Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Keras Kepala.

"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Ansley kepada Clare.

"Aku mau ke kantin, perutku lapar."

Ansley tersenyum lagi. "Ini aku bawakan makanan dan minuman untukmu," ia menunjukan sebuah kantong berisi paper bag dan minuman cup rasa cokelat, "Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, makanan ini bukan aku yang membelinya."

Clare terkejut. "Kalau bukan kau lalu siapa?"

"Ketua," jawab Ansley sambil tersenyum lebar, "Dia menemuiku tadi dan menyuruhku untuk memberikan ini padamu. Sepertinya dia menyukaimu, Clare."

Clare menatap ragu. "Dari mana dia tahu kau mengenaliku?"

"Aku yang mengatakannya. Sebenarnya dia ingin memberikan ini secara langsung padamu, tapi takut kau menolaknya," ia memberikan bungkusan itu kepada Clare, "Makanlah. Kau sudah lapar, kan?"

"Tidak, aku tidak mau."

Ansley terkejut. "Kenapa?"

"Jika aku menerima makanan ini, itu artinya aku memberikan lampu hijau kepadanya. Aku tidak mau memberikannya harapan, Ansley. Aku tidak mau menerima pria manapun, baik padanya maupun pria lain di kampus ini."

"Clare," rengek Ansley, "Ini hanya bentuk terima kasih karena kau mau menjalani hukumannya. Terimalah."

"Kalau begitu kenapa kau bisa berpikir dia menyukaiku?"

Ansley tersenyum. "Aku sudah mengenalnya, Clare. Kami bersahabat dan aku sangat tahu Reagan seperti apa. Ini pertama kalinya dia memberikan penghargaan bagi mahasiswi baru di kampus ini. Jadi kumohon terima dan makanlah, kalau tidak dia akan marah padaku."

"Tidak, Ansley. Sebaiknya kau saja yang makan dan bilang bahwa, aku sudah memakannya."

Gadis itu tertawa. "Kau gila, ya. Dia itu punya banyak mata-mata di sini. Kumohon, Clare. Sekali saja, aku janji. Berikut kalau ada lagi yang akan dia berikan dan itu menyangkut denganmu, aku akan langsung menolaknya."

Clare diam cukup lama. "Baiklah. Jika saja kau bukan temanku, aku tidak akan mau menerima ini."

Ansley tersenyum lebar. "Sungguh?"

"Iya."

"Kalau begitu ayo, aku akan menemanimu makan siang."

Mereka pun meninggalkan toilet dan mencari tempat yang cocok untuk makan.

Karena di kampus itu ada taman yang disediakan untuk mereka bersantai, Ansley mengajak Clare ke sana dan mereka sama-sama menikmati makan siang.

"Bisa aku tahu kenapa kau tidak mau memberi harapan padanya? Dia itu anak paling populer di kampus ini, Clare. Selain tampan, dia juga sangat pintar."

Clare hanya sibuk mengunyah. Aktivitas tadi pagi membuat perutnya kosong. Dengan lahap ia menghabiskan dua burger yang diberikan Ansley tadi.

Setelah menelan sisa makanan di mulut dan menghabiskan minumannya, ia membersihkan mulut lalu menatap temannya.

"Aku sudah dijodohkan."

Zet!

Gadis itu terkejut. "Kau sudah dijodohkan?"

"Benar, itu sebabnya aku tidak mau memberi harapan pada pria lain. Aku akui Reagan sangat tampan. Perempuan mana yang tidak akan jatuh cinta melihat ketampanannya. Aku minta maaf padamu, aku tidak bisa menerimanya, Ansley."

"Kau tidak tertarik padanya?"

"Jujur ada meskipun sedikit, tapi aku tidak bisa."

Ansley cukup syok mendengar perkataan Clare. Karena tahu gadis itu sangat keras kepala dan tidak akan menang melawannya, ia tidak akan memaksakan sahabatnya itu untuk membalas perasaan Reagan.

