Separuh Jiwaku Hilang
Tiba-tiba suara Windari membuat Reyhan dan Kiana menjadi salah tingkah.
Tanpa berfikir panjang, Reyhan langsung berlari mendekati Windari yang terus daja memanggil-manggil namanya.
"Tante, Reyhan di sini!"
Reyhan menggenggam tangan Windari dan berusaha menenangkan wanita separuh baya itu, walaupun Reyhan tidak tahu kenapa wanita separuh yang tengah terbaring itu tengah memanggil namanya, padahal ia hanya memperkenalkan dirinya saat wanita separuh baya itu tengah tertidur lelap saat ia menjaganya sebentar ketika Kiana pergi menemui dokter.
Windari yang tengah berbaring mencoba bangkit dan duduk di ranjang. Beliau menatap ke arah Kiana dan Reyhan secara bergantian.
"Rey, tolong jaga Kiana, Nak!" pinta Windari memohon sembari mengaitkan kedua tangannya, berharap Reyhan mengabulkan keinginannya.
"Nak Reyhan, saat ini pasti Kiana tengah di siksa oleh ibu tirinya, tolong bawa ia ke sini karena Tante sangat ingin sekali bertemu dengan putri kesayangan Tante itu."
Dengan merengek, Windari terus meminta Reyhan untuk membawa putrinya kehadapannya, padahal saat ini putrinya tengah ada di depannya, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Iba!
Sedih!
Terluka dan kecewa!
Begitulah perasaan Kiana saat ini, ia tidak kuasa melihat mamanya seperti itu. Ia tidak tega malaikat yang sangat dicintai dan disayanginya merasakan penderitaan seperti itu karena ulah papanya yang sangat jahat dan telah melukai hati dan perasaannya.
"Mama, Kia disini," ucap Kiana sembari berjalan mendekati mamanya. Akan tetapi mamanya tetap tidak menganggapnya dan langsung histeris ketika melihat wajah putrinya itu.
"Pergi dari sini, pelakor!"
Windari melemparkan bantal ke wajah Kiana dengan wajah yang penuh dengan emosi dan amarah.
Sakit!
Tentu saja hati Kiana merasa sangat teriris karena mamanya saat ini sudah tidak lagi bisa membedakan seseorang. Bahkan, mamanya tidak lagi mengenal putrinya sendiri, putri yang dulu sangat dicintai dan disayanginya.
"Rey, tolong usir wanita ini dari sini!" teriak keras Windari dengan mata memerah, penuh dengan amarah dan kebencian.
"Mama, ini Kia, anak Mama," ucap Kiana dengan nada suara terisak dengan air mata yang terus mengalir.
Windari seolah melampiaskan semua emosi, amarah dan kekecewaannya kepada putrinya, Kiana, ia mengira pelakor yang merusak dan menghancurkan rumah tangganya.
"Tante, Tante, tenanglah!"
Reyhan langsung memeluk Windari sembari menepuk-nepuk pundak wanita separuh baya yang tidak lain adalah mama Kiana.
Ajaib!
Ibarat terhipnotis, Windari terlihat tenang dan merasa lebih baik ketika Reyhan memeluknya.
"Tante, saya akan menjaga Kiana dan Tante selamanya, jadi jangan mengkhawatirkan apapun, yang terpenting sekarang Tante sehat ya," ujar Reyhan menenangkan Kiana dengan kelembutan hatinya dan kata-katanya yang terdengar sangat tulus.
"Nak Reyhan, saat ini Kiana pasti sedang menangis, tolong hapuslah air matanya!" pinta Windari sembari menengadahkan wajahnya menarap Reyhan yang memang lebih tinggi darinya.
Tatapan Windari terlihat berkaca-kaca dan penuh harap. Ya, bahkan di saat sakit seperti ini beliau masih mengkhawatirkan putrinya, akan tetapi kesadarannya sedang tidak baik, beliau bahkan tidak melihat Kiana sebagai putrinya, namun sebagai seorang pelakor yang telah mengambil suaminya dan menghancurkan rumah tangganya. Mungin semua itu terjadi karena trauma dan rasa sakit mendalam akibat disakiti dan dikhianati oleh seseorang yang paling disayangi dan dicintai.
"Sekarang Tante istirahatlah! Saya akan mencari Kiana dan menghapus air matanya. Saya akan mengatakan kepadanya kalau Mamanya sangat merindukan dan mengkhawatirkan putri kesayangannya," ujar Reyhan.
Kata-kata tulus yang ke luar dari lisan Reyhan membuat air mata jatuh di pipi Kiana dan juga Windari. Seolah, dua insan yang terpaut ikatan darah itu saling merindukan namun tidak bisa saling memeluk dan mengungkapkan.
Reyhan membantu membaringkan Windari di ranjangnya, menyelimuti dan mencium kening Windari layaknya seorang putra kepada mamanya.
"Tante tidurlah!" ucap Reyhan.
Windari terlihat enteng dan menurut kepada Reyhan. Beliau memejamkan matanya dan dalam beberapa saat lelap tertidur.
Sungguh, Reyhan benar-benar menenangkan Windari, entah mungkin karena merasa sangat lelah dan capek sebab telah mengeluarkan banyak energi, atau Reyhan memang memiliki kelembutan hati yang bisa menguatkan dan menenangkan orang-orang di sekitarnya.
Salut!
Takjub!
Kiana terus memperhatikan kedekatan mamanya dengan Windari, sembari menghapus air mata yang ada di pipinya dengan tisu. Sejujurnya melihat mamanya dekat dengan Reyhan membuat perasaan Kiana menjadi lebih baik.
Reyhan berjalan pelan mendekati Kiana, ia sangat paham apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu saat ini.
Reyhan memeluk Kiana tanpa berkata apa-apa, dengan hangat ia membelai lembut rambut gadis cantik itu.
Kriuk ..., Kriuk ....
Perut Kiana berbunyi dan keroncongan, karena ia seharian belum makan apapun.
"Kia, kita makan yuk!"
Reyhan langsung membimbing tangan Kiana dan membawa gadis itu ke luar untuk mencari makanan.
"Rey lepaskan aku! Aku tidak ingin makan!" ucap Kiana menolak Reyhan dengan tegas. Bahkan sikap Kiana yang seperti ini terlihat langka dan hampir tidak pernah terjadi karena biasanya Kiana memilih untuk menghindar agar tidak diganggu oleh Reyhan.
"Kia, kamu harus makan, kamu harus memiliki energi untuk bertahan hidup, setidaknya demi Mamamu! Jika kamu menyakiti diri sendiri seperti ini maka Mamamu akan kecewa!"
Reyhan terlihat ingin menepati janjinya kepada Windari untuk menjaga Kiana. Namun, Tania saat ini mulai tidak percaya kepada lelaki manapun termasuk Reyhan, yang tidak alin adalah musuh bebuyutannya di sekolah. Kiana sungguh teramat sangat takut dikecewakan, lagian ia tidak ingin meninggalkan mamanya sendirian.
"Rey, tolong mengertilah, aku ingin menjaga Mama dan aku tidak ingin Mama sendirian dalam ketakutan," jelas Kiana dengan nada suara merengek.
Reyhan menghentikan langkah kakinya dan menatap Kiana, kemudian tersenyum tipis kepada gadis cantik yang ada di depannya itu. Bagi Reyhan setidaknya senyumnya bisa menghibur Kiana.
"Tenang, Kia, aku telah meminta Dokter dan perawat di rumah sakit ini khusus untuk menjaga Mamamu, kan kamu tahu sendiri kalau beliau ditempatkan di ruang VVIP, jadi ia akan diperlakukan dengan sangat baik di rumah sakit ini," jelas Reyhan yang terlihat berusaha meyakinkan Kiana.
"Tapi kalau Mama kenapa-napa bagaimana, Rey?"
"Aku kenal pemilik rumah sakit ini dan aku menjamin tidak akan terjadi apa-apa kepada Mamamu."
Setelah perdebatan panjang akhirnya Kiana menyetujui dan mengikuti Reyhan untuk makan bersama.
Sejujurnya perut Kiana memang terasa keroncongan, akan tetapi ia memilih menahannya karena ia memang tidak punya uang sama sekali. Ia hanya mengharapkan belas kasihan dari Reyhan, lelaki baik yang membantunya dalam keadaan tersulit yang ia hadapi saat ini.
Malu!
Mungkin Kiana yang dulu akan sangat malu jika menggantungkan hidup kepada orang lain. Namun, saat ini ia hanyalah Upik Abu yang berharap belas kasihan dari tuannya.
"Kia, kamu mau makan apa?"
Reyhan berusaha untuk memecahkan kebisuan di antara mereka, karena Reyhan sangat paham sekali kalau sat ini pikiran Kiana sedang tidak di badannya..
"Kia, kok diam?"
Reyhan menatap Kiana yang saat ini terpana dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan wajah yang terlihat sangat berantakan, namun masih terlihat sangat cantik.
"Kia? Kiana?"
Reyhan menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Kiana, tetapi gadis itu tetap tidak bereaksi apa-apa.
Reyhan sangat prihatin melihat Kiana, gadis cantik itu hidup namun seperti mati.
Reyhan menggenggam tangan Kiana, kemudian membawa gadis itu ke luar dari rumah sakit.
"Rey, kita mau ke mana? Lepaskan aku!" bentak Kiana.
Kiana tidak suka Reyhan bersikap semena-mena kepadanya tanpa pemberitahuan.
"Rey, jangan mentang-mentang kamu memberikanku pekerjaan kamu bisa bersikap seenaknya kepadaku!"
Kiana melepaskan tangannya dari Reyhan. Dengan wajah memerah dan penuh dengan amarah, Kiana memalingkan wajahnya dari Reyhan. Kiana tidak suka jika Reyhan bersikap berlebihan kepadanya walaupun Reyhan adalah bosnya sekarang.
"Maaf, Kia, sekali lagi maaf, aku tidak punya maksud apa-apa, aku hanya ingin menghiburmu. Bukankah kamu sangat suka pantai? Aku ingin mengajakmu ke pantai," ucap Reyhan.
Reyhan sangat tahu dan paham sekali, kalau saat ini Kiana sedang kalut dan tidak bisa mengontrol emosinya. Namun, sikap Reyhan malah membuat Kiana heran dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin Reyhan tahu kalau ia suka pantai, apalagi mereka tidak sedekat itu untuk saling bercerita masalah kesukaan.
"Rey, sekarang gw tanya, kenapa lo bersikap baik sama gw? Lo suka sama gw?"
Pertanyaan Kiana membuat Reyhan terdiam dan tidak lagi bisa berkata apa-apa.
"Kenapa lo diam? Lo kasihan sama gw?"
Kiana membelalakkan matanya dan menatap Reyhan dengan mata berkaca-kaca.
"Kia, gw ...."
Reyhan seperti menahan ucapannya, ia tidak tahu akan mengatakan apa kepada Kiana.
"Rey, lo udah dijodohkan dari kecil dan bagaimanapun lo akan menikah sama Wilona, jadi lo nggak usah buang-buang waktu untuk perhatian dan bersikap berlebihan sama gw," ucap Kiana.
"Kia, maksud gw bukan seperti itu, gw ...."