Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Ia, Yang Mengikuti Pulang

"Dek Zakiya ...." Kembali terdengar suara yang memanggil nama Zakiya.

Jantung Zakiya berdegup kencang, laku dia menghentikan langkahnya saat mendengar suara yang memanggil namanya. Namun, bukan itu sebenarnya yang membuat Zakiya berhenti. Tapi, suara yang memanggil namanya, adalah suara yang sudah sangat dia kenal.

Masih berdiri di tempatnya berhenti, Zakiya mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Bahkan dia juga memutar tubuhnya ke belakang, melihat ke arah sungai, di mana hanya tampak rimbun rumpun bambu.

Masih berusaha mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya, Zakiya menajamkan penglihatan dan pendengarannya, namun tetap saja, tidak dia temukan seseorang berada di sekitarnya. Yang terlihat hanya tanaman perdu dan pohon singkong yang tumbuh subur di sana.

Zakiya berniat melanjutkan kembali langkahnya, dan berpikir kalau dirinya mungkin salah dengar. Terlebih, tidak mungkin itu suaranya. Bukankah baru tadi pagi dia berangkat meninggalkan kampung halamannya? pikir Zakiya.

"Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, yang masih terngiang-ngiang dengan suara mas Gahisan," gumam Zakiya seorang diri. Sekali lagi meyakinkan dirinya sendiri, bahwa yang baru saja memanggil namanya bukanlah Gahisan, sang suami tercinta.

Zakiya memutuskan untuk kembali berjalan, kali ini, dia mempercepat langkahnya menuju rumah.

Matahari sudah mulai naik, dan teriknya terasa hangat ketika menyentuh kulitnya yang hanya dibalut kain basah, sebatas dada karena dia lupa membawa baju ganti saat ke sungai tadi.

Zakiya berjalan tergesa, hingga tanpa dia sadari, tanaman perdu menggores kulit tubuhnya yang mulus.

Zakiya bernapas lega, ditariknya napas dalam beberapa kali ketika sudah sampai di belakang rumah.

Dibukanya pelan, pagar bambu setinggi pinggang yang membatasi halaman belakang rumahnya dengan ladang tetangga.

Zakiya meletakkan keranjang cucian di atas dipan yang terbuat dari bambu yang ada di belakang rumahnya, dan buru-buru masuk ke dalam rumah untuk mengganti baju dan akan menjemur baju yang baru dicuci tadi setelah itu.

"Mas ... belum sehari berpisah, aku sudah begitu merindukanmu," lirih Zakiya ketika berada di dalam kamar.

Diraihnya kemeja Gahisan yang tergantung di dinding. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Zakiya mendekap kemaja Gahisan dan menciumnya berkali-kali.

Zakiya memang sengaja tidak mencuci kemeja tersebut, dia berharap, dengan mencium baju yang sudah dipakai oleh suaminya yang masih meninggalkan aroma khasnya, bisa sedikit mengobati rasa rindunya.

Beberapa saat, Zakiya larut dalam kesedihannya. Dia masih termenung di tepi amben, tempat tidur yang terbuat dari bambu, sambil mendekap kemeja Gahisan. Kedua matanya sembab, ada bekas air mata yang tampak mengering di kedua pipinya. Namun ternyata, mencium aroma suaminya dari baju yang pernah dipakainya, tidak sedikitpun mengobati kerunduan hatinya akan suami tercinta.

"Mas ... aku benar-benar kangen, bagaimana mungkin aku menjalani hari-hariku tanpa kehadiranmu. Ini benar-benar sangat berat bagiku, Mas ...." lirih Zakiya.

Brukk ....

Zakiya terhenyak, saat mendengar seperti benda jatuh di dapur. Dia buru-buru menyeka air matanya, dan menggantungkan kemeja Gahisan kembali ke tempat semua.

Dengan langkah cepat, Zakiya melangkahkan kakinya menuju dapur, ruangan yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamarnya dan diberi kain sebagai penyekat.

ketika mendekati dapur, Zakiya berjalan lebih pelan. Dengan jantung yang berdegup kencang, Zakiya menyibak gorden pembatas antara dapur dan ruang tengah.

Akan tetapi, tidak tampak ada benda atau barang di dapur yang terjatuh. Semua barang yang ada di dapur, masih berada di tempatnya. Tidak ada yang berubah, karena tidak banyak barang yang di sana.

Zakiya masih sibuk mencari sesuatu di dapur, ketika dia teringat kalau baju-baju yang tadi dicucinya belum dijemur.

Buru-buru Zakiya ke belakang, untuk menjemur baju.

Akan tetapi, dia merasa sedikit aneh hari ini, ada sesuatu yang seolah sedang memperhatikannya sejak tadi. Bahkan, bulu-bulu halus di tangan dan tengkuknya, meremang.

Diusapnya pelan lengan dan tengkuk, lalu dengan cepat menyelesaikan pekerjaan yang tadi sempat tertunda, menjemur baju.

"Nduk ... ini Mbok bikin bubur sumsum, makanlah selagi masih hangat."

Mbok Sur, tetangga sebelah rumah, datang sambil membawa mangkuk di tangannya.

Aroma gurih dari perpaduan gula aren dan pandan membuat hidung Zakiya kembang kempis.

"Harum sekali, aromanya, Mbok," ucap Zakiya sambil menerima semangkuk bubur dari mbok Sur.

"Iya, itu gula aren asli, Mbok bikin sendiri, lebih gurih. Makanlah, mumpung masih hangat," ujar mbok Sur.

"Ini bikin bubur sumsum, dalam rangka apa, Mbok?" tanya Zakiya.

"Bukan apa-apa, ada sisa tepung, sayang kalau dibiarkan saja," jelas mbok Sur.

"Kamu tadi nyuci di mana, Nduk?" tanya mbok Sur, sambil melihat baju yang baru saja di jemur Zakiya.

"Di sungai, kenapa, Mbok?"

"Sekarang, kan, Gahisan tidak di rumah, sebaiknya kamu jangan ke sungai lagi. Takut terjadi apa-apa sama kamu nanti," tutur mbok Sur.

"Ah ... Mbok, ada-ada saja. Aku, kan setiap hari ke sungai. Semua tetangga juga mencuci di sungai, kok," jawab Zakiya.

"Mbok hanya mengingatkan saja, Nduk, takut terjadi apa-apa sama kamu," ujar mbok Sur.

Matanya menelisik ke segala arah, seperti sedang mencari sesuatu.

"Mbok, mencari sesuatu?" tanya Zakiya, saat melihat mbok Sur seperti mencari sesuatu.

"Anu ... Mbok seperti sedang diperhatikan seseorang, apa kamu tidak merasa? Lihat, sampe merinding gini, lho," jawab mbok Sur, sambil memperlihatkan bulu-bulu halus di lengan keriputnya yang berdiri.

"Ya, sudah, kamu buruan masuk rumah, dihabiskan buburnya. Mbok mau pulang dulu."

Mbok Sur menyuruh Zakiya untuk segera masuk ke dalam rumah, sementara dirinya, bergegas pulang. Dia bergidik, saat melihat ke pekarangan belakang Zakiya. Terlihat mbok Sur mempercepat langkah kakinya saat melewati kebun kosong di antara rumah mereka.

Matahari sudah makin condong ke barat, perlahan, kegelapan menyelimuti bumi.

Cahaya matahari, kini tergantikan dengan pendar lampu minyak dan petromak.

Rumah Gahisan tampak lengang, tidak lagi terdengar suara canda tawa dari sepasang suami istri tersebut, karena, di rumah itu, kini hanya ada Zakiya, yang duduk termenung menatap pijar lampu minyak yang ada di atas meja.

Sesekali bergoyang, saat angin menerpanya.

Pikirannya melayang, ketika pertama kali dia bertemu dengan Gahisan. Saat itu, Zakiya ikut pamannya ke sawah membantu sebagai buruh pugut, memotong padi, sementara, Gahisan saat itu juga ada di sana, sama seperti dirinya.

Cinta pada pandangan pertama, kata orang bilang.

Mengingat hal itu, Zakiya tersenyum sendiri.

Tok tok tok ....

Zakiya mengulum senyum, saat terdengar pintu rumahnya diketuk.

Tok tok tok ....

Kembali, suara ketukan di pintu terdengar.

Zakiya bangkit dari duduknya, perlahan berjalan menuju pintu.

"Si--siapa?" tanya Zakiya gugup.

Dia ingin mengetahui, siapa yang mengetuk pintu rumahnya malam-malam begini.

"Ini aku, Dek, Mas ...."

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel