Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Ambush

Munding berjalan menyusuri pematang sawah sampai ke tepian desa. Setelah itu dia menyebrang sungai besar yang memisahkan antara Sukorejo dengan Sumber Rejo. Sumber Rejo adalah nama desa tempat Pak Yai tinggal.

Semakin jauh Munding melangkahkan kakinya meninggalkan rumah, dia merasa langkah kakinya semakin ringan. Ketika Munding melihat batas desa Sumber Rejo di kejauhan, Munding pun tak sabar dan berlari. Berlari ke arah rumah Pak Yai.

Desa Sukorejo asal Munding merupakan salah satu desa kecil yang letaknya di lereng gunung. Bersama-sama dengan Sumber Rejo dan beberapa desa kecil lainnya, daerah ini menjadi bagian dari Kecamatan Sukolilo.

Kecamatan Sukolilo merupakan kota kecamatan kecil yang terletak di daerah pegunungan. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani. Hasil utama yang ditanam oleh para petani berupa padi dan sayur mayur yang memang mudah tumbuh di daerah bersuhu dingin.

Di Sukolilo hanya terdapat 2 SMP Negeri, 1 SMA Negeri dan 1 SMK Negeri, jadi bisa dikatakan bahwa pilihan untuk melanjutkan sekolah lanjutan sangatlah terbatas. Berbeda dengan sekolah lanjutan, di setiap desa biasanya memiliki Sekolah Dasar masing-masing, terkadang dalam satu desa lebih dari satu SD ada di sana.

Tetapi keterbatasan sekolah lanjutan tingkat atas tak pernah menjadi masalah di Sukolilo. Untuk para petani, mereka tidak butuh sekolah tinggi, yang penting tahu cara bercocok tanam dan mereka dapat hidup berkecukupan.

Wage tak pernah mau melanjutkan sekolahnya ke SMP. Dia cuma tamatan SDN Sukorejo dan memilih bekerja di sawahnya setelah lulus. Berbeda dengan Wage, Sutinah lulusan SMAN 1 Sukolilo. Sutinah dulunya merupakan gadis yang sudah melek dengan kemajuan zaman.

Munding berhenti di depan mushola Pak Yai. Dia terengah-engah karena kehabisan napas setelah berlari. Ketika dia melihat ke arah rumah Pak Yai, Nurul sedang menyapu di halaman depan. Melihat Munding yang datang sambil membawa plastik besar di tangan dan tas sekolah yang penuh dengan buku, Nurul langsung berlari ke dalam rumah.

Tak lama kemudian, Pak Yai keluar dari dalam rumah. Dia berjalan ke arah Munding dan melirik sekilas ke kantong plastik dan tas Munding.

“Kamu sudah minta ijin ke Ibumu Le?” tanya Pak Yai.

“Sudah Pak Yai,” jawab Munding.

“Coba gimana kamu ngomongnya?” tanya Pak Yai.

“Munding tadi bilang gini Pak Yai ‘Ibu, Munding mau pamit. Mulai sekarang Munding nggak akan tinggal disini lagi’ ke Ibuk,” kata Munding.

“Bener kamu ngomong gitu?” tanya Pak Yai.

“Iya Pak Yai,” jawab Munding serius.

“Ya sudah kalau gitu, angkat satu lemari kosong di dalam rumah terus letakkan di mushola untuk baju dan bukumu,” kata Pak Yai.

“Iya Pak Yai,” Munding tersenyum sumringah kemudian meletakkan bawaannya. Munding berjalan ke arah Pak Yai dan mencium punggung tangan Pak Yai.

Dan itulah awal dari kehidupan Munding di desa Sumber Rejo.

Seorang anak kecil berseragam SD terlihat berlari menyusuri jalan kampung yang menghubungkan antara Sukorejo dan Sumber Rejo. Senyuman cerah terlihat di wajahnya.

Anak itu Munding.

Munding sudah beberapa hari ini tinggal bersama Pak Yai di desa Sumber Rejo dan dia sangat menyukainya. Rutinitasnya dimulai dari pagi hari ketika Pak Yai membangunkannya dengan sabetan batang rotan ke tubuh untuk melaksanakan sholat subuh.

Kemudian dia akan mulai menimba air dari sumur untuk mengisi bak mushola dan dilanjutkan dengan menyapu halaman rumah Pak Yai dan halaman mushola.

Nurul biasanya akan memanggil Munding untuk sarapan jika masakan Bu Nyai telah siap dan mereka berempat akan sarapan bersama-sama. Setelah itu Munding pun akan berangkat ke sekolah seperti biasanya.

Di sore hari, jadwal Munding masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Mengaji dengan Nurul dan menerima sabetan rotan dari Pak Yai. Meskipun tubuh Munding terasa lelah setelah melakukan semua aktivitasnya setiap hari, lantunan merdu ayat-ayat Al Quran dari mulut Nurul selepas Isya jadi obat mujarab bagi Munding untuk lelap tertidur di malam hari.

Itulah kenapa, Munding selalu menunggu waktu pulang sekolah tiba. Dan ketika velg mobil yang digantung di depan ruang guru itu dipukul, Munding akan langsung melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya.

Munding sudah hapal betul jalan ini. Jalan penghubung antara Sukorejo dan Sumber Rejo. Perbatasan kedua desa ditunjukkan oleh sebuah jembatan penghubung yang melintasi sungai yang mengalir antara kedua desa tersebut. Ketika Munding sudah melihat jembatan tersebut, itu artinya dia sudah hampir sampai ke Sumber Rejo.

Munding yang sedang berlari tidak menyadari kalau dari sebelah kiri jalan sebuah batu sebesar kepalan tangan bayi melayang ke arah kepalanya.

Bakkkkk.

Suara batu yang mengenai kepala pun terdengar. Munding terlempar ke samping kanan karena lemparan batu tadi. Munding, yang tiba-tiba merasakan seperti ada palu yang dihantamkan ke pelipis kirinya, limbung dan jatuh seketika.

“Hahahahahahahahahahahaaha.”

Terdengar suara tawa anak-anak dari sebelah kiri jalan. Joko dan kawan-kawan ternyata bersembunyi diantara pohon dan semak-semak yang ada disana.

Munding merasakan ada cairan hangat yang mengalir dari pelipis kirinya. Dia juga merasakan kepalanya sedikit berkunang-kunang. Tangan kirinya reflek memegang ke arah sumber rasa sakit itu dan dia tertegun ketika dia melihat darah membasahi telapak tangannya.

“Anak Lonte, sudah berhari-hari kami mencarimu. Rupanya kau sekarang sembunyi ke desa sebelah ya?” teriak Joko.

Munding melirik ke arah suara Joko dan melihat ada 13 orang disana. 7 laki-laki dan 6 perempuan. Mereka semua adalah kawan sekelas Munding. Kenapa mereka semua bisa menungguku disini? kata Munding dalam hati.

Dari ketigabelas orang itu, hanya 5 orang geng si Joko yang maju mendekati Munding yang masih tergeletak di jalan. Munding mencoba berpikir cepat dan akhirnya mengambil satu keputusan.

Lari.

Jembatan penghubung desa sudah di depan mata. Joko dan grupnya tidak akan berani macam-macam di Sumber Rejo.

Secepat kilat Munding yang tadi masih terbaring dan memegangi pelipis kirinya yang berdarah meloncat bangun dan berlari sekuat tenaga ke arah jembatan. Aksi tiba-tiba Munding membuat Joko dan kawan-kawannya kelimpungan karena kaget.

“Asuuuuuu, jangan lari kamu!!!!” teriak Joko.

Joko dan kawan-kawannya mengejar Munding yang berlari seperti orang kesetanan. Dalam hitungan detik aja, beberapa kawan-kawan Joko tumbang kehabisan napas. Mungkin karena mereka jarang berolahraga.

“Lawan aku kalau pemberani!!” teriak Candra, anak si Kokoh yang jadi pengikut setia Joko, sambil terengah-engah.

Munding tidak memperdulikan teriakan anak-anak tersebut, dia hanya memusatkan perhatiannya ke depan dan berusaha berlari sekencang-kencangnya.

Naluri membawanya ke rumah Pak Yai yang ada di pojokan desa Sumber Rejo dan ketika Munding melihat mushola dan rumah yang sudah familiar dengan dirinya itu, Munding berlari makin kencang.

Munding jatuh tak sadarkan diri di teras mushola. Darah masih mengalir dari pelipis kirinya yang robek terkena lemparan batu dari Joko. Baju sekolah Munding juga bersimbah darah.

Nurul, yang menemukan tubuh Munding bersimbah darah, menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Tak lama kemudian, Bu Nyai yang mendengar teriakan Nurul keluar dari rumah dan menemukan Munding di teras mushola.

Bu Nyai pun meminta tolong tetangga untuk menghubungi Pak Yai yang masih ada di sawah. Kemudian Bu Nyai memberikan pertolongan pertama untuk membersihkan luka di kepala Munding.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel