Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kamu Pelakor

Windari menjambak rambut Kiana dengan keras dan meluapkan semua kekecewaan hatinya kepada putrinya yang beliau anggap sebagai pelakor.

"Mama, ini Kiana, anak Mama!" ucap Kiana sembari menangis dan pasrah dengan perlakuan mamanya kepadanya.

Windari tidak peduli dengan tangisan putri kesayangannya itu, dalam pandangannya saat ini yang ada di depan matanya bukanlah putrinya tapi pelakor yang merebut suaminya dan menghancurkan keluarganya.

"Mama ..., ini Kia," rengek Kiana lagi dengan air mata yang terus jatuh membasahi pipinya.

Kiana melingkarkan kedua tangannya di pinggang mamanya, ia ingin memberikan segenap cinta, kasih sayang, ketulusan dan cintanya untuk mamanya dengan harapan mamanya akan kembali pulih dan sadar seperti sedia kala.

Ya, ketulusan itu sampai kepada Windari, wanita paruh baya yang awalnya mengamuk dan bertindak histeris seperti orang gila itu akhirnya mulai melunak. Namun, tatapannya tetap kosong dengan air mata yang tidak henti-hentinya jatuh membasahi pipinya.

"Mama, jangan menangis! Kiana sayang sama Mama. Kita akan memulai kehidupan baru berdua," ucap Kiana sembari menghapus air mata yang mengalir di pipi mamanya.

Dalam pikiran Kiana saat ini adalah bangkit dan memulai kehidupan baru yang lebih baik, dan membuktikan kepada papanya kalau ia tidak butuh penghianat seperti papanya.

Selang beberapa menit kemudian, Reyhan datang bersama dokter.

"Apa yang terjadi, Kiana?" tanya dokter ramah dan sopan dengan pembawaan yang tenang.

"Seperti yang Dokter lihat," ujar Kiana dengan wajah sedihnya.

Dokter terlihat pahan dengan apa yang diungkapkan oleh Kiana, terlebih lagi ia telah mendengar penjelasan dari Reyhan.

Setelah membaringkan pasien di ranjang rumah sakit dan memeriksa keadaannya, dokter meminta Kiana datang ke ruangannya untuk membicarakan hal yang penting.

"Rey, tolong jagain Mama!" pinta Kiana dengan mata sendu dan wajah penuh harap.

"Iya, Kia, jangan khawatir, pergilah!" balas Reyhan sembari tersenyum.

Senyum manis yang terlihat sangat tulus itu membuat perasaan Kiana menjadi lebih tenang.

Kiana dan dokter berjalan pelan melewati setiap sudut di lorong rumah sakit dalam diam dan keheningan.

Kiana memikirkan banyak hal yang membuat kepalanya sangat sakit dan terasa ingin pecah. Tapi, sebagai seorang anak satu-satunya di keluarga, Kiana tidak ingin bersikap lemah dan manja, ia ingin berjuang untuk kesembuhan dan kesehatan mamanya.

"Masuklah, silahkan duduk!" ucap dokter mempersilahkan dengan ramah dan sangat sopan.

"Terima kasih, Dokter!"

Kiana duduk dan mendengarkan penjelasan dokter.

"Apakah Kiana tidak punya keluarga dan orang dewasa yang bisa mendengarkan penjelasan saya sekarang?" tanya sang dokter ramah namun menyimpan sebuah rahasia yang mungkin saja tidak bisa diterima oleh anak seusia Kiana.

"Tidak ada, Dokter, saya sebatang kara," ujar Kiana singkat tanpa menambah dan menjelaskan apapun.

"Baiklah, tapi apa Kiana sanggup mendengarkan apa yang saya katakan?"

Kiana mengangguk dengan keyakinan penuh kepada sang dokter.

"Mohon maaf, dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa pasien dalam kondisi sangat memprihatinkan. Saran saya, sebaiknya Mama anda di bawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan," ujar dokter dengan pembawaan tenang namun tetap membuat hati Kiana teriris.

Hancur dan sakit!

Begitulah perasaan Kiana saat ini. Hatinya terasa tercabuk-cabik oleh pisau sehingga membuatnya terluka parah.

Kiana menarik nafas panjang, air mata kembali jatuh membasahi pipinya.

"Apa Dokter mengatakan kalau Mama saya gila?" ucap Kiana dengan nada terbata-bata.

Kiana tidak bisa menerima kenyataan pahit itu, dirinya benar-benar di uji secara bertubi-tubi, sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. Ia tidak hanya kehilangan papanya, tapi juga kehilangan sosok mamanya yang sangat ia cintai.

