Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Merantau

Hari-hari berikutnya, Gahisan dan Zakiya akan selalu menghabiskan waktu luangnya duduk dan bercengkerama di bawah pohon mangga di pekarangan belakang. Dan setiap kali mereka berada di sana, sosok itu selalu setia memperhatikan keduanya. Jika sebelumnya, dia meniru cara berbicara dan jalan Gahisan, kini sosok itu sudah mulai menirukan suara Gahisan, persis sekali. Bahkan jika keduanya berbicara, orang akan sulit membedakan, mana Gahisan asli dan mana yang palsu. Namun, tentu saja, wajah mereka masih berbeda.

"Dek ... besok selepas subuh, Mas akan berangkat. Ingat selalu pesan, Mas, ya? Jika ada apa-apa, mintalah tolong pada Mbah Timo, atau Budhe Surti," ucap Gahisan.

Zakiya terdiam, tidak menjawab ucapan suaminya, lalu dia langsung memeluk tubuh Gahisan. Di dada suaminya, Zakiya menumpahkan air mata kesedihannya.

"Mas, aku ini anak yatim piatu, sudah sebatang kara sejak kecil, jika kamu pergi jauh dan lama, bagaimana dengan aku, Mas?" isak Zakiya.

"Dek ... Mas kan, sudah bilang, kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, bisa minta tolong sama Budhe Surti atau Mbah Timo. Mereka adalah keluarga kita, Dek," ucap Gahisan sambil mengusap punggung Zakiya lembut.

"Tapi mereka bukan kamu, Mas ...."

Zakiya masih terisak, walaupun Gahisan mencoba menenangkan dirinya, dan mengatakan akan segera pulang jika sudah mempunyai cukup modal.

Dan lagi-lagi, apa yang mereka lakukan, selalu diperhatikan oleh sosok yang tidak bisa mereka lihat. Sosok itu tersenyum, senyum bahagia.

Malam makin larut, namun Zakiya tidak bisa tidur, begitu juga Gahisan. Mereka tidak ingin begitu saja melewatkan malam terakhir, karena besok pagi, Gahisan harus segera berangkat merantau.

Layaknya dua insan yang sedang kasmaran dan mencurahkan kerinduan, mereka hanya berharap, bahwa malam ini bisa lebih panjang dari malam sebelumnya, sehingga mereka bisa bercinta lebih lama.

Di antara desah dan tarikan napas Gahisan dan Zakiya, lagi-lagi, ada sosok yang memperhatikan keduanya. Dia bahkan ikut menahan napas, ketika melihat Gahisan dan Zakiya mamadu kasih.

Begitu cepat waktu berlalu, terlebih bagi dua insan yang sedang kasmaran. Hingga tanpa terasa, pagi pun menjelang. Zakiya bangun terlebih dulu, mengenakan pakaiannya lalu beranjak ke dapur, mempersiapkan bekal yang akan dibawa Gahisan nanti. Sementara Gahisan, masih bergelung di bawah selimut, menikmati sisa aroma peluh yang tertinggal semalam.

"Mas ... ayo bangun, nanti kesiangan. Katanya mau berangkat pagi-pagi untuk ke kota."

Zakiya menepuk lembut punggung suaminya, meminta untuk segera bangun dan bersiap-siap berangkat. Karena jarak dari rumahnya menuju kota, lumayan jauh. Terlebih, mereka tidak mempunyai kendaraan yang bisa mengantar mereka. Satu-satunya transportasi di kampungnya, adalah angkutan pedesaan. Itu pun berada di jalan utama, dan untuk sampai ke sana, mereka harus berjalan sekitar lima belas menit, baru sampai di jalan besar.

"Iya, Dek. Mas akan segera mandi dan bersiap-siap, setelah itu akan ke rumah Pak Agung. Rencananya, kami berangkat dari sana," ujar Gahisan.

Gahisan bangkit dan bergegas ke belakang. Tidak lama kemudian, terdengar suara kerekan yang berdecit, yang ditarik dan diturunkan. Iya, itu adalah Gahisan yang sedang menimba air di sumur. Dia mengisi semua tempat air hingga penuh, karena berpikir, setelah dia berangkat, pasti Zakiya akan sedikit kerepotan untuk menimba sendiri air dari sumur.

****

"Dek, Mas berangkat dulu, ya. Doa kan Mas berhasil di negeri orang. Jangan sungkan untuk datang ke rumah Mbah Timo dan Budhe, jika kamu mengalami masalah atau kesulitan."

Gahisan memeluk Zakiya erat, berat sekali rasanya untuk meninggalkan istrinya. Namun Gahisan menguatkan hati, dan berjanjinakan segera pulang jika modal yang dia cari, sudah cukup.

"Mas juga, jangan lupa untuk selalu mengirim surat padaku. Aku akan setia menunggu sampai kamu pulang kembalI, Mas."

Zakiya menangis di pelukan Gahisan, perlahan, Gahisan melepaskan pelukan istrinya dan memaksakan kakinya untuk berjalan meninggalkan rumah. Saat sampai di halaman, Gahisan sekali lagi menoleh ke arah Zakiya, lalu melambaikan tangan. Zakiya berlari menyusul Gahisan ke halaman, namun Gahisan sudah melangkahkan kakinya menyusuri jalan berbatu dan menembus kabut pagi, hingga sosoknya tidak terlihat karena pandangannya terhalang kabut, yang cukup tebal pagi itu.

Lama Zakiya berdiri di halaman rumahnya, memandang ke arah Gahisan. Walau suaminya sudah tidak terlihat di pandangan, namun Zakiya masih terus menatapbke arah jalan.

"Nduk ... pagi-pagi kok sudah bengong, nanti kesambet, lho."

Mbok Sur, wanita tua yang rumahnya berada di sebelah rumah Zakiya dan hanya terpisah oleh kebun kosong, datang menghampiri. Di tangan kanannya memegang sapu lidi, rupanya mbok Sur sedang menyapu halaman, saat melihat Zakiya termenung di pinggir jalan.

"Eh ... Mbok Sur? Itu, saya melihat Mas Gahisan, tapi sudah tidak kelihatan," jawab Zakiya sambil tersenyum.

"Suamimu itu, kan, mau berangkat kerja. Kamu doa kan saja, supaya dia cepat dapat uang banyak, biar nanti hidup kalian lebih mapan. Jangan kayak Juki, yang kerjaannya tiap hari cuma makan dan tidur, sambil menghayal." Mbok Sur berkata.

Juki adalah anak mbok Sur, dia teman Gahisan dari kecil. Namun berbeda dengan Gahisan yang pekerja keras, dan mau melakukan pekerjaan apa pun selama itu halal, Juki dikenal sebagai pemuda malas. Dia bahkan belum pernah bekerja seumur hidupnya. Hari-harinya, hanya digunakan untuk tidur, dan begadang di pos ronda ketika malam, sambil bermain kartu.

"Iya, Mbok. Saya permisi dulu, ya. Mau bersih-bersih rumah dulu," pamit Zakiya.

"Kamu kalau butuh sesuatu, bilang sama Mbok, jangan sungkan, ya, Nduk?" pesan mbok Sur, yang meminta pada Zakiya untuk datang padanya jika butuh bantuan.

Tidak heran jika Gahisan ataupun Zakiya, cukup disukai di kampung mereka. Walau bukan orang kaya, namun keduanya suka menolong tetangga mereka yang membutuhkan.

Zakiya bergegas masuk ke dalam rumahnya, membereskan barang-barang yang tidak terlalu banyak. Mengumpulkan baju kotor dan memasukkannya ke dalam keranjang cucian. Dia berencana untuk pergi ke sungai. Karena dilihatnya, baju kotor dalam keranjang cucian sudah lumayan banyak.

Bergegas Zakiya berjalan menuju ke belakang rumahnya, menyusuri jalan kecil, di sisi kanan dan kiri, adalah tanah kosong milik tetangganya yang dibiarkan terbengkalai dan hanya ditumbuhi beberapa pohon besar dan tanaman singkong. Sungai yang akan dituju Zakiya, berada di belakang rumahnya, tidak terlalu jauh, namun berada di bawah rimbun rumpun bambu.

Hari sudah beranjak siang, saat Zakiya tiba di sungai. Sungai dengan air yang sangat jernih itu, tidak bergitu besar. Sejenak, Zakiya memandang baju-baju yang dia bawa.

"Aku akan mencuci baju-baju dulu, baru setelah itu, aku akan mandi," gumam Zakiya seorang diri.

Satu persatu, Zakiya mencuci bajunya, hingga tanpa terasa, semua sudah dia cuci. Zakiya menarik napas lega, akhirnya semua pekerjaan sudah selesai.

Sambil menengok ke kiri dan kanan, dan memastikan tidak ada yang mengintipnya saat mandi, Zakiya mulai membuka bajunya satu persatu, hingga hanya tersisa kain yang dia gunakan sebagai kemben. Lalu Zakiya mulai membasahi seluruh tubuhnya dengan sejuknya air sungai.

Walau masih menggunakan kain untuk membalut tubuhnya, namun tetap saja, kemolekan tubuh Zakiya bisa terlihat. terlebih saat kain yang menutup tubuhnya dari bagian dada hingga betis terkena air, membuat lekuk tubuhnya begitu jelas.

Dan lagi-lagi, tanpa disadarinya, sepasang mata sedang mengawasi Zakiya dari tempat persembunyiannya tanpa dia sadari. Mulutnya ternganga, sambil sesekali tangannya mengusap liur yang menetes.

Zakiya membiarkan rambutnya yang basah tergerai, dan bergegas untuk pulang ke rumah. Sesekali dia menoleh ke belakang, karena merasa ada yang sedang mengikutinya pulang. Namun setiap kali dia menoleh, tidak terlihat seorang pun ada di sekitarnya.

Zakiya buru-buru melanjutkan langkah kakinya, namun kembali berhenti, saat dia mendengar samar-samar ada yang memanggil namanya.

"Dek Zakiya ...."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel