Bab 6 Minggat dari Rumah
Bruakkkkkkkkk.
“Aduuhhhhhhh.”
Munding merintih sambil mencoba bangun dari lantai. Dia sedang duduk di kursinya ketika tiba-tiba dari arah samping kanan sebuah tendangan tepat mengenai samping badannya.
Munding seketika terlempar terjerambab ke arah yang berlawanan dan menabrak meja murid yang ada di sebelah kirinya. Munding berdiri dan melihat ke arah kawan sekelas yang barusan menendangnya.
Joko.
Joko tersenyum ke arah Munding sambil memberi aba-aba kepada kelima kawan dekatnya untuk mengelilingi Munding. Kelima kawan Joko kemudian berdiri mengelilingi Munding.
“Anak lonte, masih berani kamu datang sekolah hah?” hardik Joko.
Munding diam tanpa menjawab, dia hanya menatap Joko penuh sorot mata penuh kebencian. Matanya sama sekali tak beralih dari si Joko dan tidak memperhatikan lima orang lainnya.
Joko yang menerima tatapan mata Munding sebenarnya bergidik dalam hati. Belum pernah sekalipun dia melihat sorot mata penuh kebencian seperti milik Munding. Tapi melihat kelima kawannya mengelilingi Munding, Joko mencoba menenangkan dirinya.
Bukankah dia sudah melakukan hal ini selama dua tahun belakangan ini?
Dan setiap kali itu pula akan selalu diakhiri oleh Munding yang meringkuk di tanah sambil merintih kesakitan. Meskipun ini di sekolah, Joko tahu kalau kawan-kawan yang lain tidak akan ada yang mengadu kepada guru sekolah.
Sebagian dari kawan Munding yang berempati hanya menundukkan kepalanya, sebagian yang lain justru malah ikut menertawakannya. Munding sudah hapal akan hal itu. Dia sudah mengalaminya selama dua tahun.
Apakah selama dua tahun ini tidak ada guru yang tahu?
Omong kosong, tidak mungkin kejadian seperti ini bapak/ibu guru tidak mengetahui. Yang ada mereka pura-pura tidak tahu. Bukan hal yang susah bagi para guru tersebut untuk memilih antara Joko Sentono anak sang kepala desa dengan Munding anak Sutinah si Lonte.
Seorang anak berlari masuk dalam kelas sambil berteriak, “Bu Guru.”
Joko dan kelima cunguknya kembali ke tempat duduk mereka di barisan belakang. Bu Guru masuk ketika Munding masih merapikan bukunya yang tercecer di lantai yang terjatuh dari atas meja. Munding seolah-olah tidak sadar kalau Bu Guru sudah berdiri di depan kelas.
“Kamu ngapain Munding?” tanya Bu Ani.
Munding hanya diam saja sambil terus mengambili bukunya. Ibu nggak punya mata ya? Kata Munding dalam hati.
“Munding, kalau ditanya sama orang tua itu dijawab! Jangan diam saja,” hardik Bu Ani.
Munding yang sudah selesai memunguti bukunya kemudian duduk di mejanya dan memasukkannya ke dalam tasnya. Kemudian Munding melihat ke arah Bu Ani dengan tatapan sinis.
“Munding sedang memunguti buku Munding yang jatuh di lantai Bu Guru,” kata Munding dengan bahasa yang dibuat formal dan dengan nada yang sinis.
Bu Ani pun dengan kesal memutar badannya dan memulai pelajaran di kelas.
Sabar Munding, cuma tinggal beberapa bulan saja, batin Munding dalam hatinya.
Sepulang sekolah Munding berjalan pulang ke rumahnya. Kali ini gerombolan si Joko tidak membuat masalah dengannya. Biasanya itu berarti mereka pasti sudah ada janji untuk main Play Station bersama. Permainan yang Munding sama sekali belum pernah menyentuhnya. Seingat Munding hanya 3 anak yang punya PS di Sukorejo ini, Joko, Edi dan Candra.
Rumah Munding adalah rumah model pedesaan yang masih terbuat dari lantai plester semen tanpa keramik dan dinding papan kayu. Terdapat 4 tiang besar sebagai penyangga utama di tengah-tengah rumah dan beberapa tiang lebih kecil untuk penyangga bagian dinding.
Rumah terbagi menjadi tiga bagian terpisah dengan penyekat. Kamar tidur utama, kamar tidur anak dan sebuah ruang lebar yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga sekaligus ruang makan. Di bagian belakang rumah barulah ada tambahan sedikit untuk dapur dan kamar mandi.
Rumah ini adalah peninggalan turun temurun leluhur Wage. Saat menikah dengan Sutinah, Wage memang sudah menjadi yatim piatu. Wage tidak mempunyai saudara dan kedua orang tuanya telah meninggal. Praktis semua kekayaan yang berupa tanah dan rumah milik orang tua Wage menjadi milik Wage semuanya.
Dilihat dari luasnya sawah dan tanah yang dimiliki Wage, sebenarnya Wage tidak bisa dikategorikan sebagai petani miskin. Wage lebih cocok dianggap sebagai petani sederhana. Dia sudah terbiasa hidup sederhana sejak kecilnya, hasil didikan orang tuanya.
Jadi, Wage tidak memiliki mobil bukan karena dia tidak mampu membelinya tapi karena menurut Wage, dia tidak membutuhkan mobil. Pandangan serupa dimiliki Wage untuk banyak hal lainnya. Karena itulah Wage juga mengajari Munding untuk hidup sederhana sebagaimana orang tua Wage mengajari dia.
Kini, rumah dan sawah itu berada di tangan Sutinah.
Munding masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamarnya. Kamar yang dipakai berdua dengan Sri, kakak perempuannya yang sudah duduk di kelas 2 SMP.
Munding kemudian mengambil kantung plastik yang cukup besar dan kemudian dia memasukkan baju-bajunya kedalam kantong plastik itu.
Dia juga memasukkan buku-buku sekolahnya ke tas yang dia pakai untuk bersekolah, yang barusan dia pakai saat pulang sekolah.
Sri, melihat adiknya yang sudah dua hari tidak pulang dan tiba-tiba membereskan pakaiannya, menjadi panik. Dia berdiri dari kasurnya dan mendekati Munding.
“Munding, kamu ngapain Dek?” tanya Sri.
“Munding nggak mau tinggal disini lagi Mbak,” jawab Munding sambil tangannya terus bekerja.
Sri mulai menutupkan kedua tangannya ke mulut dan mulai menangis terisak-isak, “Kamu mau minggat Dek?” tanya Sri di sela-sela isak tangisnya.
Satu-satunya yang mungkin masih membuat Munding merasa kalau ini rumahnya cuma kakaknya. Tapi Munding tahu kalau Sutinah dekat dengan kakaknya, Sri. Jadi, Munding sama sekali tidak merasa bersalah meninggalkan dia.
Munding membawa sebuah kantong plastik yang berisi pakaiannya dan menyandang tas sekolahnya yang penuh dengan semua buku-bukunya dan berjalan keluar dari kamar.
“Kamu mau kemana?” tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar ketika Munding melangkahkan kaki dari kamarnya diiringi isak tangis Sri.
Munding berhenti sebentar di depan pintu kamarnya dan melihat ke arah Sutinah yang sekarang berdiri di ruang tamu. Rambutnya yang panjang di gelung keatas. Munding bisa melihat banyak bekas merah di lehernya yang tidak tertutup rambut.
“Ibu, Munding mau pamit. Mulai sekarang Munding nggak akan tinggal disini lagi,” kata Munding datar.
Sutinah tercengang mendengar kata-kata Munding. Sejak Wage meninggal, Munding tak pernah sekalipun ngomong ke Sutinah. Sutinah sudah mencoba bermacam-macam cara untuk membuat Munding bicara lagi, tapi semuanya tanpa hasil. Ini adalah kali pertama Sutinah mendengar suara Munding sejak kejadian dua tahun silam.
Setelah mengucapkan kalimat tadi, tanpa menunggu jawaban dari Sutinah, Munding membawa bawaannya dan berjalan ke arah pintu depan. Karena Sutinah berdiri di ruang tamu, tentu saja Munding harus melewati Sutinah. Sutinah memegang kedua tangan Munding dan menggoyang-goyangkannya dengan gembira saat Munding lewat di depannya.
“Munding, tadi Ibu denger kamu ngomong ke Ibu kan?” Sutinah yang masih setengah tak percaya menatap ke arah Munding dengan ekspresi senang.
“Tadi terakhir kali Munding punya seorang Ibu,” kata Munding pelan sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan Sutinah.
Sutinah tiba-tiba saja terdiam ketika mendengar kata-kata Munding barusan. Beberapa saat kemudian, emosi Sutinah meluap dan dia pun berteriak memaki-maki Munding berhasil melepaskan pegangan Sutinah dan terus berjalan ke pintu depan.
“Dasar anak kurang ajar, minggat sana! Kamu tu sama gobloknya sama Bapakmu, Si Wage itu, kalian sama-sama nggak akan pernah maju, sama-sama kolot,” teriak Sutinah penuh emosi.
Mendengar nama Bapaknya disebut-sebut oleh Sutinah, Munding memutar badannya dan menatap penuh benci ke arah Sutinah, “Kamu nggak pantas nyebut nama Bapakku pake mulutmu yang kotor itu, sudah berapa kontol laki-laki yang kau jilat pake mulutmu?”
Sutinah kaget mendengar kata-kata Munding. Dia sama sekali tidak menyangka kalau anak laki-lakinya yang baru kelas 6 SD bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu.
“Sutinah, kamu sudah kuanggap bukan ibuku lagi. Munding cuma punya Bapak, namanya Wage. Siapa saja yang dulu bikin Bapaknya Munding sakit hati, Munding bakal balas. Siapa saja yang ikut menjadi penyebab kematian Bapak, Munding juga akan balas,” kata Munding penuh kebencian.
Munding lalu memutar badan kecilnya dan menyeret bawaannya.
Sutinah terduduk lemas di kursi ruang tamu, untuk sesaat tadi, Sutinah merasakan ketakutan yang luar biasa. Sorot mata Munding saat menyampaikan ancaman terakhirnya sebelum pergi, membuat bulu kuduk Sutinah berdiri.
Dan entah kenapa, Sutinah tiba-tiba merasa kalau dia sudah membuat suatu kesalahan fatal, yang dia tidak tahu apa.