu jauh.

"Ya? Ada apa, sayang?" tanya Papa Micha tanpa memandang Micha. Papa Micha itu terlihat sangat serius dengan bola berwarna-warni yang ada di hadapannya ini.

Papanya itu sibuk berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain.

"Apa Papa sering datang ke tempat ini?" tanya Micha dengan nada suara sedikit meninggi.

Micha harus melakukan ini agar Papanya itu mendengar ucapannya.

"Iya, sering. Papa akan datang ke sini ketika membicarakan bisnis dengan para kolega Papa."

Micha mengeryit, "Heum? Mengapa harus di tempat ini? Papa bisa membicarakan bisnis di tempat lain, kan?"

Papa Micha menatap Micha lalu tersenyum, "Kolega Papa itu orang luar negeri, Cha. Kamu tahu kehidupan mereka seperti apa, kan?"

Micha menyipitkan matanya sambil menatap Papanya curiga.

"Papa juga ikut melakukan itu?!"

Papa Micha tersenyum santai, "Tentu saja tidak, sayang."

Micha mencebikkan bibirnya, "Issh... Aku tidak perca--"

"Hai, Om," sapaan seorang wanita cantik dan seksi berhasil memutus ucapan Micha.

Papa Micha menegakkan tubuh dan balas tersenyum ramah pada wanita seksi ini.

"Hai, Diana."

"Apa hari ini Om hanya ke sini sendirian?"

Papa Micha tersenyum seraya menggeleng, "Tidak. Aku ke sini bersama dengan gadisku," jawab Papa Micha sambil menunjuk Micha yang kini nampak memasang ekspresi tak terbacanya.

Wanita seksi bernama Diana itu nampak menatap Micha, "Hmmm...."

Papa Micha tertawa dan seolah mengerti arah pemikiran Diana.

"Hahahaha... Dia anak gadisku, Di."

Diana mendelik, "Ha?! Om serius?!"

Papa Micha tersenyum, "Ya. Kapan aku tidak serius?"

Diana lantas berjalan cepat menghampiri Micha dan menatap lekat-lekat wajah Micha.

"Wah... Iya. Memang mirip sekali dengan Om. Aku tidak menyangka anak Om sudah sebesar ini," ucap Diana sambil mengusap pipi halus Micha.

Papa Micha tertawa, "Hahaha... Memang kamu pikir anakku umur berapa?"

"Ya... Ku pikir anak Om masih sekolah dasar. Om tidak terlihat tua sama sekali sih."

Papa Micha tersenyum tampan, "Sudah, pergilah. Jangan ganggu anakku!" usir Papa Micha pada Diana.

Diana mencebik berpura-pura marah, "Ishh... Om selalu saja galak. Baiklah, aku akan pergi."

Diana pun lantas pergi dari hadapan Micha dan Papanya setelah melempar senyum ramahnya sekali lagi pada Micha.

"Pa, itu tadi siapa?"

Micha langsung menodong Papanya dengan pertanyaan penuh nada curiga.

Papa Micha tersenyum, "Dia pegawai di sini."

"Papa tidak pernah bermain gila dengan wanita seperti itu, kan?"

"Tidak. Kamu tidak percaya pada Papa?"

Micha bersidekap, "Ya antara percaya dan tidak percaya."

Papa Micha menatap Micha, "Papa tidak akan mengecewakan kamu dan Mama yang selalu setia mendoakan setiap langkah Papa. Ke manapun Papa pergi, pada akhirnya kamu dan Mama adalah tujuan terakhir Papa, Cha."

Micha tersenyum, "Apa Mama pernah Papa ajak ke tempat seperti ini?"

Papa Micha mengangguk, "Pernah. Tapi, Mamamu tidak betah. Musik keras membuat kepala Mamamu pusing."

Micha tersenyum lebar. Sungguh bahagia melihat cinta suci dan tulus kedua orang tuanya ini. Diam-diam Micha berdoa dalam hati agar kisah cintanya kelak sama seperti kedua orang tuanya.

"Pa,"

"Heum?"

"Apakah salah satu ciri seseorang jatuh cinta itu adalah debaran jantung yang kencang dan selalu memikirkan orang itu di setiap kesempatan?"

Papa Micha menatap Micha dan tersenyum, "Menurut kamu, bagaimana?"

Micha berkedip, "Menurut buku romansa yang kubaca, memang seperti itu. Tapi, terkadang teori itu berbeda dengan kenyataan kan, Pa?"

Papa Micha yang masih sibuk dengan permainan biliarnya itu menjawab, "Buku di tulis berdasarkan pengalaman penulisnya, kan? Atau bisa saja pengalaman dari orang yang ada di sekitar si penulis."

Micha mengangguk-angguk, "Iya, itu benar, Pa. Apa Papa dahulu juga seperti itu pada Mama?"

"Ya. Maka dari itu, Papa yakin bahwa Mamamu adalah cinta sejati Papa. Dan terbukti sampai sekarang Mamamu tidak pernah mengecewakan Papa, kan? Kamu dan Mamamu adalah belahan jiwa Papa, Cha."

Micha terdiam sejenak. Apakah pemuda itu adalah cinta sejatinya? Ah... Mana mungkin seperti itu?

Micha menghela napas, "Jika suatu saat nanti Micha mengecewakan Papa. Apa cinta Papa untuk Micha akan musnah?"

Papa Micha meletakkan stik biliarnya lalu berjalan menghampiri Micha.

"Sekarang Papa akan bertanya padamu. Apa kamu tega mengecewakan Papa?" tanya Papa Micha sambil menggenggam erat tangan anak gadisnya ini.

"Micha manusia biasa. Micha bisa saja nanti berbuat kesalahan pada Papa, kan?"

Papa Micha tersenyum lalu mengusap pipi halus Micha.

"Jika itu terjadi suatu saat nanti, mungkin Papa kecewa. Mungkin kamu memang bersalah. Tapi cinta Papa padamu tidak pernah salah dan tidak akan pernah musnah."

"Cinta tidak pernah salah, Pa?"

"Heum. Cinta itu anugerah Tuhan. Cinta tidak boleh di jadikan kambing hitam atas kesalahan yang sudah manusia perbuat."

Micha tersenyum mendengar ucapan Papanya ini. Papanya memang layak mendapat penghargaan tertinggi dari Micha.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel