Bertahanlah, Ma
Reyhan meminta Kiana mengulang kembali apa yang barusan ia katakan.
"Eh, Rey, jangan mentang-mentang lo adalah atasan gw jadi lo seenaknya bersikap sama gw!" bentak Kiana yang sudah muak dan kesal dengan perlakuan Reyhan kepadanya.
"Lo? Enak aja bersikap tidak sopan kepada atasan. Panggil saya Bos Reyhan!"
Ya, begitulah Kiana dan Reyhan, mereka seperti tikus dan kucing yang selalu saja bertengkar untuk masalah sepele dan hal-hal kecil, terkadang mereka seperti sepasang sepatu yang saling melengkapi dan tidak berarti apa-apa jika salah satunya tidak ada.
"Terserah lo!"
Reyhan terlihat kesal melihat sikap Kiana yang tidak menghargainya sebagai seorang atasan, namun Kiana terlihat tidak peduli dengan Reyhan karena ia harus segera mengangkat telepon dari seseorang.
"Kia, gw lagi ngomong kenapa malah angkat telpon?" bentak Reyhan hingga gendang telinga Kiana serasa ingin pecah.
Kiana tidak peduli dengan Reyhan, ia menelpon menjauhi Reyhan.
"Kiana!"
Pekik dan suara keras Reyhan cukup membuat jantung Kiana seperti tersengat petir. Lelaki yang merupakan bosnya itu selalu bersikap seenaknya saja kepadanya membuat Kiana muak. Namun, tidak ada yang bisa Kiana lakukan karena ia butuh Reyhan dan ia butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari serta untuk biaya rumah sakit mamanya yang ditanggung oleh Reyhan selama ini.
"Kiana!"
Kiana yang baru saja mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya, dengan segera langsung berlari mendekati Reyhan.
"Iya, kenapa, Pak Bos?" ucap Kiana lembut dengan nafas cepat.
"Kemana aja sih? Lama banget!"
Ocehan-ocehan seperti itu selalu keluar dari mulut Reyhan yang membuat Kiana marah.
M U A K !
B O S A N !
Kiana merasa sangat tertekan dengan sikap yang semena-mena itu.
"Lo kenapa sih? Kenapa lo hobinya menyiksa gw kalau di kantor? Gw salah apa sama lo? Apa mau lo? Kenapa sedikitpun gw tidak boleh duduk tenang? Emangnya gw harus selalu ada di depan mata lo?"
Kata-kata mutiara yang bertubi-tubi itu akhirnya keluar dari mulut Kiana. Sungguh, ia muak dengan sikap Reyhan yang tidak pernah memperlakukan ia baik ketika di kantor.
Reyhan yang sedang duduk manis di kursinya, sembari memeriksa beberapa berkas, langsung menengadahkan wajahnya menatap Kiana yang marah.
Reyhan berdiri dan menghampiri gadis cantik yang tidak lain adalah sekretaris pribadi sekaligus salah satu temannya di SMA itu.
Reyhan menggenggam bahu Kiana dengan kedua tangannya dengan lembut.
"Nia, lo marah?" ucapan lembut yang terdengar sangat manusiawi itu akhirnya keluar juga dari mulut Reyhan.
Reyhan akan menjadi seorang ahli waris di keluarganya, jadi sekarang ia sedang di kader menjadi seorang CEO sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion di usia mudanya sekarang. Ya, papa Reyhan termasuk ayah yang sangat disiplin dan sangat jaim kepada semua bawahannya.
"Tentu saja gw marah, lo bahkan memperlakukan gw seperti boneka yang lo perlakukan seenak jidat lo!" Kiana menunjuk jidat Reyhan dengan mata terbelalak.
Mata Kiana memerah, ia marah dan kali ini ia berusaha meluapkan semua emosi yang selama ini tertahankan di hatinya.
"Maafkan aku, Kia!"
Reyhan memeluk Kiana dengan lembut dan pelukan itu tentu saja membuat emosi dan amarah Kiana mendingin. Ibarat bara api yang dipadamkan oleh air es.
"Kia."
Reyhan menggenggam tangan Kiana, ia membawa gadis cantik itu ke luar dari ruangannya.
"Kita mau ke mana?"
Pertanyaan lembut dan terdengar manja yang ke luar dari lisan Kiana cukup membuat Reyhan tidak ingin mengatakan apapun kepadanya.
Reyhan menatap Kiana kemudian tersenyum melihat tingkah polos dan manja gadis cantik itu. Wanita yang membuat Reyhan nyaman berada di dekatnya, wanita yang selalu dicari Reyhan jika dalam beberapa menit saja tidak nampak batang hidungnya.
Sementara itu seisi sekolah tengah memperhatikan langkah kaki sang bad boy dengan upik abunya, mereka bergaya dan berlenggok lagaknya peragawati yang tengah memperagakan busana hasil rancangannya sendiri padahal mereka hanya mengenakan pakaian SMA. Dengan wajah cantik dan tampan, kedua sejoli itu sangat layak sekali didaulat sebagai pasangan model berbakat.
"Rey, apa nggak malu dilihatin semua orang di sekolah jika memegang tangan aku seperti ini?"
Kiana mulai merasa risih ketika bola mata semua siswa dan guru menatap mereka sembari berbisik. Kiana tidak ingin di cap sebagai gadis yang tidak punya harga diri yang merayu Reyhan yang tidak lain adalah sang pewaris tunggal.
"Tidak apa-apa."
Jawaban singkat dengan senyum yang teramat sangat manis itu cukup meyakinkan Kiana kalau ia tidak perlu merasa takut atau khawatir dengan apapun selama ada Reyhan di sampingnya.
Kring ... Kring ... Kring ...
Tiba-tiba telepon genggam Kiana berbunyi. Gadis cantik yang memiliki mata besar dengan bulu mata melentik itu langsung melepaskan genggaman tangan Reyhan dan menjauh dari lelaki itu untuk mengangkat telepon.
"Assalamualaikum," sapa lembut Kiana.
Bruk ...!
Entah apa yang di dengar Kiana dari panggilan telepon itu, yang jelas wajahnya langsung berubah. Ponsel Kiana terpelanting ke lantai, tangan Kiana melemah, kakinya juga terasa goyang, hampir saja tubuh mungil itu terjatuh ke lantai. Kiana merasakan buminya hancur, hidupnya tidak lagi bermakna apa-apa.
"Mama ...!" pekik Kiana dalam isak tangisannya ketika ia baru selesai menerima telepon.
Mendengar pekikan Kiana tentu saja Reyhan langsung menghampiri gadis cantik itu. Reyhan adalah salah seorang lelaki yang tidak akan membiarkan Kiana menangis atau terluka perkara apapun. Bagi Reyhan kebahagiaan Kiana adalah yang terpenting untuknya.
"Kia, lo kenapa?"
Wajah Reyhan terlihat panik dan khawatir ketika melihat Kiana terduduk di lantai dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Rey," suara lemah dan terisak yang keluar dari bibir mungil Kiana semakin membuat Reyhan panik.
"Kia, kenapa?"
Reyhan menggoyang-goyang tubuh Kiana, ia tidak sanggup melihat air mata yang menggenangi pipi Kiana. Bagi Reyhan sedih Tania adalah sedihnya juga, bahagia Kiana juga bahagianya.
"Mama ...!"
Hanya itu kata-kata yang ke luar dari mulut Kiana.
Reyhan paham dengan apa yang dirasakan oleh Kiana saat ini. Tanpa berkata apa-apa dan dengan sigap, Reyhan langsung menggendong Kiana ke pangkuannya, ia membawa gadis cantik itu menuju parkir mobil dengan sejuta kegundahan di dalam hatinya.
Kiana pasrah, diam dalam kebisuan dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Kiana mengalungkan kedua tangannya di leher Reyhan sembari menatap wajah tampan yang penuh dengan ke khawatiran itu.
"Kia, kamu istirahatlah!"
Reyhan membaringkan tubuh Kiana, kemudian meminta sang supir melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Kiana hanya diam, ia hanya menurut apa yang Reyhan katakan. Tatapannya kosong, jiwanya seolah hilang dari raganya.
Reyhan tahu apa yang saat ini Kiana rasakan dan tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang kecuali berdoa agar perasaan Kiana menjadi tenang dan lebih baik.
Sesekali Reyhan menoleh ke samping kirinya, ia melihat Kiana yang saat ini menatap dengan tatapan kosong, kehilangan semangat dan terlihat seperti mayat hidup.
"Rey, jangan terus-terusan menatapku, aku tidak akan kemana-mana, aku hanya ingin segera sampai di rumah sakit!" ujar Kiana tanpa menatap Reyhan.