Kesayangan
“Sialan lu. Gue kaget tau!” balas Taka sambil melempar pulpen dari saku nya. Untung saja lemparan Taka meleset. Jika tidak, sudah dipastikan jidat Dimas sebagai tempat mendarat yang sempurna.
“Lagian gue panggil dari tadi lu diem aje.”
Taka hanya tertawa melihat sahabatnya yang semakin lama semakin berisi itu.
“Sejak nikah gendutan, Lu?”
“Susunya cocok dong!!” jawab Dimas memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi.
Jawaban Dimas menggelitik batin Taka, jika saja dia tidak tahu kondisi rumah tangga Dimas, dipastikan dia akan ikut tertawa. Nyatanya Taka malah bersikap datar setelah tadi sempat tertawa. Dia melihat Dimas sebagai sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab sekarang. Meskipun dia sendiri juga bukan lelaki baik karena mengajak istri sahabatnya sendiri berselingkuh.
“Ngapain lu kesini?” tanya Taka setelahnya.
“Lu ikutan tender kain batik yang diminta Pak Menteri?” tanya Dimas mulai serius. Dimas tahu sepak terjang Taka di usaha Textil yang di gelutinya bisa sukses seperti sekarang karena campur tangan Pak Menteri yang masih kerabat dekat keluarga Taka.
“Kenapa emangnya?” tanya Taka yang belum bisa menebak arah pembicaraan Dimas. Dimas adalah pengusaha benang yang terkemuka. Di kalangan pengusaha textil, produk Dimas menjadi incaran para produsen karena kualitasnya yang mumpuni.
“Ya gue mo cari tahu lah … biar gue siapin produksinya juga!” jawab Dimas santai sambil mengeluarkan rokok putihnya.
“Oh! Iya gue yang dapat. Tapi gue belum tentu pake benang lu, Dim!”
“Kenapa? Gue bisa ko bikin sesuai spek yang elu minta, Tak.”
“Ya lihat nanti aja lah. Masih digodok juga sama team gue,” timpal Taka sambil mengeluarkan rokok putihnya juga.
Mereka dan kepulan asap seakan menjadi satu. Mengambil satu waktu untuk merileksasi pikiran meski sebentar.
"Benang produksi gue, apa ada masalah?" tanya Dimas terdengar serius.
"Masalah apa? Gue hanya lagi menungu riset dari tim untuk goal design yang akan dipakai dalam proyek, itu saja. Dan, karena kemarin malam gue menemukan suatu ide design yg menarik, gue minta tim buat menyelaraskan ide tersebut dalam rancangan dengan awal." Taka memaparkan dengan profesional pertimbangannya itu kepada Dimas.
"Oke deh, soalnya gue lagi butuh banyak dana nih, qlo goal kan gue bisa minta payment," sahut Dimas akhiri tawa
Taka terkekeh.
“Kenapa bini lu ga ngajar?” tanya Taka melontarkan pertanyaan yang sejak tadi ingin dia sampaikan.
“Sakit dia.”
Taka hampir saja ketahuan karena ekspresi terkejutnya. Dimas bisa saja menebak-nebak perilaku Taka yang abnormal itu.
“Sakit apa?” tanya Taka kemudian.
“Biasalah. Kecapean aja mungkin. Tengok gih! Dia seneng pasti!” ajakan Dimas membuat Taka tertawa dalam hati.
“Ya. Lihat nanti.”
Mereka menghisap rokok itu kembali dan pikiran Taka sekarang tertuju pada keadaan Wisang. Sudah pasti Dimas manusia berengsek ini tidak peduli dengan keadaan Wisang. Untuk membuktikan pikirannya, Taka mencoba bertanya kembali.
“Lu ada di rumah malam ini?”
“Kagak ada. Gue mo ke Bandung. Lihat pabrik. Kalo lu mo datang ya datang aja, Men!”
Taka hanya tersenyum dalam hatinya. Benar saja perkiraannya, Dimas benar-benar tidak peduli pada Wisang. ‘Jadi jangan salahkan aku jika merebut istrimu, kawan!’
Setelah percakapan itu, Dimas pamit untuk langsung ke Bandung. Taka sendiri langsung mengambil telepon untuk bicara pada Maghda.
“Temani Dimas ke Bandung dan rayu dia. Dan jangan tanya alasannya, kamu mengerti?” perintah Taka dengan aura intimidasinya yang kuat. Taka bisa sangat menakutkan di satu waktu tertentu dan sudah pasti Maghda tidak mau mengambil resiko terhadap bos tampannya itu.
“B-baik, Pak!”
“Saya akan pulang, Maghda. Berikan saya barang bukti kebersamaan kalian, mengerti?!”
“Mengerti, Pak!” jawab Maghda setengah takut. Dia tidak akan mungkin menolak perintah Taka. lagipula tidak ada salahnya juga, Dimas salah satu lelaki tampan dalam circle pertemanan Taka dan juga kaya. Jadi tidak ada ruginya sama sekali ‘bermain’ dengan lelaki keturunan Tionghoa itu.
Taka segera mengambil jas dan kunci mobilnya. Tujuannya kali ini sudah pasti ke rumah Wisang. Dia sudah sangat merindukan wanita yang akhir-akhir ini membuatnya bahagia hanya dengan membayangkan. Mereka tidak memiliki nomor masing-masing karena Wisang mengatakan tidak perlu. Sekarang peraturan itu tidak akan berlaku lagi, karena kali ini Wisang yang harus menuruti perintah Taka.
Taka sengaja tidak parkir di depan rumah Wisang karena dia berencana akan sedikit lebih lama dengan wanita itu. Taka berharap Wisang mengizinkannya untuk merawat dan menemani karena terus terang, Taka merasa gelisah sekarang ini.
Taka mengetuk pelan pintu rumah Wisang dan setelah menunggu beberapa saat. Pintu berwarna putih itu terbuka. Wisang dengan wajah lemas itu tampak menyedihkan.
“Kamu ga apa-apa?”
“Taka …? K-kamu ngapain kesini?”
“Ya lihat kamu lah. Aku ga disuruh masuk?”
Wisang langsung membuka pintunya dan melihat keluar sebentar, memastikan tidak ada yang melihat kedatangan Taka ke rumahnya.
“Kamu ga bawa mobil?” tanya Wisang sambil bersin-bersin.
"Gak, kan mau nginep."
"Eh, apaan sih?"
Taka tersenyum melihat Wisang dengan hidungnya yang memerah itu. Meski begitu, Wisang masih tampak menggemaskan sebagai seorang wanita yang hidungnya berair.
Taka langsung memeluk tubuh yang tingginya hanya sebatas dada itu. Merasakan kehangatan dan akhirnya bisa melepas rindu setelah beberapa hari tak bertemu.
“Kamu baik-baik aja, Sayang?” tanya Taka sambil mendekap erat Wisang.
“Pilek sama demam aja sih. Tapi ga tau kenapa lebih lama dari biasanya nih sembuhnya.”
Wisang melepaskan pelukan Taka dan melihat ke arah lelaki berparas Jepang-Austria-Indo itu.
“Genta gimana? Ada masalah?” tanyanya khawatir. Membuat Taka semakin kagum dengan wanita yang ada di depannya ini. Dia benar-benar peduli pada keadaan Taka, terlebih lagi pendidikannya.
“Baik-baik aja kok, Sayang!”
“Kamu kenapa manggil aku sayang terus?”
“Emangnya ga boleh? Kamu memang kesayangan aku kok!” jawab Taka sambil mengambil pinggang ramping itu lagi dan mengecup bibir Wisang yang sekarang benar-benar candu baginya.
Wisang sampai terengah-engah dengan ciuman Taka yang tidak hanya menekan dengan kuat tetapi membuat desiran aneh itu datang perlahan dari tengkuknya. Lagi dan lagi, pria beranak satu ini sukses membuat aliran darah Wisang mengalir cepat.
"Taka, jangan bikin takut dong." Wisang menyela dengan nafasnya yang terengah-engah sementara Taka tak berhenti menatapnya penuh cinta.
"Kenapa takut? Aku datang menjenguk kesayanganku? Siapa yang akan menakutimu?" sahut Taka sambil menyelipkan helaian anak rambut yang menjutai menutupi wajah Wisang.
Lembut sekali, sentuhan Taka membelai Wisang dan membuatnya terbuai. 'Kau menyia-nyiakan wanita yang sangat lembut, baik dan juga manis, Dim'. Batin Taka memonolog dirnya sendiri.
Sementara Wisang, wanita ini pun telah tehanyut dalam dekapan hangat pria yang telah snagat berhasil membuatnya menimati rasa nyaman.
"Apa masih sakit?" bisik Taka lembut.
"Ya, aku kan sudah bilang aku flu," sahut Wisang manja sekali hingga membuat Taka tak tahan gemas ingin mencumbunya lagi.
"Bukan sakit yang itu, tapi sakit yang saat itu. Apakah masih terasa?"
Alih-alih menjawab, Wisang justru menohoknya dengan jotosan pelan pada dada bidang Taka yang berada di depannya.
"Aku kangen," ucap Taka sambil menatap teduh wajah Wisang yang kian terloihat manis dengan semburat merah di wajahnya aibat rasa mau oleh kalimat singkatnya yang memabukkan itu.
"Taka ... " bibir Wisang mengucapkannya lembut sekali.
Tok… tok…
“Wisang … Wisang …!!”
“!TAKA …!!”