"Semoga Mama anda segera pulih setelah mendapatkan perawatan terbaik dari Dokter kompeten."

Kata-kata itu cukup membuat dunia Kiana hancur dan luluh lantah.

Kiana segera ke luri ruangan dokter, ia berjalan tertatih-tatih menuju kamar mamanya di rawat, akan tetapi tubuhnya terasa sangat lemah, ia terasa tidak kuat lagi untuk melangkah.

Bruk ....

Kiana terjatuh ke bumi, namun ia masih terus berusaha untuk bangkit dan berdiri.

'Jangan lemah, Kiana!' ucap gadis cantik itu di dalam hati.

Kiana mencoba bangkit dengan mengumpulkan semua tenaganya yang tersisa, akan tetapi kakinya terasa sangat sakit sekali.

"Aw, sakit!"

Kiana merintih, ia melihat lututnya berdarah. Namun, semangatnya tidak surut, ia mencoba kembali bangkit dan berjalan menuju kamar mamanya.

"Kiana, Mamamu membutuhkanmu!" ucap Tania pada dirinya sendiri.

Kiana berusaha menguatkan dan memberikan semangat kepada dirinya sendiri, hingga sampailah ia di kamar mamanya.

"Ma ...,"

Ucapan Kiana terhenti ketika ia melihat mamanya tengah tidur terlelap dengan menggenggam tangan Reyhan, terlihat begitu hangat, seperti seorang ibu dan putranya.

Kiana berjalan pelan mendekati mamanya dan Reyhan yang sepertinya tidak menyadari kehadirannya.

Kiana meletakkan tangannya di pundak Reyhan.

"Kiana, kamu telah kembali?"

Reyhan menoleh kepada Kiana dan menatap tajam mata gadis cantik itu.

Kiana mengangguk, kemudian tersenyum kepada sahabatnya itu. Ya, walaupun senyum yang dipaksakan, tapi setidaknya Kiana ingin tetap tersenyum meski hati dan perasaannya tengah terluka.

"Apa Mama tertidur, Rey?" tanya Kiana lembut.

Reyhan mengangguk, kemudian tersenyum kepada gadis yang ada di depannya itu. Reyhan menatap Kiana, dan ia melihat gadis yang ada di depannya itu terlihat kesakitan.

Mata Reyhan menatap Kiana dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kia, kamu terluka?"

Reyhan terlihat histeris dan khawatir melihat lutut Kiana berdarah.

"Aku baik-baik saja kok, Rey."

Kata-kata yang selalu diungkapkan oleh seorang wanita padahal sebenarnya keadaannya sangat jauh dari kata baik.

Reyhan dengan lembut melepaskan tangan Windari yang menggenggam tangannya, dengan harapan wanita itu tetap beristirahat dengan tenang dan tetap tertidur. Kemudian Reyhan menarik tangan Kiana untuk duduk di kursi tunggu.

Tanpa protes, Kiana hanya menurut dan mengikuti langkah kaki lelaki yang selama ini menjadi musuhnya itu.

"Tunggu di sini, aku akan mengobati kakimu," ucap Reyhan.

Lelaki tampan itu segera berlari dan bergegas untuk membersihkan mengambil perlengkapan P3K yang memang telah disediakan di ruangan itu.

Reyhan dengan lembut membersihkan luka Kiana, dengan wajah khawatir yang terlihat jelas di wajahnya, padahal selama ini lelaki itu tidak pernah berempati kepada Kiana.

"Aw, sakit!" teriak Kiana ketika alkohol diberikan untuk membersihkan lukanya.

"Maaf, maaf, Kia!"

Reyhan meniup dengan lembut lutut Kiana dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Sementara Kiana terus menatap Reyhan, ia merasa sangat bersyukur karena lelaki yang ada di depannya itu benar-benar peduli dan perhatian kepadanya. Sikap yang sangat berbeda dari yang selama ini ia tunjukkan, dan sungguh sikap Reyhan membuat Kiana merasa takjub.

Reyhan dengan pelan memasangkan plester di lutut Kiana, hingga gadis cantik itu merasa lebih baik.

"Rey, terima kasih banyak," ucap Kiana di dalam hati dengan mata yang terus menatap kepada Reyhan.

Reyhan mengangkat wajahnya, ia pun ikut menatap mata Kiana dan untuk sesaat dua mata itu saling bertemu dengan detak jantung yang bergetar tidak menentu.

"Rey, kamu di mana, Nak?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel