Kota Luluh Lantah
"Aduh!" teriak Moa yang seketika tubuhnya terkulai lemas.
"Moa!" Ruth meraih tubuh temannya agar tak terjerembab ke lantai. "Jangan buru-buru! Kau baru siuman,"
"Kenapa kakiku tak bertenaga?"
"Astaga! Kau ini!" Ruth lalu menggendong tubuh lemah Moa kembali ke atas tempat tidur lalu menyelimutinya hingga ke dada. "Kau demam terus, tubuhmu terus menggigil. Kau harus sadar kalau sekarang kau belum pulih!"
"Tapi aku,"
"Cukup, Moa. Kau harus kembali berbaring agar tubuhmu punya waktu yang cukup untuk mengumpulkan tenagamu,"
Moa terdiam, dia sadar jika tubuhnya tak boleh lagi dipaksa untuk bergerak. Matanya akhirnya menutup sesaat hingga akhirnya tenaga dari ubun-ubunnya mulai memenuhi sela-sela tubuhnya yang mungil.
Lama dia terdiam di atas tempat tidur sampai akhirnya Ruth kembali masuk ke dalam kamar tidurnya dengan semangkuk sup hangat di atas nampan.
"Kau sudah bangun?" tanya Ruth lembut. "Ayo makan,"
"Apa kabar kota selama aku terlelap?"
"Moa, tak usah kau pikirkan."
"Apa yang terjadi?" tanya Moana sambil mengejar wajah Ruth yang selalu mengelak dari tatapannya.
Ruth tertunduk sesaat lalu meletakkan nampak ke atas pangkuan temannya. "Buruk!" jawabnya singkat. "Makan saja, lah. Tak usah kau pikirkan!"
"Apa lagi yang buruk selain kepergian Tuan Roy dan keluarganya?" ucap Moa memelas. "Katakan, Ruth!"
"Kota jadi lumpuh karena badai kapan hari. Tak cuma itu, karena kejadian mengerikan itu, beberapa orang memilih untuk pergi meninggalkan kota!" terang Ruth dengan tatanan bahasa yang sengaja dia atur agar tak menjadi beban pikiran Moana.
"Seburuk itu?"
"Benar! Kita masih beruntung bisa selamat. Jadi sudahlah, tak usah kau pikirkan soal kota, yang penting kita masih hidup!"
"Syukurlah aku selamat," bisik Moana sambil meraih sendok yang ada di samping mangkuk yang dibawa Ruth.
"Bagus! Kita memang harus berpositif thinking agar bisa tetap hidup dengan baik. Sekarang makanlah dan kumpulkan energimu!"
Moa menjawab perkataan temannya itu dengan anggukan lalu tersenyum lebar sebelum akhirnya memulai makan semangkuk sup yang rasanya sangat enak.
Ruth memang terkenal sangat mahir memasak mengingat dia bekerja di sebuah rumah makan di kota. Gadis ini juga sangat mahir mem-plating makanan sehingga begitu indah saat disajikan.
Kenyang dengan makanan yang dibawakan Ruth, mata Moa perlahan kembali mengantuk. Ruth yang tau temannya masih terlalu lemah untuk diajak berbincang akhirnya kembali ke dapur dengan mangkok yang sudah kosong. "Tidurlah," lirihnya sambil melangkah meninggalkan Moa yang belum tahu betul keadaan kota saat ini.
Moana kembali terlelap dan tak ada mimpi apapun yang didapatkannya hingga dia masih mengira jika apa yang dikatakan temannya tak benar-benar buruk. Dia pun kembali membuka matanya keesokan harinya dan langsung bangkit dari tempat tidur karena ingin menikmati matahari yang sebentar lagi akan terbit.
"Hah!" Moa merentangkan tangannya lalu membuka tirai biru yang menutupi jendela kamar yang mengarah ke kota. "Astaga!" seru Moa saat sadar jika kota tempatnya tinggal selama ini hancur lebur. "Ruth!" panggilnya lalu membalikkan badan menuju ke pintu.
"Moa, ada apa?" tanya Ruth yang masih mengucek matanya yang mengantuk dari balik pintu kamarnya yang terbuka setengah.
"Apa kota seburuk itu?" tunjuk Moa pada jendela kamarnya.
"Iya, sudahlah! Kau lupa apa yang aku katakan tadi?"
"Tapi,"
"Sudah, tutup tirai itu kalau kau hanya bisa bersedih karenanya! Kau harus ingat. Yang kita butuhkan saat ini adalah semangat. Bukan pikiran buruk soal kondisi kota!" tegas Ruth yang berjalan cepat masuk ke kamar Moana kemudian menutup tirai kencang-kencang.
"Kenapa kau terlihat marah!"
"Kau selalu saja memikirkan apa yang belum terjadi dalam hidupmu. Sudah! Jangan bebani hidupmu!" teriak Ruth dengan penuh amarah.
"Maaf! Aku tak berpikir buruk. Aku hanya kaget."
"Mmmm, sudah! sekarang bersiaplah untuk ikut denganku ke rumah Tuan Roy tempatmu tinggal kemarin. Ada yang harus kita ambil,"
Moa tak menjawab, dia hanya bergegas menutup pintu kamarnya lalu bersiap untuk mengikuti langkah Ruth yang sepuluh menit kemudian sudah keluar dari kamarnya dengan wajah yang sangat serius.
Selama keluar dari rumahnya hingga tiba di rumah tempat Moa tinggal sementara, dia tak berkata-kata. Dia hanya terus melangkah dan tiba di rumah berjarak 500 meter dari rumahnya.
"Astaga rumahnya!" tunjuk Moana yang menyadari rumah Tuan Roy itu luluh lantah karena badai.
"Ah! Sial!" teriak Ruth lalu membalikkan badannya ke arah rumahnya.
"Apa yang mau kau ambil?"
Ruth yang awalnya berwajah marah segera menyembunyikan raut wajahnya itu dengan senyuman yang lebar. "Tidak! Aku pikir kita bisa ambil beberapa harta Tuan Roy untuk hidup kita beberapa hari yang akan datang,"
"Harta? Tak ada apa-apa di dalam sana, Ruth!" jawab Moana lugu. "Hanya ada sebuah sofa dan tempat tidur. Bahkan...," Moa terdiam karena baru menyadari jika Money Bowlnya tertinggal di antara reruntuhan rumah.
"Bahkan apa?" Ruth melirik ke arah temannya itu. "Kau mau bicara apa?"
Mata Moa memejam membayangkan hidupnya yang baru saja membaik karena power of Money Bowl akan kembali jadi rusak karena badai. "Tak apa.
Aku sudah biasa hidup serba kekurangan. Aku masih punya rumah yang meski buruk aku harap dia masih berdiri setelah badai kemarin,"
"Iya, rumahmu justru kokoh berdiri. Apa kau mau kembali saja ke rumah itu?"
"Aku rasa itu lebih baik!" ucap Moa sambil menghela nafas. "Terima kasih kau mau merawatku seminggu ini, Ruth!"
"Tak usah buru-buru pulang. Kau kan tau aku juga tinggal sebatang kara di rumah itu!"
Moa menggaruk pipinya. Seketika dia jadi ingin pulang saja karena akan sulit baginya membuat kembali Money Bowl jika dia tetap tinggal di rumah Ruth meski temannya itu juga membutuhkannya untuk menemaninya.
"Tidak!" tegas Moa dengan senyum yang kembali mengembang. "Aku rasa aku kembali saja ke rumahku. Di sana!" tunjuknya.
"Mmm, baiklah! Tapi jika kau ada waktu atau kau sedang bosan. Datanglah kembali ke rumahku sekedar menyapaku!"
"Iya, aku akan main ke rumahmu kapan-kapan. Tapi boleh ya, malam ini aku tidur di rumahku."
"Kau ada makanan?"
"Aku sudah biasa tak makan berhari-hari, Ruth! Tenang saja!"
"Baiklah! Kalau begitu, aku harus segera pulang, sepertinya angin mulai bertiup kencang dan aku tak mau jadi sakit karenanya." Ruth lalu berpamitan dengan Moa kemudian bergegas pulang sebelum badai susulan tiba.
Melihat temannya buru-buru, Moa pun berjalan menuju rumahnya. Memang rumah reot itu berada di balik pohon besar dan mungkin karena itulah rumah ini masih kokoh berdiri.
Kreek!
Moa membuka pintu rumahnya dan melangkah menuju meja makannya. "Aku harus membuat kembali Money Bowl ku!" ucapnya penuh semangat.
"Hey!" teriak Nenek yang tiba-tiba menampakkan dirinya.
"Nenek, kau buat aku kaget saja,"
"Mau apa kau?"
"Mau buat Money Bowl, Nek. Aku mohon, kau butuh ini di saat kota luluh lantah!"
"Tidak! Tak akan aku biarkan kau membuat benda mistis ini saat tugasmu belum selesai!"
"Nek, aku mohon!"
"Diam!" teriak Nenek membuat Moa tak bisa berkata-kata.