Kunjungan Dadakan Bunda Mertua
“Wisang … Wisang …!!”
Terdengar suara mertua Wisang di balik pintu, membuat ciuman itu berhenti dan Taka menjerit karena bibirnya digigit Wisang.
“Auuww …!!”
“Shut! Diem Taka… sana cepet ke kamar aku dan ngumpet!! Ada mertua aku!”
Taka langsung melotot dan lari terbirit-birit ke dalam kamar diikuti Wisang dan menyimpan Taka di lemarinya. “Jangan keluar sampai aku datang ya!” perintah Wisang yang membuat Taka mengernyit.
“Kaki aku ga muat, Sayang!”
“Tekuk aja udah. Cepet Taka!!”
Taka langsung mendesah dan langsung menekuk kakinya agar muat di lemari Wisang yang memang tidak mempunyai ruang yang besar.
“Ampun deh! Sempit banget!!” Umpat Taka pasrah saat Wisang langsung menutup lemari itu dan menguncinya.
Sambil membereskan wajah dan bajunya yang sempat berantakan akibat ulah Taka, Wisang menenangkan degup jantungnya dan sebisa mungkin santai menghadapi mertuanya.
Wisang membuka pintu itu dan berkata, “maaf lama bunda. Dari kamar mandi tadi,” ujar Wisang dengan suara yang masih serak itu.
“Aduh suara kamu kenapa, Sayang?”
Wisang tersenyum sambil membuka pintu lebar untuk mempersilakan ibunya Dimas masuk.
“Bapil bunda,” jawab Wisang sambil duduk di sofa.
“Tadi kaya denger suara orang menjerit deh. Kamu ada tamu? Apa Dimas dah pulang?” tanya Bunda Meilani pada Wisang sambil memutar matanya ke seluruh ruangan.
Bunda Meilani selalu saja mendapat celah yang membuat Wisang tidak nyaman saat bersama mertuanya tersebut. Pernikahannya dengan Dimas sangat menyakitkan, meski awalnya dia sangat mencintai pemuda oriental itu. Dan salah satu penyebab lainnya adalah karena Ibunda Dimas selalu melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan Wisang. Apakah karena dia pribumi?
“Dimas belum pulang. Kalo orang yang menjerit sih Wisang ga tau, Bun. Dari tetangga sebelah mungkin,” balas Wisang sambil berusaha tenang. Tentu saja itu Taka dan dia merasa bak menyimpan pencuri di dalam rumahnya sendiri sekarang.
“Bau harum apa ini, Wisang?” tanya Bunda Mei yang langsung mengidentifikasi bau parfum Taka yang masih tertinggal di ruangan ini. Wisang langsung memutar otak untuk memberikan alasan yang masuk akal bagi mertua pintarnya ini.
“Oh tadi sebelumnya ada tetangga sebelah ngasih obat ramuan buat Wisang. Mungkin harum itu kali ya Bun!” jawab Wisang berbohong.
“Oh gitu. Jadi kamu sakit bapil aja?” tanya Bunda Mei dengan ketus.
“Iya, Bun. Ga usah khawatir.”
Bunda Meilani langsung beranjak ke dapur Wisang untuk merapikan bawaannya ke kulkas.
“Biar Wisang aja, Bun!”
“Oh ya udah! Bunda mau periksa rumah kamu dulu!”
“Memangnya kenapa, Bun?” tanya Wisang keheranan. Untuk apa lagi mertua kepo ini memeriksa rumahnya.
“Ya periksa aja! Barangkali kamu punya simpenan di sini!” ucap Bunda Mei dengan suara julid dan menyakitkan.
Mungkin inilah salah satu faktor yang membuat Wisang merasa tidak ada gunanya lagi dia mempertahankan rumah tangganya. Hanya Papa Aji yang benar-benar membelanya. Dan mungkin janjinya pada papa Wisang juga lah yang membuat Papa Aji menyayangi Wisang selayaknya anak sendiri. Namun, berbeda dengan Dimas dan Bunda. Wisang tahu Dimas masih mencintai pacarnya yang kecantikannya melebihi Wisang. Belum lagi Bunda menyukai wanita itu karena masih satu keturunan Tionghoa juga. Wisang semakin merasa tersisih.
“Iya Bun. silakan periksa. Maaf kalau berantakan, sepekan ini hanya bisa rebahan di kasur!” jawab Wisang cuek sambil mengambil bungkusan yang dibawa Bunda mei untuk disimpan di kulkas.
‘Untung saja Taka sudah ku kunci’
Wisang melihat mertuanya itu memeriksa satu persatu ruangan yang ada di rumah mereka, lalu berakhir di kamar wisang yang letaknya memang di paling belakang. Berbatasan dengan taman belakang yang dipenuhi dengan tanaman kesukaan Wisang dan juga piano. Wisang memang suka bermain piano saat merasa sendiri dan kesepian. Sebenarnya dia selalu merasa seperti itu setiap kali mengingat hubungannya dengan Dimas yang jauh dari kata sempurna.
Tak lama kemudian, Wisang membawa satu teh poci yang memang disukai ibunda. Wisang selalu bersikap ramah dan baik meski kadang perlakuan yang dia dapat adalah sebaliknya.
“Silahkan, Bun,” tawarku sambil menuang teh ke dalam cangkir tanah liat.
“Terima kasih.”
Kami sama-sama diam karena merasa tidak ada yang perlu kami bicarakan lagi. Menikmati secangkir teh panas yang memang nikmat diminum saat cuaca tak menentu saat ini.
“Baiklah. Cepet sembuh dan sampaikan pada Dimas, segera ke rumah Bunda.”
Wisang mengangguk patuh dan lalu ikut berdiri setelah ibunya Dimas berdiri.
“Bunda pulang dulu. Baik-baik di rumah.”
“Iya bu. Selamat jalan.”
Setelah menutup pintu dan memastikan keadaan sudah aman, Wisang segera mengunci pintu dan menutup tirai. Berlari menuju kamarnya dan membuka lemari.
“Taka! Kau tidak apa-apa?” teriaknya saat melihat Taka menundukkan kepala dan tak melihatnya sama sekali.
“Taka. Sudah aman sekarang, kamu bisa keluar!” Ujar Wisang lagi yang belum ditanggapi oleh Taka sedikitpun.
Taka akhirnya keluar dengan menyeret bokongnya dari lemari itu dan terus menekuk kakinya seperti di dalam lemari.
“Kau tega sekali menaruhku di tempat kecil itu!” ucap Taka yang akhirnya membuat Wina simpati. Dia hanya bisa menunduk dan memeluk Taka dengan hangat karena ini semua salahnya. Bagaimana bisa dia lupa bahwa Taka yang memiliki tinggi 186 cm itu dimasukkan dalam lemari ukuran 60 cm? Pasti sangat menyakitkan menekuk kaki selama itu.
“Aku kram Wisang,” ucap Taka sambil berguling di karpet bulu milik Wisang. Meringis kesakitan dan sontak membuat Wisang panik.
“Taka … aduh gimana dong? Apa yang harus aku lakuin?” Wisang hanya bisa memegang-megang kaki Taka yang masih menekuk dan berguling-guling.
Wisang lari ke dapur untuk mengambil satu gelas air hangat agar meredakan sakit yang Taka derita. Dia sama sekali tidak paham bagaimana membantu Tka yang masih meringis kesakitan.
“Taka, ini minumnya,” sodor Wisang sambil berjongkok di depan Taka.
Dengan cepat Taka mengambil gelas itu dan menghabiskannya dalam satu kali teguk. Setelah itu Taka berhenti dan perlahan meluruskan kakinya yang panjang itu.
“Kamu lama banget sih bukain pintunya?” ujar Taka kesal.
“Ya aku ga ngerti, aku kan cuma bersikap se-natural mungkin meski dalam hati aku deg-degan banget! Takut kamu ketahuan.”
“Harusnya kamu cari cara lah biar nenek lampir itu cepet pulang.”
Wisang hanya cemberut saat Taka mengatakan itu. Meski dia setuju bahwa mertuanya seperti nenek lampir, tapi mendengar orang lain yang mengatakan hal itu membuatnya tidak enak sendiri.
“Emang mo ngapain aku suruh Bunda cepet pulang? Kan tetap kram juga kakinya!”
“Mo begini!” balas Taka yang langsung merubuhkan tubuh Wisang di atasnya dengan satu hentakan.
“Aaaaa … Taka … ampun!!”
“Ga ada ampun buat wanita yang emang sengaja ngerjain aku!!”
Wisang yang kegelian akibat perbuatan Taka hanya bisa pasrah sambil terus menahan perut yang mulai sakit akibat menahan geli. Pertempuran antara dirinya dan Taka tidak terelakkan lagi. Lelaki jangkung ini patut dia beri pelajaran yang setimpal. Wisang langsung balik menyerang Taka, yang ternyata tidak tahan sama sekali dengan geli.
Wisang menggoda dan menggigit tengkuk Taka dengan brutal sampai Taka menangis. Lebih tepatnya pura-pura menangis agar Wisang bersimpati dan berhenti menggodanya.
“Hahahaha … ternyata itu kelemahanmu, ya?” ledek Wisang.
Taka yang tidak mau mengalah langsung mengambil tubuh kecil Wisang dan melemparkannya ke kasur. Untung saja semua tirai kamar sudah ditutup dan kamar tidur terletak di belakang yang jauh dari tetangga. Bisa dipastikan suara yang ada di rumah itu tidak akan bocor ke luar.
“Aku menginginkanmu, Wisang!” ucap Taka dengan bergairah.