Sebuah Kesepakatan
Reyhan terdiam dengan rasa bersalah yang tergambar jelas di wajah tampannya. Reyhan akhirnya menyadari kalau ucapannya yang melukai perasaan Kiana.
"Ini, kamu bisa menggunakannya semau mu, asal jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku atau pergi tanpa izin dariku!"
Reyhan mengeluarkan kartu kredit tanpa batas dari dompetnya kemudian memberikannya di telapak tangan Kiana. Ya, tidak heran jika anak orang kaya seperti Reyhan memiliki kartu kredit tanpa batas, tapi bagaimana mungkin Reyhan dengan mudahnya menyerahkannya kepada Kiana tanpa berpikir panjang.
Kiana kaget, ia tidak menyangka Reyhan sang lelaki jahat itu akan berkorban sedemikian besar kepadanya, atau mungkin ini hanya sebuah cara agar Reyhan bisa lebih mudah mengendalikannya.
"Apa ini? Kenapa kamu memberikan ini kepadaku?"
Tidak serta merta menerima pemberian Reyhan. Kiana justru merasa sangat heran dengan sikap Reyhan yang sama sekali tidak berpikir panjang untuk membantunya.
"Kia, kita adalah teman SMA, kita juga sekelas, lantas kenapa kamu tidak mengizinkanku membatu mu?" ujar Reyhan sembari menatap Kiana dengan tatapan yang terlihat sangat tulus.
"Rey, kenapa kamu bersikap sebaik ini kepadaku?" tanya Kiana.
Kiana menatap mata Reyhan dan lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk sesaat empat mata itu saling berbicara dari hati ke hati.
Kring ..., kring ..., kring ....
Tiba-tiba telepon genggam Reyhan berbunyi, hingga dua insan itu saling salah tingkah.
"Kia, tunggu sebentar, Wilona menelpon!" ucap Reyhan sembari berjalan menjauhi Kiana untuk mengangkat telepon dari Wilona.
Wilona adalah kekasih Reyhan, gadis yang dijodohkan sejak dini oleh kedua orang tuanya karena urusan bisnis dan mereka akan menikah setelah keduanya tamat SMA. Tapi, Reyhan tidak ingin menikah dengan Wilona karena gadis itu bukanlah tipe wanita idaman Reyhan apalagi Reyhan merasa masih punya waktu yang panjang untuk menikmati masa lajangnya.
"Sayang, kamu dimana? Kenapa tidak ada kabar sih?" teriak Wilona yang membuat gendang telinga Reyhan serasa ingin pecah karena ketidaksopanan gadis itu.
Ya, sikap manja dan keras kepala Wilona adalah salah satu hal yang membuat Reyhan tidak menyukai Wilona.
"Dokter, bagaimana keadaan Mama saya?" ucap Kiana yang mengusik Reyhan.
Pandangan Reyhan tertuju kepada Kiana yang saat ini tengah menghampiri dokter. Ya, dokter baru saja ke luar dari ruang rawat inap orang tua Kiana.
"Aku lagi di rumah sakit, sudah dulu ya, nanti aku hubungi!" ucap Reyhan.
Reyhan langsung mematikan ponselnya dan kembali berlari menghampiri Kiana. Saat ini yang ada di otak Reyhan hanya Kiana dan ia tidak ingin ada hal buruk yang terjadi kepada Kiana dan keluarganya.
"Dokter, bagaimana keadaan Mama teman saya?" tanya Reyhan dengan nafas ngos-ngosan.
"Sepertinya pasien mengalami trauma berat sehingga otaknya tidak lagi sanggup memikirkan dan menanggungnya, makanya pasien jatuh pingsan. Apakah ada sesuatu yang membuat pasien seperti itu?"
Dokter menatap Kiana dan Reyhan secara bergantian. Namun, kedua insan itu hanya diam tertunduk, hingga sang dokter pun terlihat paham bahwa saat ini keluarga pasien sedang tidak ingin menjelaskan situasi peliknya.
Kiana menarik nafas panjang, kemudian menatap dokter dengan tatapan sendu penuh kepedihan, akan tetapi ia masih terlihat berusaha untuk tetap bersikap tegar dan kuat.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Dokter?" ujar Kiana dengan nada suara lembut.
"Buatlah pasien merasa tenang dan nyaman, jangan biarkan pasien memikirkan hal-hal yang membuat mentalnya semakin terganggu," jelas dokter yang kemudian berlalu pergi meninggalkan Kiana dan Reyhan.
Kiana terdiam, ia merasa sangat sedih!
Sakit dan hancur!
Begitulah perasaan Kiana saat ini, dan semua ini terjadi karena papanya yang berselingkuh.
Kiana mengepal kedua tangannya, seolah tengah mengumpulkan tenaga untuk membalas papa dan pelakor yang telah merusak keluarganya.
"Sabar, Kia!"
Reyhan seolah paham dengan emosi dan amarah yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Ia menggenggam lembut tangan Kiana dengan harapan bisa memberikan sedikit ketenangan pada sahabatnya itu.
Kiana menoleh dan menengadahkan wajahnya menatap lelaki tampan yang ada di sampingnya itu, lelaki yang menggenggam tangannya seperti seorang malaikat yang khusus datang untuk menyelamatkan dan membantu hidupnya yang tengah terluka dan terpuruk. Padahal selama ini lelaki itu seperti malaikat maut bagi Kiana.
"Rey, aku ingin melihat Mama!"
Hanya itu kata-kata yang ke luar dari mulut Kiana saat ini. Ya, walaupun hatinya merasa sangat bersyukur karena ada Reyhan disini, tapi tetap saja mulutnya merasa kelu dan kaku untuk hanya sekedar mengucapkan terima kasih.
"Yuk!"
Reyhan menggandeng tangan itu memasuki kamar rawat inap Windari, mamanya Kiana. Reyhan terlihat tidak ingin melepaskan genggaman tangan itu sedikitpun. Sementara Kiana hanya terlihat pasrah dan tidak protes dengan sikap Reyhan kepadanya. Tidak bisa dipungkiri, hati Kiana merasa sangat nyaman dan tenang dengan lelaki yang saat ini tengah bersama dengannya itu.
Perlahan, kaki Kiana dan Reyhan tertuju pada sosok wanita separuh baya yang tengah terbaring lemah di kamar rumah sakit dengan mata menghadap ke loteng rumah sakit. Pandangan beliau terlihat kosong, tanpa arah dan tujuan.
Sakit!
Hati Kiana terasa tercabik-cabik melihat belahan jiwanya terlihat seperti mayat hidup. Ingin hidup tapi sudah tidak berdaya, ingin mati namun ajal belum menjemput.
Kiana melepaskan tangan Reyhan, kemudian berjalan pelan mendekati mamanya. Ia terlihat berusaha tegar dan tidak memperlihatkan kesedihannya kepada mamanya.
Dengan lembut Kiana membelai tangan mamanya dan mencium punggung tangan mamanya itu.
"Ma, Kia sayang sama Mama, cepat sembuh ya, Ma," ucap Kiana dengan nada suara lemah.
Windari bangkit dari pembaringannya dan melepaskan tangannya dari Kiana. Matanya memerah dan ia berteriak dengan sangat lantang kepada Kiana.
"Jangan sentuh aku! Aku tidak sudi melihatmu di sini! Pergi!"
Pekik Windari terdengar lantang dan sangat keras, beliau menangis dan meraung-raung sembari menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Mama ..., apa yang terjadi? Ini Kia, anak Mama," ucap Kiana sembari berusaha memeluk mamanya. Akan tetapi Windari terus memberontak dan semakin histeris.
"Kamu bukan anakku!"
"Kamu bukan anakku!"
"Kamu jahat! Dasar pelakor, pergi kamu dari sini!"
Hanya kata-kata itu yang ke luar dari lisan Windari beberapa kali dengan tangisan dan air mata yang terlihat sangat menyedihkan dan menyakiti hati Kiana.
"Rey, apa yang terjadi kepada Mama?"
Kiana langsung menjatuhkan tubuhnya memeluk lelaki tampan yang saat ini hanya diam dalam kebisuan. Ia terlihat tidak tahu akan melakukan apa kepada sahabatnya itu, kecuali membalas pelukan Kiana sembari membelai lembut rambut sahabatnya yang terurai panjang dengan pakaian yang telah mengering di badan.
"Sabar, Kia! Kamu tenanglah, aku akan memanggil Dokter!" ujar Reyhan.
Lelaki itu membawa Kiana duduk di kursi tunggu yang ada di kamar itu, kemudian ia berlari memanggil dokter untuk memanggil dokter agar pasien segera mendapatkan penanganan.
Sementara itu, Windari semakin histeris. Beliau melepaskan infus dan berjalan mendekati Kiana yang tengah duduk sembari menangis.
"Pelakor, kenapa kamu merusak rumah tanggaku! Apa mau mu! Apa kau tidak punya hati?"