7. Bau Aneh
"Ini ... milik siapa? Apakah milik Mas Gahisan?" gumam Zakiya.
Tangannya bergetar memegang bungkusan putih yang tertinggal di kamarnya.
Lalu, dia kembali membungkus kain putih kusam dan meletakkan di atas meja.
"Aku akan menanyakan langsung pada Mas Gahisan, nanti saat dia pulang," ucapnya lagi.
Zakiya kembali melanjutkan aktifitasnya, membersihkan kamar dan tentu saja mengganti sprei.
Beberapa kali hidung Zakiya kembang kempis, saat indera penciumannya kembali mencium aroma yang kurang sedap.
Di ambilnya sarung bantal, milik Gahisan, lalu mengendusnya.
Hueek ....
Zakiya melempar bantal yang sedang dia pegang.
"Bau sekali, padahal sarung bantalnya baru diganti belum lama ini. Aku harus membuatkan jamu untuk Mas Gahisan, agar bau badannya hilang," ujar Zakiya.
Matanya tertuju pada kemeja milik Gahisan yang tergantung di dinding. Diraihnya, lalu mencium baju tersebut.
"Kok ... baunya beda, ya? Yang ini aroma khas Mas Gahisan, sementara ini?"
Zakiya menggelengkan kepala beberapa kali, lalu beranjak keluar kamar sambil membawa seprei yang baru saja dia ganti dan bermaksud hendak merendamnya.
Seprei sudah direndam di dalam bak cucian, Zakiya hendak mengisi perutnya yang sudah keroncongan, dia teringat, kalau di atas meja, sudah terhidang makanan yang lezat ketika dia bangun tidur tadi.
Namun, baru saja Zakiya meletakkan bobot tubuhnya di atas bangku bambu, dia teringat kalau hendak membuatkan jamu untuk Gahisan.
Zakiya kembali berdiri, dan beranjak menuju tempat di mana, dia menyimpan beberapa bumbu dapur.
"Kunyit, ada, tapi tinggal sedikit. Asam jawa, nanti bisa minta di rumah mbok Sur, terus ... gula aren. Semua, tinggal nambahin sedikit kunyit. Kayaknya, di sebelah rumah, ada rimpang kunyit."
Zakiya berbicara seorang diri, lalu dia mengambil pisau dapur dan berjalan menuju pekarangan di samping rumah.
Tampak di depannya, tumbuh subur tanaman herbal, salah satunya kunyit.
Zakiya berjongkok dan mulai mengambil kunyit yang dia inginkan.
Dari seberang pekarangan, mbok Sur, wanita setengah tua, yang biasa dipanggil Budhe Surti oleh Gahisan, namun Zakiya lebih senang memanggilnya dengan sebutan Mbok Sur, memperhatikan Zakiya dari ambang pintu samping, dia ingin menghampiri Zakiya dan bermaksud untuk membantunya mengambil rimpang kunyit, namun dia mengurungkan niat, saat dilihatnya, ada pak Joko, yang berjalan sambil meletakkan kedua tangannya ke belakang punggung.
Pak Joko adalah tuan tanah, yang tinggal di ujung desa yang rumahnya paling besar di kampung mereka. Pak Joko, juga sering menyuruh Gahisan untuk bekerja di ladangnya.
***
"Pak Joko, kok tumben, datang ke sini?" tanya Zakiya yang menyadari kedatangan pak Joko.
"Iya ... aku kebetulan lewat sini, boleh, kan, kalau aku mampir? Oh, iya, aku dengar, suamimu pergi ke Malaysia, jadi TKI?" selidik pak Joko.
"Tidak, kok, Pak, enggak jadi," jawab Zakiya polos.
"Oh, benarkah? Tapi tadi aku ketemu sama istrinya Norman, yang mengatakan kalau suaminya juga jadi TKI, bareng sama Gahisan."
Lelaki paruh baya itu berkata lagi, namun, matanya tidak berkedip ketika menatap Zakiya, yang berdiri di depannya.
"Pak Jok ...." panggil Zakiya, membuyarkan lamunan pak Joko.
Lelaki tua itu gelagapan, ketika Zakiya mengetahui kalau dirinya menatap tanpa berkedip.
Zakiya mundur beberapa langkah, perasaan tidak nyaman, karena ditatap sedemikian rupa, membuat Zakiya menjaga jarak, sambil merapatkan kerah bajunya, perasaannya menjadi gelisah.
"Jangan takut, aku tidak akan berbuat jahat padamu, kita, kan, tetangga. Jadi, aku hanya memaatikan, kalau tetanggaku tidak kekurangan ketika ditinggalkan oleh suaminya. Datanglah ke rumah, jika kamu butuh bantuan. Suamimu pekerja yang ulet dan tekun," ujar pak Joko. Jakunnya turun naik, dan sesekali dia menelan ludah setiap kali menatap Zakiya.
"I--iya, Pak," jawab Zakiya gugup.
"Zakiya, apa ...."
"Nduk, kamu sedang nyari apa to?" tanya mbok Sur, yang tiba-tiba sudah ada di antara mereka.
Membuat pak Joko menggantung ucapannya.
"Eh, ada Pak Joko. Tumben, Pak?" lanjut mbok Sur, mengalihkan pertanyaan.
"Eh, anu, itu, Sur ... aku kebetulan saja lewat, jadi mampir. Gahisan, kan, pegawaiku juga," jawab pak Joko.
Mbok Sur mencebikkan bibirnya, sementara itu, Zakiya menarik napas lega, karena ada mbok Sur datang.
"Ya, sudah, aku pamit dulu. Jangan sungkan untuk datang ke rumah, jika kamu butuh bantuan, Zakiya," pamit pak Joko.
Lelaki tua itu pergi meninggalkan Zakiya danbok Sur. Zakiya menarik napas lega.
"Ada perlu apa, bandot itu ke sini, Nduk? Hati-hati sama dia. Lain kali, kalau ada dia, langsung masuk ke dalam rumah."
"Enggak tahu, Mbok. Aku juga kurang suka sama dia. Matanya itu, lho, menakutkan," ucap Zakiya.
"Lha, kamu di sini cari apa?" selidik mbok Sur.
"Nyari kunyit, Mbok. Hehehhe ...."
Zakiya menjawab sambil nyengir.
"Sudah, sana masuk. Ora ilok, surup-surup keluyuran di kebun."
Mbok Sur menyuruh Zakiya masuk rumah, karena hari sudah beranjak senja.
***
Zakiya duduk dengan gelisah di bangku kayu yang ada di ruang tamu. Matanya berkali-kali melihat ke arah pintu, berharap ada suara ketukan dari Gahisan.
"Sudah malam, kenapa, Mas Gahisan belum pulang, ya?" gumam Zakiya.
Dia kini berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
Hatinya benar-benar gelisah, tidak sabar menunggu kedatangan suaminya, Gahisan.
Tok tok tok ....
"Dek, Mas pulang."
Zakiya bergegas menuju pintu, lalu membukanya tanpa bertanya, siapa yang ada di luar rumah. Karena, dia sudah sangat hafal, dengan pemilik suara yang ada di luar.
"Mas Gahisan!" seru Zakiya.
Raut wajahnya begitu bahagia, sorot matanya berbinar, begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
Zakiya meraih tangan suaminya, bermaksud hendak menciumnya.
Akan tetapi, dia sangat kaget, ketika meraih tangan suaminya, terasa begitu dingin, sedingin udara malam yang berhembus masuk seiring dibukanya pintu rumah.
Bukan itu saja, Zakiya juga kembali mencium aroma yang menusuk hidung.
"Mas, lihat, apa yang kubuat untukmu? Jamu," ucap Zakiya sebari mengulurkan segelas jamu ke arah Gahisan.
Gahisan hanya menatap gelas yang dipegang Zakiya, ragu, dia menerima gelas tersebut lalu dalam sekali teguk, isi gelas sudah berpindah ke dalam perutnya.
"Mas ... cepat mandi, biar badannya segar."
Zakiya menarik tangan Gahisan menuju kamar mandi, yang berada di dekat dapur. Sementara Gahisan, hanya menurut apa yang diperintahkan Zakiya, tanpa berkata sepatah kata pun.
Walau sikap Gahisan terasa aneh, namun Zakiya tidak memperdulikannya. Karena, kehadiran Gahisan, sudah cukup untuk membuatnya lupa segalanya.
"Kita ke kamar, Dek."
Gahisan yang sudah selesai mandi, langsung membopong tubuh istrinya ke dalam kamar. Bak sepasang pengantin baru, yang dimabuk cinta. Jika sebelumnya, Zakiya merasa kesakitan, sepertinya, kali ini, Zakiya sudah bisa menikmati, hal itu tergambar dari suara desahan dan tawa Zakiya yang terdengar hingga keluar kamar.
***