Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 02. Awal Cerita Bram

Di tengah hiruk-pikuk Surabaya yang nggak pernah tidur, ada satu tempat yang selalu bikin Bram betah. Warung kopi kecil di pojok jalan, tempat nongkrong anak-anak kampus Unesa. Di dalamnya, aroma kopi yang kental bercampur dengan suara obrolan yang ramai, kadang diselingi tawa, kadang debat seru tentang apa aja. Di situlah Bram, pelukis muda yang terobsesi dengan dunia mistis, menghabiskan sebagian besar waktunya.

“Bro, lu udah liat lukisan terbaru gue belum?” seru Bram sambil mengangkat cangkir kopinya, matanya berbinar penuh semangat.

“Belum, bro. Tapi denger-denger lu lagi dalem ke dunia mistis ya?” jawab Dika, sahabat karibnya, sambil menyeruput kopi hitamnya yang pahit.

“Yoi! Gua lagi pengen eksplor tema baru. Kayak, lu tau kan, tentang hantu-hantu, mitos, dan segala macem yang bikin merinding,” ucap Bram, senyum lebar di wajahnya.

“Wah, bro. Lu jangan bilang mau bikin lukisan hantu yang beneran muncul gitu,” sahut Rina, cewek dengan rambut pendek yang juga sering nongkrong di situ, sambil menggulirkan matanya.

“Eh, jangan salah! Justru di situlah serunya. Dari kecil gua udah suka cerita-cerita mistis. Lu ingat gak waktu kita dengerin cerita hantu di kelas sejarah?” Bram kembali bersemangat, mengenang momen-momen seru di kampus.

“Iya, iya! Lu selalu yang paling berisik kalo udah mulai ceritanya. Gua masih inget, lu sampe teriak pas denger cerita tentang kuntilanak,” Dika menambahkan sambil tertawa.

“Bukan teriak, bro! Itu reaksi natural! Hantu-hantu itu kan bikin penasaran,” jawab Bram, berusaha membela diri. “Gua pengen banget menggambarkan dunia itu lewat lukisan.”

“Lu bener-bener gila, Bram. Tapi gua suka semangat lu. Kapan-kapan gua mau liat lukisan lu yang mistis itu,” kata Rina sambil memberi semangat.

“Yakin mau liat? Nanti bisa-bisa malem-malem mimpi ketemu hantu, loh!” Bram menggoda, membuat suasana semakin hangat.

“Ngapain juga gua takut? Lu kan yang berani-berani begini,” Rina membalas, menantang.

Bram merasa energinya semakin menggebu-gebu. Sejak kecil, dia selalu tertarik dengan cerita-cerita gaib. Dia suka mendengarkan cerita-cerita mistis dari kakeknya setiap malam sebelum tidur. Kakek selalu bercerita tentang makhluk halus, hantu, dan legenda-legenda yang bikin Bram berimajinasi. Dia ingin menggambarkan semua itu dalam lukisan.

“Gua pengen kalo suatu hari bisa bikin lukisan yang bikin orang ngerasa seakan-akan mereka bisa masuk ke dalamnya. Kayak dalam mimpi, gitu,” ucap Bram dengan penuh harapan.

“Wah, itu ambisius banget, bro! Tapi gua dukung. Lu emang pelukis yang berbakat,” Dika menjawab.

“Thanks, bro. Tapi ya, gua butuh inspirasi. Mungkin gua harus mulai melukis lebih banyak tentang mimpi-mimpi gua,” kata Bram sambil berpikir keras.

“Lu mau coba bikin lukisan tentang mimpi yang paling aneh yang pernah lu alami?” tanya Rina.

“Eh, itu bisa jadi ide!” Bram langsung bersemangat. “Gua punya mimpi yang aneh banget tentang putri dari kerajaan Cina. Dia kayak minta tolong, gitu.”

“Putri? Wah, romantis juga nih!” Dika menggoda.

“Gue serius, bro! Dalam mimpi itu, dia kayak terjebak di dunia lain. Gua rasa ada yang bisa gua gali dari situ,” Bram menjelaskan dengan intens.

“Coba deh lu gambarin. Kalo hasilnya bagus, gua jamin lu bakal terkenal!” Rina menyemangati.

“Ya udah, gua mau mulai sekarang. Gua bisa ambil inspirasi dari tempat-tempat di sekitar sini. Siapa tau ada yang bikin gua ngerasa lebih dekat sama dunia mistis,” Bram menjawab sambil menghabiskan kopinya.

Setelah itu, Bram berpamitan dan beranjak dari warung kopi. Dia berjalan menyusuri jalanan Surabaya, mencari inspirasi. Dalam pikirannya, bayang-bayang putri yang muncul dalam mimpi terus mengganggu. Dia membayangkan bagaimana wajahnya, bagaimana gaun indah yang dikenakannya, dan bagaimana ekspresi minta tolong yang tak akan pernah dia lupakan.

Ketika malam tiba, Bram duduk di depan kanvasnya, mencoba menuangkan semua yang ada di pikirannya. Dia merasa seperti ada kekuatan yang menariknya untuk menggambar, seolah-olah putri itu benar-benar ada di depannya. Dengan setiap goresan kuas, dia mencoba menangkap esensi dari mimpinya.

“Semoga lukisan ini bisa memberiku jawaban,” gumamnya, terbenam dalam dunia khayalan.

Dia tidak tahu bahwa malam itu, saat dia terlelap dalam tidurnya, mimpi yang lebih aneh dan luar biasa akan menghampirinya. Keterhubungan antara dunia nyata dan dunia mistis akan segera membawanya pada petualangan yang tak terduga.

Di saat Bram terlelap, bayangan putri itu kembali muncul, memanggilnya dengan lembut, mengundang Bram untuk menjelajahi dunia yang selama ini terpendam dalam imajinasinya.

***

Malam itu, setelah menghabiskan waktu di warung kopi dan menggambarkan impiannya di kanvas, Bram terlelap dengan kelelahan yang menyenangkan. Namun, mimpi yang datang menghampirinya kali ini bukanlah sekadar mimpi biasa. Ia terbangun dengan hati berdebar dan pikiran yang berkecamuk.

Dalam mimpinya, dia melihat seorang putri cantik dari kerajaan Cina, Juan. Rambutnya panjang terurai, dihiasi dengan bunga-bunga indah yang berwarna cerah. Kecantikannya begitu memukau, tetapi ada sesuatu yang menyedihkan di matanya, seolah-olah dia terjebak dalam kesedihan yang dalam.

“Bram... tolong aku,” suara lembutnya menggema di telinga Bram, membuat jantungnya bergetar.

“Siapa kamu?” tanya Bram dalam hatinya, meski dia tahu jawabannya.

“Aku Juan, putri dari kerajaan yang terjebak dalam dunia mimpi. Aku perlu bantuanmu,” jawab Juan, suaranya penuh harapan dan keputusasaan.

Bram, meskipun terpesona, merasakan ketidakpastian. “Tapi, bagaimana caranya? Aku hanya seorang pelukis. Apa yang bisa aku lakukan?”

“Lukislah aku, Bram. Lukisanmu akan membebaskanku,” jawab Juan, dengan tatapan yang memohon.

Dan sebelum dia bisa menjawab, Bram terbangun di tempat tidurnya, napasnya terengah-engah. Jantungnya berdebar keras, dan pikiran tentang Juan memenuhi kepalanya. Rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur aduk, dan dia tahu dia harus segera melukis.

“Gila, ini bukan mimpi biasa. Dia nyata, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam,” pikirnya, sambil berusaha menenangkan diri. “Tapi bagaimana bisa dia meminta tolong padaku? Aku hanya pelukis biasa.”

Bram berusaha mengingat setiap detail dari mimpinya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengambil cat dan kuasnya, dan duduk di depan kanvas yang bersih. “Oke, Bram. Fokus. Ini saatnya. Luangkan semua perasaanmu di sini,” bisiknya pada diri sendiri.

Dia mulai melukis dengan penuh semangat, mengalirkan warna-warna cerah ke dalam kanvas. Setiap goresan kuasnya membawa kembali ingatan akan Juan. Wajahnya, senyumnya, dan terutama matanya yang penuh harapan. Dia ingin menangkap esensi keindahan dan kesedihan yang dia lihat dalam mimpi.

“Seandainya aku bisa mengeluarkan mu dari mimpi ini, Juan,” pikirnya, saat tangannya bergerak lincah di atas kanvas. “Tapi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?”

Bram terhanyut dalam proses melukis, seakan setiap goresan kuasnya menghidupkan kembali kenangan itu. Dia membayangkan Juan berdiri dengan anggun, mengenakan gaun sutra yang berkilau, dikelilingi oleh bunga-bunga sakura yang berjatuhan. “Ini harus sempurna,” gumamnya, menyibukkan diri dengan detail.

Namun, semakin dia melukis, semakin kuat perasaan terjebak dalam ketidakpastian. “Apa benar lukisan ini akan membebaskannya? Atau hanya akan menjadi kenangan yang hilang?” dia bertanya pada dirinya sendiri, meragukan kemampuannya.

Ketika malam semakin larut, Bram merasa lelah tetapi puas. Dia melihat lukisannya, dan meskipun belum selesai, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah lukisan itu memiliki kehidupan sendiri. “Apa ini yang dimaksud Juan? Apakah dia melihat ini?” pikirnya, sambil menatap kanvas dengan penuh harap.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, dia merasakan getaran lembut di udara. Suasana di sekitarnya seolah berubah, dan dia bisa merasakan kehadiran yang kuat. “Bram...” suara Juan terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih jelas.

“Juan?” Bram menoleh, berharap melihat sosoknya muncul di hadapannya. “Apakah ini benar-benar kamu?”

Dan saat dia berbalik, dia melihat sosok Juan berdiri di hadapannya, keluar dari lukisannya. “Kamu berhasil, Bram. Lukisanmu... itu luar biasa,” katanya dengan senyum yang cerah.

Bram ternganga, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Tunggu dulu, ini tidak mungkin. Kamu... kamu hidup? Apa yang terjadi?”

“Ya, aku hidup di dalam lukisanmu. Setiap goresan kuas yang kamu buat membawa aku lebih dekat untuk bebas,” jawab Juan, matanya berbinar.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” Bram bertanya, rasa bingung dan ketegangan bercampur dalam hatinya.

“Kita harus menemukan cara untuk membebaskanku sepenuhnya dari dunia mimpi ini. Hanya dengan cinta dan keberanian kita bisa melakukannya,” jelas Juan, suaranya tenang tetapi penuh harapan.

Bram merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. “Cinta? Tapi kita baru bertemu dalam mimpi. Apa mungkin kita bisa memiliki cinta yang nyata?”

“Cinta tidak terbatas pada waktu dan ruang, Bram. Ini tentang perasaan yang kita miliki satu sama lain,” jawab Juan, menatap dalam-dalam ke mata Bram, membuatnya merasakan koneksi yang kuat.

“Kalau begitu, aku akan melukis mu lagi. Aku akan menciptakan dunia di mana kita bisa bersama, di mana kita bisa menemukan cara untuk membebaskan kamu,” Bram berjanji, bertekad untuk melakukan segalanya demi Juan.

Juan tersenyum, dan Bram merasakan semangatnya kembali. “Mari kita lakukan ini bersama. Aku percaya padamu.”

Dengan semangat baru, Bram kembali ke kanvasnya, siap untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar lukisan. Dia ingin melukis dunia di mana cinta dan keajaiban bersatu, di mana dia dan Juan bisa bersama selamanya.

“Ini baru permulaan,” pikirnya, saat kuasnya mulai bergerak lagi, menyiapkan panggung untuk petualangan yang akan datang.

Dengan setiap goresan, dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan dia tidak akan pernah berhenti berjuang untuk cinta yang telah mengubah hidupnya selamanya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel