Meraih Kembali Money Bowl
“Bagaimana aku bisa mendapatkan uang kalau aku tak punya Money Bowl itu,” Kepala Moa terus berputar tapi Nenek tetap bersikukuh tak mengizinkan gadis itu membuat mangkuk ajaibnya.
“Kau pikirkan saja cara lain untuk bertahan hidup! Jangan pikirkan Money Bowl lagi!” tegas Nenek lalu menghilang.
Moa yang tak tau lagi harus berkata apa hanya bisa duduk termenung di depan meja makan. Kakinya sesekali menendang lantai berharap menemukan jalan keluar yang dia cari.
Sesekali matanya meneteskan butiran berlian penyesalan yang sudah terlalu terlambat saat ini.
“Andai aku tak mengajarkan ilmu itu pada Tuan Roy, semua ini tak mungkin terjadi,” bisiknya dengan kesal.
Kreek!
Pintu rumah Moa yang lapuk perlahan terbuka dan seberkas cahaya menghampiri Moa.
Bentuknya menyerupai seorang wanita yang dia kenal namun wajahnya begitu bercahaya hingga menyilaukan matanya.
“Siapa kau?” tanya Moa lirih lalu mencoba meraih sesosok cahaya itu.
“Kau lupa padaku?” Sosok itu mengeluarkan suara lembut yang tak asing ditelinga gadis lugu itu.
“Kau? Nenekku?” tebaknya dengan suara bergetar lalu berlutut menunggu jawaban.
“Benar, Moa. Ini Nenek. Nenek akan memenuhi janjiku di akhir hayatku!”
“Memangnya Nenek janji apa?”
“Aku akan membimbingmu keluar dari masalah hidupmu, Nak,”
Seketika air mata Moa yang sudah lama tersendat mengalir deras membasahi pipinya. Dia memang gadis yang beruntung. Selalu saja mendapatkan bantuan dari Semesta untuk keluar dari masalahnya.
“Aku harus bagaimana sekarang, Nek?” ucap Moa sambil terus menangis.
“Kau tak usah takut. Ayo kita ke reruntuhan rumah Tuan Roy!”
“Kenapa ke sana?”
“Sebenarnya Money Bowl milikmu masih ada di sana. Tertindih reruntuhan rumah namun masih di jaga oleh penunggunya,”
“Sungguh?!” Moa kembali bersemangat. “Kalau begitu, ayo kita kesana!” Baru saja Moa berdiri dari tempatnya tiba-tiba Nenek menggeleng tanda tak setuju.
“Kita harus menunggu malam! Jangan sekarang!”
“Kenapa?” Moa yang lugu tak tahu jika masih ada mata yang mengawasinya untuk mengambil mangkuk yang bisa membuatnya jadi kaya dalam sesaat.
“Kita harus hati-hati! Hanya itu pesan Semesta padaku,”
Melihat wajah Nenek yang begitu serius, Moa akhirnya menurut. Dia lalu melangkah ke arah jendela bagian belakang rumahnya yang di sana dia bisa melihat keadaan rumah Tuan Roy yang hancur karena badai.
Dia terus berharap bisa mengamati dengan seksama keadaan disana sebelum akhirnya Nenek memberinya izin untuk mengambil Money Bowl miliknya.
“Nanti kalau kau sudah mendapatkan lagi benda itu, aku harus janji pada Nenek tak akan memberitahukan keberadaannya pada siapapun, ya,” pinta Nenek sambil tersenyum.
“Iya, aku akan hati-hati sekarang. Tak ada orang yang boleh tau benda itu kecuali aku dan Ruth!”
“Ruth?” Nenek menggeleng. “Tidak juga, Ruth!” tegasnya.
“Kenapa?”
“Nak, kemarin kau percaya pada Tuan Roy tapi apa jadinya. Kau kini dikutuk jadi penyihir karena orang jahat itu,”
“Astaga!” Moa baru ingat jika dia mendapatkan hukuman itu dari Nenek Sihir yang memberikannya ilmu Money Bowl itu. “Kenapa aku lupa?”
“Nah! Kau sudah lupa lagi. Kau harus mulai mencatat apapun yang harus kau lakukan sekarang,” kekeh Nenek lalu menarik pipi Moa yang lembut. “Kau harus ingat, tak semua orang yang terlihat baik di depannya di dalamnya juga baik, Nak!”
“Iya, aku akan merahasiakan Money Bowl ku pada Ruth!” tegasnya. “Eh, memangnya apa yang terjadi kalau aku dikutuk jadi tukang sihir?”
“Kau akan sangat sensitif untuk banyak hal yang terjadi. Misalnya saat ada badai, bulan purnama, gerhana dan masih banyak lagi.”
Moa menunduk membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau selama hukumannya berlangsung. Melihat kesedihan di wajah cucunya Nenek kembali meraba lembut pipi gadis muda ini. “Tapi kau akan baik-baik saja, Moa. Tenang saja! Asal kau tak melakukan kesalahan seperti kemarin.
“Iya, Nek!” seru Moa lalu berdiri sambil menekuk kedua tangannya membentuk otot tangan yang sebenarnya tak ada. “Aku akan kuat melalui semua ini,”
“Bagus!”
Mereka berdua lalu berbincang lama menanti waktu yang tepat untuk Moa bergerak meraih kembali Money Bowl miliknya.
Setelah malam semakin gelap dan hanya bulan purnama di langit Nort Port barulah keduanya berjalan perlahan menuju rumah Tuan Roy yang runtuh beberapa hari yang lalu.
“Ayo!” ucap Nenek yang cahaya tubuhnya cukup untuk menyinari jalan Moa.
“Baik!” Moa melangkah begitu bersemangat hingga tiba di depan reruntuhan. “Sebelah mana?”
Nenek tak menjawab pertanyaan cucunya, dia hanya tersenyum berharap Moa bisa membaca keadaan terlebih dulu sebelum akhirnya kembali melangkah mendekati meja makan tempatnya meletakkan mangkuk ajaib itu.
“Kesana!” tunjuk Moa setelah perasaan hatinya sudah lebih tenang sekarang.
Krek!
Kakinya menginjak patahan kayu dan seketika jantungnya berdegup kencang. “Kenapa ini?”
“Ingat,” lirih Nenek mencoba membuat Moa sadar siapa dirinya sekarang.
“Ada yang salah?”
“Kau jawab sendiri,”
Moa lalu melihat sekeliling untuk memastikan tak ada orang di sana. Malam itu sangat gelap hingga tak bisa dibayangkan antara bayangan dan sosok yang mungkin mengintainya.
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya Moa lagi.
Nenek tak bergeming, dia hanya terus memperhatikan cucunya tanpa kata.
Tak mau membuat kesalahan, gadis polos itu lalu memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya menjawab sendiri akan keraguannya. “Baiklah,” ucap Moa lalu kembali melangkah menuju titik yang dia rasa adalah tempa Money Bowl itu kini berada.
Tepat!
Teriak Moa saat akhirnya dia perlahan melihat mangkuk sakti itu bercahaya diantara gelapnya malam. Tak mau membuang waktu, Moa segera meraihnya dan membawanya ke dekat Nenek berada.
Kresek!
Suara daun bergesekan membuat mata bola Moa berputar ke arah sebuah pohon cemara yang bayangannya begitu menakutkan. “Apa itu?” bisiknya tak bisa membedakan antara bayangan dan kenyataan.
“Ah!” Nenek menyadari sesosok bayangan mendekat lalu menyelimuti cucunya agar tak terlihat mata manusia.
“Itu,” lirih Moa saat apa yang ditakutkan neneknya benar-benar mendekat. “Dia! Itu dia!” tunjuk Moa yang mulai ketakutan.
“Kau lihat, kan? Temanmu itu bukan gadis baik seperti yang kau kira,” lirih Nenek yang terus menyikap cahaya di tubuhnya.
“Apa dia bisa melihat kita?”
“Tidak! Kau tenang saja, aku akan menjagamu agar dia tak menyakitimu,”
“Ruth! Kenapa dia jadi begini?”
“Mana dia?” gerutu Ruth yang padahal hanya berjarak beberapa jengkal saja dari selubung yang menutupi tubuh Moa. “Sial! Aku terlambat! Padahal kalau aku datang lebih awal sedikit aku pasti sudah mendapatkan mangkuk ajaib itu!”
“Benar, dia datang untuk mangkuk ini!” bisik Moa yang suaranya menyentuh telinga Ruth.
“Eh! Itu dia! Aku yakin di sini. Suaranya jelas sekali!” Ruth Memutar badannya lalu melihat sekeliling berharap bisa menemukan temannya itu. “Moa. Ini aku! Aku mau menyelamatkanmu, Moa!”
“Menyelamatkan aku?” tanya Moa yang mulai bingung dengan maksud hati Ruth.
“Bohong!” tegas Nenek yang tau cucunya mudah terpedaya.
“Tapi, Nek!”
“Kalau dia orang baik, dia tak akan mungkin berkata kasar seperti tadi, Moa. Sadarlah!”
“Keluarlah, Moa!” seru Ruth dan kali ini Moa semakin mempercayai perkataan temannya itu. “Ayo kita pulang. Kau janji akan menamaniku, kan?”
“Nek, dengar itu. Kami sama-sama yatim piatu, jadi kami,”
Belum selesai Moa menyampaikan permintaannya pada sang Nenek, tiba-tiba Ruth mengeluarkan korek api dan sebotol bensin dari jaketnya.
“Hah, belum tentu juga dia sudah dapat mangkok itu. Kau begitu kubakar saja rumah ini! Biar dia mati bersamanya!”
“Apa?” Mata Moa membola mendengar apa yang baru saja dia dengar. “Dia berharap akan membakarku?”