"Pasti dia akan kecewa," katanya pelan.

Clare hanya tersenyum dan melanjutkan makannya.

***

Di sebuah apartemen mewah dan mahal, sosok Reagan sedang berbaring di kamar dengan ekspresi bahagia. Bayang-bayang wajah cantik Clare kini tampak dalam benaknya.

"Dia menerima burger dariku, apa itu artinya dia menerima cintaku?"

Drtt... Drtt..

Bunyi getaran ponsel membuat Reagan terkejut. Dengan cepat ia menoleh dan menatap benda yang ada di sampingnya. Dilihatnya nama sang ayah sebagai pemanggil.

"Halo, Dad?"

"Kau sibuk?"

Reagan bangkit dari ranjang lalu berjalan menuju balkon.

"Tidak. Ada apa, Dad?"

"Kau masih ingatkan perempuan yang daddy ceritakan padamu?"

Ekspresi Reagan berubah malas.

"Iya. Perempuan yang daddy jodohkan denganku, kan?"

Terdengar keras tawa sang ayah dari balik telepon.

"Bagus kalau kau masih ingat. Nanti kalau ada kesempatan, daddy akan mengatur jadwal untuk pertemuan kalian."

"Dad, bisakah kau peduli sedikit dengan perasaanku? Apa dulu daddy dan mommy menikah karena dijodohkan?"

"Jangan membantah, Reagan. Ini semua demi masa depanmu. Kau lupa kalau kau sudah menyutujui perjodohan ini, hah? Daddy harap kau tidak akan membuat malu begitu pertemuan itu berlangsung."

Tut! Tut!

Sang ayah memutuskan panggilan dan hal itu membuat Reagan kesal. Ia mengendus kemudian membanting ponselnya hingga pecah.

Brak!

"Kenapa orang tua selalu egois, ya? Kenapa mereka selalu mengatakan semua demi masa depanku, padahal mereka tidak pernah memikirkan perasaanku."

Reagan kembali ke atas ranjang.

"Aku tidak mau menikah dengan gadis itu. Aku tidak mau menikah dengannya, aku hanya ingin menikah dengan Agatha."

Tanpa berpikir panjang, Reagan akhirnya menyesal karena ponselnya pecah. Ia ingin mengeluh kepada sang ibu dan kakak perempuannya. Namun, tidak ada lagi alat komunikasi untuk menyambungkan mereka.

Merasa uang tabungannya cukup, ia segera beranjak dan keluar dari kamar.

Brak!

Reagan membanting pintu dan meninggalkan apartemen.

Sang supir yang selalu standbye pun segera mengejarnya.

"Kita ke toko celular, aku ingin membeli ponsel," titah Reagan begitu masuk ke dalam lift.

Sang supir sekaligus pengawalnya pun segera menunduk paham. Begitu pintu lift terbuka, mereka sedikit berlari saat menuju ke parkiran.

Sang supir segera menyalakan mesin mobil dan membawa Reagan menuju tempat tujuannya.

"Aku harus minta tolong mommy atau kak Milly. Aku tidak mau menikah dengan gadis pilihan daddy."

Mereka pun tiba di pusat perbelanjaan di pusat kota. Karena tujuannya ke sana hanya untuk mengganti ponselnya yang rusak, Reagan segera masuk dan mencari benda yang lebih bagus dari sebelumnya.

Tanpa banyak pilih Reagan langsung menyebutkan tipe dan warna yang ia sukai kepada penjaga toko.

"Aku mau yang ini."

"Baik, ada lagi?"

"Tidak, itu saja."

"Totalnya seribu dolar."

Dengan cepat Reagan mengeluarkan dompet dari saku celana jins dan memberikan black card-nya kepada sang petugas.

Si wanita yang merupakan petugas di bagian kasir itu pun segera meraih black card dari tangan Reagan dan menggeseknya.

Zet!

"Maaf Tuan, kartunya tidak bisa digunakan."

Mata Reagan melotot. "Apa? Kenapa bisa? Saldo di situ masih ada puluhan ribu dolar, Nona. Dicoba lagi."

Wanita itu tak ingin membantah. Ia kembali menggesek kartu itu ke mesin yang sudah disediakan dan hasilnya masih sama.

"Maaf, tapi sudah dua kali hasilnya masih sama. Sepertinya kartu Anda tidak bisa digunakan, Tuan."

"Tidak bisa digunakan? Kau pasti salah, tadi pagi kartu itu masih bisa digunakan."

"Maaf Tuan, tapi itulah yang terjadi. Kartu Anda sudah tidak bisa digunakan."

Dengan emosi meluap-luap Reagan menatap sang supir.

"Hubungi daddy, pasti daddy yang melakukannya."

Sang supir menurut. Dengan cepat ia meraih benda dari saku jas kemudian menghubungi sang atasan.

"Halo, Bos?"

"Ada apa, Willy?"

Pria itu melirik Reagan. "Tuan muda ingin bicara, Bos."

Reagan segera merampas ponselnya dengan kasar.

"Dad! Kenapa kau memblokir kartu-ku? Aku sekarang ada di toko dan akan melakukan transaksi. Kartuku tidak bisa digunakan. Kau membuatku malu, Dad."

"Oh, ternyata kau punya malu? Baguslah kalau begitu."

"Dad, kumohon__"

"Coba seandainya kau di posisi daddy," sergah sang ayah dari balik telepon, "Kau sudah menjodohkan anakmu dengan anak temannya, tapi anakmu tidak mau. Apa kau tidak merasa malu?"

Reagan hanya diam.

"Kalau memang kau tidak mau dijodohkan daddy tidak akan memaksa lagi, tapi jangan harap kau bisa mendapatkan fasilitasi dari daddy."

"Dad!"

"Kenapa? Mau menghancurkan apalagi kau di tempat itu? Daddy tidak akan menggantinya kalau kau merusak ponsel Willy."

Reagan tampak berpikir. Setelah apa yang ia putuskan akhirnya ia menjawab perkataan sang ayah.

"Baiklah. Jika hanya dengan perjodohan itu Daddy bisa bahagia, aku akan menurut. Aku mau dijodohkan, tapi belum sekarang. Aku ingin bertemu dengannya tepat setelah kuliahku selesai."

"Kau yakin tidak ingin bertemu dengannya sekarang?"

Reagan tersenyum licik. "Aku ingin bertemu dengannya, tapi setelah aku menjabat menjadi CEO. Bukankah kata Daddy aku harus mapan dulu baru bisa menikah?"

"Kau sudah dijodohkan. Bertemu atau tidak pun kau tetap akan menjadi CEO, bukan?"

"Tapi aku ingin dia mengenal Reagan Harvest saat diriku sudah mapan, Dad."

"Baiklah, semua terserahmu. Asalkan tidak akan ada lagi perbantahan atau penolakan ketika pertemuan kalian itu berlangsung."

"Daddy tenang saja, itu tidak akan terjadi. Aku akan hadir di pertemuan itu."

"Bagus. Mana Willy, daddy ingin bicara."

Reagan memberikan ponselnya. "Daddy mau bicara."

"Halo, Bos?"

"Aku akan mentransfer uang di rekeningmu untuk Reagan. Berapa total yang harus dia bayar?"

"Seribu dolar, Bos."

"Baik. Aku akan segera mengirimnya dan bilang padanya, besok aku akan memproses black card itu agar bisa segera digunakan."

"Baik, Bos."

Tut! Tut!

Willy menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Tuan besar akan mengirim uang untuk Anda, Tuan. Besok tuan besar akan memperbaiki kartu Anda."

Reagan tersenyum licik. "Kita lihat saja, Dad. Siapa di antara kita yang lebih pintar."

Bersambung___

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel