Ringkasan
(Action)Rating : Mature ActionCerita akan mengandung adegan kekerasan yang mungkin akan masuk kategori brutal dan sampai tindakan menghilangkan nyawa seseorang. Novel ini akan lebih dominan di genre action dan hanya sedikit konten seks.Sinopsis:Munding kecil melihat ibunya berselingkuh dengan laki-laki lain secara tidak sengaja saat dia kelas 4 SD. Ketidaksengajaan yang membuat Munding kehilangan satu-satunya pelindungnya yang ada di dunia ini, Bapaknya sendiri, Wage.Wage yang mencoba mencari perhitungan dengan selingkuhan istrinya malah ditemukan mengambang tanpa nyawa di sungai keesokan harinya.Masa kecil Munding selanjutnya sebagai anak tanpa Bapak alias anak yatim, diisi dengan bully-an dari kawan-kawan sekampungnya. Panggilan 'anak lonte' juga kerap diterimanya. Hingga akhirnya dia terselamatkan oleh seorang pemuka agama dari kampung sebelah secara kebetulan. Yang kemudian mengajarinya pencak silat sebagai alat untuk membela diri.Tapi apakah Munding yang selalu merasa bersalah akan kematian Bapaknya, yang selalu merasa marah akan perselingkuhan Ibunya dan mempunyai dendam kesumat dengan orang-orang yang telah menghabisi nyawa Bapaknya akan tinggal diam saja?Selamat membaca.MoMu98WARNING!!!!!Cerita fiksi ini mengandung konten-konten cerita yang bisa dikategorikan 'disturbing' atau menganggu bagi sebagian pembaca antara lain:Seks dengan kekerasan, pemerkosaan, tindak kekerasan pada remaja, bullying, hubungan sedarah, penggunaan kata-kata makian yang tidak senonoh dan beberapa konten lain yang mungkin anda anggap tidak layak untuk dibaca.Jika anda merasa tidak suka, tidak setuju dan terganggu dengan salah satu atau beberapa hal diatas.DO NOT PROCEED FURTHER!! JANGAN DIBACA DAN SEGERA TINGGALKAN TULISAN INI!!
Bab 1 Munding
“Modar kowe!!!”
“Anak lonte!!!!”
“Sana ngadu!! Mau ngadu ke siapa hah?”
“Nangis?? Dasar cengeng!!”
“Hahahahahahahahahaha.”
Seorang anak meringkuk di tengah tanah lapang, sedangkan enam orang anak lainnya mengeroyok anak tersebut. Ada yang melayangkan pukulan, sebagian yang lain menggunakan kakinya untuk menginjak anak malang itu.
Salah seorang anak yang berbadan paling besar, bernama Joko, tertawa terbahak-bahak melihat postur tubuh anak yang meringkuk di tanah dan merintih kesakitan itu.
Dengan nada memerintah, Joko menyuruh kawan-kawannya untuk mengencingi anak yang barusan mereka keroyok tersebut.
“Kencingi aja!! Anak lonte, nggak punya Bapak. Siapa yang mau nolongin dia?” kata Joko lantang.
Dan kelima anak lainnya serentak mengikuti perintah Joko. Membuka celana pendek mereka dan mengeluarkan burung kecilnya masing-masing. Tak lama kemudian, air kencing lima anak tersebut sudah membasahi seluruh tubuh anak kecil yang meringkuk di tanah tersebut.
“Cabut!!! Hahahahahahahahahaha.” kata Joko sambil melambaikan tangan tanda ajakan ke kawan-kawannya.
Mereka berenam meninggalkan lapangan tersebut dengan kepala mendongak keatas dan sambil tertawa-tawa. Mereka merasa hebat dengan apa yang barusan mereka lakukan.
Malam pun datang, lapangan yang tadinya temaram oleh sinar matahari senja, kini menjadi gelap gulita.
Suara rintihan anak kecil masih terdengar di tengah tanah lapang. Tapi siapatah yang akan mendengar? Tanah lapang ini terletak di pojok desa. Tanah lapang yang hanya dipakai ketika ada acara pertunjukan seni Kuda Lumping atau pagelaran wayang tahunan saat Ruwat Desa.
Anak itu bernama Munding.
Nama yang kedengaran aneh ya? Kalau kerbau? Ya. Munding artinya Kerbau. Nama yang sederhana dan mungkin untuk anak-anak seumuran Munding yang lain bakalan malu kalau punya nama seperti itu tapi Munding tidak. Munding bangga.
Nama anak seumuran Munding rata-rata sudah keren. Seperti Joko yang mempunyai nama lengkap Joko Sentono. Mendengar nama Sentono semua orang di desa ini pasti tahu nama itu. Karena itu adalah nama dari sang kepala desa, Karto Sentono.
Nama kelima anak tadi selain Joko juga tak kalah keren, Rangga, Yogi, Bambang, Abdul dan Candra. Munding? Sama sekali nggak level dengan mereka. Tapi Munding tetap bangga dengan namanya.
Sambil merintih menahan sakit di tengah lapang, Munding kembali teringat masa-masa indah ketika Bapaknya masih hidup dulu.
“Bapak, kenapa sih Bapak kasih nama Munding? Kan malu Pak?” tanya Munding kecil yang masih duduk di kelas 3 SD dan sedang menemani Bapaknya di sawah.
Wage, Bapak Munding, seorang laki-laki desa sederhana yang bermata pencaharian sebagai petani, tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.
“Le, coba kamu liat, kalau nggak ada kerbau yang membantu Bapak membajak sawah ini. Kira-kira Bapak bisa nggak mencangkulnya sendirian?” kata Wage sambil menunjuk hamparan sawah yang barusan ditanami.
Munding kecil menggelengkan kepalanya.
“Le, Bapak beri kamu nama Munding, supaya kamu sudah besar nanti bisa tumbuh kuat dan perkasa. Bisa membantu Bapak di sawah dan mencukupi kebutuhan keluarga.” kata Wage sambil melihat hamparan sawah yang ada di depannya.
Dan Munding pun tersenyum mendengar harapan Bapaknya.
Itulah kenapa Munding tidak pernah merasa malu dengan namanya. Sekalipun semua teman-teman sekelasnya di SD selalu memanggilnya dengan sebutan ‘kerbau’.
Munding masih merintih kesakitan di tengah-tengah tanah lapang. Sekujur tubuhnya terasa perih dan ngilu. Dia juga merasakan sedikit rasa asin di bibirnya. Itu artinya ada sedikit darah disana.
Tapi Munding tidak menangis sekalipun saat dikeroyok oleh anak-anak tadi. Munding merintih, Munding mengaduh tapi Munding tidak pernah menangis.
Ini juga bukan pertama kali Munding di keroyok sama gengnya si Joko. Munding juga tahu betul alasannya. Ini semua karena kelakukan bapaknya Joko sendiri. Sang kepala desa Karto Sentono.
Wage, Bapak Munding, meninggal saat Munding kelas 4 SD. Sejak itu, Sutinah, Ibu Munding berstatus janda. Menjadi janda di pedesaan bukanlah perkara mudah. Tanpa suami atau anak lelaki dewasa yang melindunginya, banyak lelaki hidung belang yang mempunyai pengaruh bakalan datang untuk memenuhi hasratnya. Termasuk Karto Sentono.
Di pedesaan dengan jumlah penduduk yang sedikit dan tidak terlalu ramai, pergerakan informasi masih mengandalkan jalur mulut ke mulut. Tapi bau anyir pasti tercium juga. Kelakuan Karto Sentono yang sering datang ke rumah jandanya Wage akhirnya menjadi rahasia umum di desa.
Joko sebagai anak kandung sang kepala desa tentu saja merasa marah. Tapi dia tidak akan pernah punya nyali untuk melampiaskan amarahnya ke bapaknya sendiri. Munding lah yang jadi sasarannya. Joko juga menyebarkan kabar bahwa Sutinah, si lonte lah, yang telah menggoda Karto Sentono.
Munding masih mengaduh dan merintih. Dia mencoba memutar tubuhnya pelan-pelan dan mencoba untuk tidur terlentang di tanah lapang.
“Ahhhhkkkkkkkk.” dan dia menjerit keras saat mencoba meluruskan punggungnya.
Rusuk belakangnya sakit di beberapa tempat. Wajar saja. Dia memang sengaja meringkuk seperti bayi saat menerima pukulan dan serangan dari gengnya si Joko. Akibatnya, bagian punggung belakang yang menerima langsung akibatnya.
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhkkkkkkkk.” teriak Munding.
“Hah hah hah hah hah hah hah.”
Munding terengah-engah menarik napas saat akhirnya dia berhasil meluruskan punggungnya dan tidur terlentang. Rasa sakit, nyeri dan linu berdenyut-denyut di seluruh tubuhnya. Bau amis kencing anak-anak sialan tadi juga tercium olehnya.
Munding tidur terlentang selama beberapa menit sebelum akhirnya mencoba untuk duduk. Dengan segenap tenaga dia berusaha bangkit dengan menggunakan tangan kanannya sebagai tumpuan.
Ctek
“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.”
Terdengar bunyi suara tulang tangan yang keseleo kemudian disusul oleh teriakan panjang. Munding kembali terjatuh ke tanah. Kali ini, rasa sakit di tempat lain di seluruh tubuhnya tertutupi oleh ngilu gara-gara pergelangan tangan kanannya yang keseleo.
“Assssuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.”
Munding pun memaki panjang dengan kata ‘asu’ yang artinya ‘anjing’, makian favorit di daerah Munding. Dia kembali terengah-engah setelah puas meluapkan segala amarahnya.
“Kena musibah kok malah maki-maki sendirian? Kamu marah sama siapa?”
Tiba-tiba terdengar suara lelaki di sebelah Munding. Dan Munding pun kaget. Ada seorang Bapak-bapak yang memakai peci hitam dan menggunakan sarung berdiri di tengah tanah lapang, di sebelahnya.
“Anak jaman sekarang, baru segini aja kok ya udah ngeluh nggak karuan.” kata bapak-bapak itu.
“Kamu bisa jalan sendiri?” tanyanya lagi.
Munding menggelengkan kepalanya pelan.
“Nduuukkkkk.” panggil bapak itu.
Tak lama kemudian sesosok gadis kecil seumuran Munding berlari ke arah Bapak itu. Bapak itu melepas sarung, peci dan baju kemejanya, kemudian dia memberikannya ke gadis kecil tadi. Dengan cuma menggunakan celana pendek dan kaos singlet. Bapak tadi mendekati Munding dan membopongnya.
Munding merintih kesakitan tapi si Bapak tidak memperdulikannya.
“Kamu itu habis jatuh ke mana sih? Kok bisa bau pesing sekali?” protes Bapak itu sambil berjalan meninggalkan tanah lapang di pojok desa tersebut.