Berhutang Budi
Lagi-lagi Kiana menabrak sesuatu akibat dari kecerobohannya.
Reyhan dengan sigapnya berlari mengejar Tania dengan perasaan khawatir yang menyelimutinya.
"Kia, lo nggak apa-apa?"
Reyhan berteriak dengan kekhawatiran yang ia bawa bersamanya.
Tangan Reyhan dengan sigap menangkap pinggang ramping Kiana.
Mulut Kiana menganga, wajahnya ketakutan dan ia menutup matanya. Sakit yang Kiana tanggung mungkin tidak seberapa, akan tetapi malunya yang tidak tahan.
"Kia, Kiana, kamu tidak apa-apa?" terdengar oleh Kiana suara lembut Reyhan tengah memanggilnya.
Perlahan Kiana menutup matanya dan melihat wajah tampan Reyhan di depan matanya dengan senyum tipis yang terlihat menggoda. Untuk beberapa saat dua mata saling bertemu dengan debaran-debaran hebat tidak menentu yang sama-sama mereka rasakan.
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Begitulah bunyi jantung mereka berdegup dengan diiringi alunan ombak yang terdengar romantis dan manis.
"Tampan sekali lelaki ini, aku tidak menyangka lelaki berandal ini ternyata masih baik kepadaku," ucap Kian di dalam hati sembari terus menatap wajah tampan Reyhan.
"Kia, kamu tidak apa-apa?" tanya Reyhan yang juga tidak bisa mengedipkan matanya dari menatap Kiana.
Bulu mata melentik, dengan rambut panjang terurai itu tengah berkibar oleh angin laut membuat Kiana terlihat semakin mempesona di mata Reyhan.
"Aku tidak apa-apa!"
Kiana salah tingkah dan memalingkan wajahnya dari Reyhan, sementara Reyhan juga terlihat salah tingkah dan langsung melepaskan tangannya dari pinggang Kiana.
"Kia, apa boleh aku bertanya?" ucap Reyhan sembari menghentikan langkah kakinya.
Tangan Reyhan dengan sigap menangkap pinggang ramping Kiana.
Mulut Kiana menganga, wajahnya ketakutan dan ia menutup matanya. Sakit yang Kiana tanggung mungkin tidak seberapa, akan tetapi malunya yang tidak tahan.
"Kia, Kia, kamu tidak apa-apa?" terdengar oleh Kiana suara lembut Reyhan tengah memanggilnya.
Perlahan Kiana membuka matanya dan melihat wajah tampan Reyhan yang saat ini tengah berada di depan matanya dengan senyum tipis yang terlihat menggoda. Untuk beberapa saat dua mata saling bertemu dengan debaran-debaran hebat tidak menentu yang sama-sama mereka rasakan.
Malaikat Baik
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Begitulah bunyi jantung mereka berdegup dengan diiringi alunan ombak yang terdengar romantis dan manis.
'Tampan sekali lelaki ini, aku tidak menyangka lelaki berandal ini ternyata aslinya baik,' ucap Kiana di dalam hati sembari terus menatap wajah tampan Reyhan.
"Kia, kamu tidak apa-apa?" tanya Reyhan yang juga tidak bisa mengedipkan matanya dari menatap Kiana yang cantik mempesona. Kecantikan Kiana memang mengalihkan dunia siapapun yang menatapnya.
Bulu mata melentik, dengan rambut panjang terurai itu tengah berkibar oleh angin laut, sungguh membuat Kiana terlihat semakin mempesona di mata Reyhan.
"Aku tidak apa-apa!"
Kiana salah tingkah dan memalingkan wajahnya dari Reyhan. Sementara Reyhan juga terlihat salah tingkah dan langsung melepaskan tangannya dari pinggang Kiana.
"Kia, apa boleh aku bertanya?" ucap Reyhan sembari menghentikan langkah kakinya.
Kiana yang awalnya berjalan mengikuti irama kaki Reyhan akhirnya juga ikut menghentikan langkah kakinya.
Kiana kemudian duduk di pasir putih, menatap laut lepas dengan tatapan sendu. Sejuta pikiran menyelimuti otaknya, namun semua beban itu ia simpan rapat dalam kesendiriannya.
"Aku benci dengan wanita itu, dia telah mengambil Papaku dan membuat kedua orang tuaku bercerai!" ucap Kiana dengan sejuta kekesalan yang memuncak, penuh amarah dan kebencian mengungkapkan suasana hatinya saat ini.
Reyhan terdiam, ia tidak tahu akan menjawab apa kepada Kiana, ia juga tidak paham bagaimana cara menenangkan Kiana, karena mereka berada di usia yang belum memiliki masalah berat dan pelik seperti yang Kiana dan keluarganya alami saat ini.
"Papa adalah lelaki terbaik yang selama ini selalu aku banggakan, tapi air mata yang jatuh membasahi pipi Mama membuatku membenci lelaki jahat itu!" ujar Kiana dengan sorot mata yang penuh dengan kebencian.
Kiana mengepalkan tangannya, wajah cantiknya yang putih itu memerah, menanggung kebencian yang teramat sangat kepada papanya yang telah berkhianat.
"Kia, sabar!"
Reyhan menggenggam tangan Kiana dengan lembut, kemudian menatap wajah wanita cantik yang duduk di sebelahnya itu dengan sejuta rasa khawatir.
Ya, Reyhan tidak paham bagaimana cara menghibur orang lain. Hanya sebuah kata-kata yang keluar dari mulut Reyhan, lelaki yang saat ini tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Kiana yang sedang sedih dan berduka.
Kring ..., Kring ..., Kring ....
Ponsel Kiana bergetar, namun Kiana memilih untuk mengabaikan panggilan itu. Kiana sangat tahu kalau saat ini yang menghubunginya mungkin saja sang bibi yang disuruh oleh papanya.
"Kia, ponselmu berbunyi, mungkin saja penting," ucap Reyhan mengingatkan Kiana.
"Ah, biarkan saja, pasti itu Bibi yang disuruh Papa. Saat ini aku tidak ingin pulang!" ujar Kiana datar tanpa menatap Reyhan.
Kiana terus saja menatap lautan lepas, sinar matahari yang awalnya terik akhirnya mulai meredup. Langit yang awalnya biru berganti dengan merah muda seperti mawar yang tengah merekah, sungguh terlihat sangat indah. Matahari sebentar lagi tenggelam, pemandangan sunset dikala senja terlihat merona, dengan udara sejuk sebagai lukisan keindahan alam, mahakarya yang paling sempurna ciptaan Tuhan Sang Pencipta alam semesta.
Angin laut seolah bernyanyi di telinga Kiana, menambah kesejukan alam di pantai ini, beberapa orang terlihat tengah bermain pasir bersama keluarga, ada juga yang berlari-lari bersama pasangan mengikuti alunan gelombang air laut, banyak juga diantara mereka yang mengabadikan momen tersebut lewat kamera HP. Sementara itu, Kiana memilih untuk menikmati pemandangan sunset yang luar biasa sembari menyembuhkan luka hatinya walau untuk sesaat.
"Kia, sudah senja, ponselmu terus saja berbunyi, mungkin orang tuamu mengkhawatirkan dirimu," ucap Reyhan lagi.
Reyhan beberapa kali mengingatkan dan membawa Kiana untuk mengangkat ponselnya, namun gadis cantik itu tetap tidak mempedulikan.
"Non Kiana, Papa Non saat ini sedang sakit, Bibi tidak tahu harus melakukan apa."
Kiana menerima pesan WhatsApp dari asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.
"Papa, apa yang terjadi?"
Kiana mulai panik dan kasak-kusuk, membayangkan hal buruk yang terjadi kepada papanya. Namun, seketika ingatan akan perbuatan papanya membuat Kiana marah.
"Ah sudahlah! Dia punya selingkuhan yang akan menjaganya," pikir Kiana di dalam hati.
Satu hal yang Kiana takutkan saat ini, yaitu ketika papanya tahu kalau mamanya di rawat, mungkin saja beliau akan main tangan dan memukul mamanya, karena Kiana pernah melihat hal itu terjadi beberapa minggu yang lalu saat kedua orang tuanya bersitegang.
Kring ...., Kring ...., Kring ....
Telepon genggam Kiana kembali berbunyi dan entah mengapa kali ini Tania segera mengangkatnya.
Wajah Kiana terlihat panik dan khawatir ketika mendapatkan panggilan itu.
"Kia, ada apa? Siapa yang menelpon?" tanya Reyhan.
"Rey, bisa tolong hantarkan aku ke rumah sakit sekarang?" ujar Kiana memohon.
Wajah Kiana terlihat sangat panik dan ketakutan, ketika ia baru saja mendapatkan kabar diri suster kalau selingkuhan papanya datang dan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati mamanya, hingga terjadilah perang dunia ketiga.
Kiana kembali mengingat ocehan papanya ketika mengusir ia dan mamanya dari rumah di waktu hujan lebat.
"Dasar, kejam!" gumam Kiana.