Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Harta Terbungkus Kain Kafan

Kokok ayam jantan bersahutan di kejauhan, terdengar samar di telinga Zakiya, namun mampu untuk membangunkan dari tidurnya, bukan tidur, namun pingsan, lebih tepatnya.

Dia mengucek matanya beberapa kali lalu mengerjap beberapa kali, mencoba membiasakan pandangannya dalam cahaya samar dalam kamar. Cahaya yang berasal dari matahari yang menembus melalui celah dinding bambu rumahnya.

Ketika dia menggerakkan tubuhnya, tulangnya terasa seperti remuk, bahkan Zakiya merasa sedikit kesulitan saat hendak bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya terasa berat dan sakit sekali setiap hendak digerakkan.

Perlahan, Zakiya menyibak kain yang menyelumuti tubuhnya, namun buru-buru menutupkan kembali ke tubuhnya, ketika menyadari kalau dirinya dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, selain kain yang dia pakai sebagai selimut. Ada rasa malu ketika melihat tubuhnya dalam keadaan tanpa busana.

Zakiya termenung, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, dan seketika, matanya terbelalak lebar dengan mulut sedikit ternganga.

"Mas Gahisan ...." panggil Zakiya lirih.

Buru-buru dia mengenakan kembali bajunya dan bergegas menuju dapur, berniat mencari Gahisan, suaminya. Dia berpikir, mungkin Gahisan sedang di dapur atau menimba air di sumur, seperti yang selama ini dia lakukan.

Saat Zakiya sudah sampai di dapur, tidak ditemukannya Gahisan di sana, lalu dia bergegas menuju ke kamar mandi, namun di sana juga tidak ada Gahisan.

"Mas ... Mas, kamu di mana?" panggil Zakiya beberapa kali sambil matanya celingukan mencari keberadaan Gahisan.

Namun tidak ada sahutan atau tanda-tanda keberadaan Gahisan.

Zakiya duduk di bangku yang ada di dapur sambil bertopang dagu. Kembali mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Tiba-tiba, hidungnya mencium sesuatu, aroma yang membuat perutnya mendadak menjadi lapar. Aroma makanan yang menggugah rasa lapar itu seolah berada dekat sekali dengannya. Lalu, dibukanya tudung saji yang ada di atas meja.

"Makanan? Siapa yang memasak semua ini, apakah Mas Gahisan?" Zakiya bergumam.

Zakiya merasa heran, karena menemukan banyak sekali makanan yang sudah tersaji di atas meja, dan hal itu tidak biasa dilakukan oleh Gahisan. Karena, dia tidak pandai memasak. Perlahan, Zakiya mengulurkan tangannya mengambil sepotong ikan goreng yang terlihat begitu lezat serta menggugah selera dan mencicipinya.

"Enak sekali ...." gumam Zakiya, hingga tanpa terasa, sepotong ikan sudah pindah ke dalam perutnya. Lalu disusul oleh makanan lain yang ada di atas meja.

Setelah merasa kenyang, Zakiya melangkahkan kakinya menuju pintu belakang, dia bermaksud untuk mencari Gahisan di pekarangan yang berada di belakang rumahnya. Namun, terlihat pintu dapur masih terkunci dari dalam.

"Tidak mungkin Mas Gahisan keluar, pintunya masih terkunci dari dalam." Zakiya berbicara pada dirinya sendiri.

Lalu, dia kembali mencari Gahisan di kamar mandi, matanya tertuju pada gentong air yang sudah terisi penuh.

"Mas Gahisan sudah mengisinya sampai penuh, pasti dia sudah berangkat bekerja." Pikir Zakiya.

Zakiya mengurungkan untuk mencari suaminya, karena, kebiasaan Gahisan, selalu mengisi semua tempat air, sebelum dia berangkat bekerja. Zakiya tersenyum, dia merasa bahagia, terlebih ketika mengingat kembali bagaimana Gahisan semalam, yang membuatnya tidak berdaya. Pipi Zakiya merona merah, seperti gadis remaja yang sedang dimabuk cinta. Ditepuk nya beberapa kali kedua pipinya, sebelum dia beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

***

Zakiya membawa beberapa potong kain basah ke belakang rumah untuk dijemur. Rambutnya masih basah, pertanda dia habis mandi keramas. Walau rasa sakit dan perih dirasakan sekujur tubuhnya ketika air dingin mengguyur tubuhnya tadi, namun hal itu seolah terobati dengan rasa bahagia akan kedatangan Gahisan. Senyum selalu mengembang dari kedua sudut bibir, menandakan kalau hatinya sedang berbahagia dan berbunga-bunga.

"Nduk ... dari tadi kok, senyum-senyum sendiri, ga ilok," kata mbok Sur.

Zakiya menghentikan pekerjaannya saat melihat mbok Sur, tetangganya yang sekaligus orang yang dianggap budhe oleh Gahisan itu datang.

"Simbok, ngagetin saja," jawab Zakiya sambil tersenyum. "Ada apa, Mbok?" lanjut Zakiya, menanyakan maksud dari kedatangan mbok Sur ke rumahnya pagi-pagi sekali.

"Mau ngambil mangkuk yang kemarin," jawab mbok Sur.

Mata wanita tua itu masih memperhatikan Zakiya dengan segala tingkah polahnya.

Seolah ada yang aneh dengan Zakiya pagi ini.

"Sebentar, ya, Mbok. Nanggung, tinggal satu kok," ujar Zakiya sambil membentangkan kain di atas jemuran.

"Kamu, kok, pagi-pagi sudah mandi keramas?" selidik mbok Sur.

"Mbok Sur, kayak ga ngerti saja. Kan ada Mas Gahisan, wajar aku selalu mandi keramas," jawab Zakiya.

Zakiya tersipu malu saat menjawab pertanyaan mbok Sur, sementara mbok Sur sendiri, mengernyitkan dahi, kedua alisnya bertaut, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Baru ditinggal sehari, sudah oleng," gumam mbok Sur, kepalanya menggeleng beberapa kali sambil terus menatap Zakiya dengan tatapan aneh dan sesekali mulutnya berdecak.

"Ini, Mbok, mangkuknya. Oh, iya, di dalamnya, ada beberapa potong ikan goreng, buat lauk makan Mbok." Kata Zakiya.

Zakiya mengulurkan mangkuk yang ditutup dengan daun pisang. Mbok Sur membuka tutup mangkuk, lalu kembali mengalihkan pandanganya kembali pada Zakiya.

Dan kembali mbok Sur menggelengkan kepala, lalu beranjak pergi.

Namun dia kembali berhenti, lalu menoleh ke arah Zakiya sambil berkata, "Nduk, kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk ke rumah Mbok, jangan dipendam sendirian," kata mbok Sur mengingatkan.

"Iya, Mbok. Tapi saat ini, kan ada Mas Gahisan, jadi, Mbok ga usah khawatir." Zakiya menjawab sambil tersenyum lebar.

Mbok Sur menggeleng dan kembali berdecak, lalu meninggalkan pekarangan belakang rumah Zakiya.

Setelah mbok Sur pulang, Zakiya buru-buru masuk ke dalam rumah, dia lupa, kalau belum menyapu dan merapikan tempat tidurnya tadi pagi, karena sibuk mencari keberadaan suaminya, Gahisan.

***

Dengan cekatan, Zakiya membersihkan seluruh bagian rumahnya, mengelap perabotan yang tidak seberapa banyak. Namun baginya, tetap harus bersih selama dia berada di rumah.

Selesai menyapu dan mengelap, Zakiya masuk ke dalam kamar, bermaksud untuk merapikan tempat tidurnya.

Saat dirinya sedang sibuk mengganti seprei, matanya menangkap sesuatu yang berada di sudut tempat tidur, tepatnya, berada di bawah bantalnya.

Dengan dada yang sedikit berdebar-debar, Zakiya mengeluarkan benda tersebut. Sebuah benda yang terbungkus rapi dengan kain berwarna putih.

Zakiya melemparkan bungkusan tersebut, ketika menyadari kalau yang sedang dipegangnya adalah kain berwarna putih agak kumal, mirip sekali dengan kain kafan yang sudah terpakai dan biasa digunakan sebagai kafan. Kain pembungkus mayat.

Namun, saat benda yang dilemparkan menyentuh lantai tanah, bungkusan itu terbuka.

Mata Zakiya makin terbelalak, ketika melihat apa yang ada di dalam bungkusan kain tersebut.

Beberapa keping koin emas dan perhiasan yang juga terbuat dari emas, juga uang dengan jumlah yang sangat banyak. Uang dan perhiasan, yang baru pertama kali dilihat oleh Zakiya, seumur hidupnya.

"Ini ... milik siapa? A--apakah milik Mas Gahisan, atau ....?"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel