Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

"Just because I forgive you, doesnt mean I trust you."

------------------------------------------------------------

Suara bising kendaraan yang berlalu lalang tidak di perdulikan oleh seorang lelaki tampan, yang sedang duduk dengan tatapan kosong di sebuah meja kecil didepan mini market.

Rey, kini ia sedang menatap kosong ke arah jalanan di hadapannya sekarang. Pikiran lelaki itu akhir-akhir ini sering di kelilingi oleh makhluk bernama perempuan.

Hanya satu yang membuat pikirannya kacau, sebuah pesan yang dikirim melalui surat beramplop pink dan bercorak strawberry.

To : Ray, my beloved boyfriend.

From : Tiara, yours.

Hello darlin'

Long time no see, I really miss you. I know you feel same too, kabar bagus buat mu sayang.

Aku pulang.

Isi surat itu membuat Rey pusing tujuh keliling, untuk apa gadis sialan itu kembali? Hal itu hanya akan membuat Rey kembali mengingat masalalunya.

"My first love, broke my heart for the first time." Rey tertawa hambar.

• • • •

Mobil Nesya melaju dengan kecepatan tinggi, gadis itu tidak tau ingin pergi kemana sekarang. Jam sudah menunjukan pukul 10 malam, bukan gaya Nesya untuk masih berkeliaran seorang diri di jam malam seperti ini.

Panti asuhan? Sudah terlalu malam untuknya berkunjung, Rumah? rasanya Nesya ingin membakar rumah itu sekarang juga.

"Ngapain lo harus balik, sialan!" Nesya mencengkram stir mobilnya dengan sangat kencang, membuat buku-buku jarinya memutih.

Gadis itu semakin memacu mobilnya sangat kencang, bahkan melebihi kecepatan saat berada di arena balapan.

"Gue udah bahagia sama mama, lo ngapain balik sama bajingan itu, argh!" Nesya semakin mencengkram stirnya.

Seputar kilas balik terputar di otaknya, ingatan yang paling di bencinya. Semua hal yang paling di bencinya, sampai sesuatu yang mebuatnya trauma hingga memutuskan untuk off sekolah.

Karena tidak fokus dengan jalanan, tanpa sadar Nesya hampir saja menabrak seseorang. Nesya memekik, ia menutup mulutnya karena shock.

Orang yang hampir Nesya tabrak tadi tiba-tiba mengetuk kaca mobil Nesya dengan kasar, orang itu berteriak mengumpat kasar.

Nesya masih terpaku, dengan tangan bergetar ia membuka pintu mobilnya dan segera keluar. Ia menundukan kepalanya, karena orang yang baru saja hampir ia tabrak terus-terusan mengumpat.

"Bisa bawa mobil nggak sih! Malem-malem gini bawa mobil ngebut seenak jidat, lo itu cewek macam apa sih? Kupu-kupu malam?"

Suara bariton khas itu, Nesya mengenalinya. Suara yang sama saat mencaci dirinya di panti asuhan seminggu yang lalu.

Nesya mendongakan kepalanya, menatap lelaki yang tengah mencacinya itu dengan nanar.

Rey, lelaki itu nampak terkejut. Ternyata yang hampir menabraknya tadi adalah Nesya. Gadis itu sedang dalam keadaan tidak baik sekarang, matanya sembab wajahnya terlihat kacau.

"Lo? Ngapain nangis?" Rey merendahkan sedikit suaranya, sekasar apapun dirinya tetap saja ia tidak bisa melihat wanita menangis.

Gadis itu tidak menjawab, ia malah bergerak untuk memeluk Rey. Menelungkupkan wajahnya di dada bidang lelaki itu, tanpa memperdulikan umpatan yang terus keluar dari mulut pedas Rey.

"Woi! Gila, sinting lo! Lepasin," Rey berusaha melepaskan pelukan Nesya yang sangat erat itu.

"Bentar Rey, gue nggak punya siapa-siapa... abis ini gue janji nggak bakalan ganggu lo, walaupun gue nggak pernah ganggu lo sama sekali. Lo juga boleh benci gue, tapi tolong, bentar aja Rey."

Gadis itu terisak, tangannya masih melingkar kuat di tubuh Rey. Untung sekarang mereka sedang di pinggir jalan.

"Lo sinting ya, kalo mama gue liat bisa di gampar lo tau nggak!" Rey terus berusaha untuk melepaskan diri dari gadis yang di anggapnya tidak waras itu.

"Gue nggak peduli mau di tampar siapapun, itu nggak ngaruh apapun buat gue. Bahkan kalo bisa, gue mau mati sekarang."

"Lo ngomong apaan sih, lepasin astaga. Badan gue, dipeluk cewek setres!" Rey mengacak rambutnya frustasi.

• • • •

Rey sedang menatap tajam gadis yang ada di hadapannya ini, karena Nesya bersi keras tidak ingin melepaskan pelukannya. Rey menyeret gadis itu ke cafe kecil depan minimarket tempat dia nongkrong tadi.

"Maaf," cicit Nesya yang tertunduk tidak berani menatap Rey yang sedang berada di hadapannya.

"Malam-malam keliaran, bawa mobil ngebut, tiba-tiba meluk orang. Dan, lo cuman minta maaf?" Rey menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gue ada masalah, maaf gue meluk lo sembarangan." Nesya masih menunduk menatap jarinya yang saling bertautan.

"Kalo semua orang di dunia ini melampiaskan amarahnya dengan cara kebut-kebutan tengah malem terus tiba-tiba ketemu orang langsung di peluk, gue nggak bisa bayangin apa jadinya." padahal Rey juga begitu. Sayangnya ia tidak menemukan apapun untuk di peluk.

"Lo nggak tau masalah gue Rey, gue udah minta maaf. Gue pulang duluan." Nesya bangkit dan segera berjalan menuju mobilnya.

"Gimana gue bisa mastiin kalo lo bener-bener pulang?"

Nesya terdiam, ia menghentikan langkahnya. Kemudian ia berbalik menatap Rey yang ternyata juga sedang menatapnya.

"Bukan urusan lo Rey."

Nesya melanjutkan langkahnya, ia sudah memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengan makhluk bernama Raelando Wirawan. Selamanya.

• • • •

Sekitar pukul 12 malam Nesya sampai di rumahnya, ia tidak perduli lagi siapa yang berada di rumahnya sekarang.

"Persetan sama lo," Nesya menggumam.

Kemudian ia membuka pintu rumahnya dengan kasar, mobil ibunya tidak ada di garasi tadi berarti ibunya belum pulang.

"Baru pulang kak?"

Nesya menghentikan langkahnya, suara itu. Ternyata dia belum pulang, ia menengok untuk mencari suara yang membuatnya menghentikan langkah itu.

"Ngapain lo dirumah gue?" Nesya sengaja menekankan kata 'dirumah gue'.

"Ini rumah aku juga kak,"

Nesya memutar bola matanya jengah, "Semenjak lo mutusin buat ikut lelaki brengsek itu, gue udah nggak anggep lo siapa-siapa. Bagi gue, cuman ada bunda dan gue."

"Jangan sebut papa brengsek kak!" gadis itu memekik.

Nesya melipat kedua tangannya di depan dada. "Dia bokap lo, bukan bokap gue."

"Jangan sebut papa begitu kak!"

Nesya mendorong gadis itu agar menjauh, "Keluar dari rumah gue!"

Gadis itu menggeleng, "Kenapa aku harus keluar? Ini rumah aku juga, aku juga punya hak di sini!"

Nesya semakin naik pitam, "Semenjak lo sama si brengsek itu mutusin buat pergi, ninggalin gue sama bunda, kalian udah gue anggap mati!"

"Aku ikut papa karena menurut aku papa benar!" gadis itu berteriak sama seperti Nesya.

"Benar? Dimana otak lo?" Nesya mendorong tubuh gadis yang mengaku sebagai adiknya itu.

"Papa itu benar!" gadis balas mendorong tubuh Nesya.

"NGEJUAL ANAK KANDUNG SENDIRI BUAT HARTA, BENAR KATA LO?" Nesya sudah naik pitam.

Gadis itu terdiam.

"KENAPA LO DIEM HAH? KENAPA!" Nesya mendorong tubuh gadis itu sampai keluar dari rumahnya.

"Gue ini adik lo kak! Dan, dia itu bokap lo! Jangan seenaknya lo ngusir gue dari sini!"

"Terakhir kali, gue bilang. Bagi.gue.lo.berdua.udah.mati" Nesya hendak menutup pintu, namun sebelum itu ia mengatakan sesuatu.

"Bagi gue, Tiara Grecindya dan Hanz Bramantyo itu udah mati."

----------------------------------------------------------

"Just because I forgive you, doesnt mean I trust you."

------------------------------------------------------------

Suara bising kendaraan yang berlalu lalang tidak di perdulikan oleh seorang lelaki tampan, yang sedang duduk dengan tatapan kosong di sebuah meja kecil didepan mini market.

Rey, kini ia sedang menatap kosong ke arah jalanan di hadapannya sekarang. Pikiran lelaki itu akhir-akhir ini sering di kelilingi oleh makhluk bernama perempuan.

Hanya satu yang membuat pikirannya kacau, sebuah pesan yang dikirim melalui surat beramplop pink dan bercorak strawberry.

To : Ray, my beloved boyfriend.

From : Tiara, yours.

Hello darlin'

Long time no see, I really miss you. I know you feel same too, kabar bagus buat mu sayang.

Aku pulang.

Isi surat itu membuat Rey pusing tujuh keliling, untuk apa gadis sialan itu kembali? Hal itu hanya akan membuat Rey kembali mengingat masalalunya.

"My first love, broke my heart for the first time." Rey tertawa hambar.

• • • •

Mobil Nesya melaju dengan kecepatan tinggi, gadis itu tidak tau ingin pergi kemana sekarang. Jam sudah menunjukan pukul 10 malam, bukan gaya Nesya untuk masih berkeliaran seorang diri di jam malam seperti ini.

Panti asuhan? Sudah terlalu malam untuknya berkunjung, Rumah? rasanya Nesya ingin membakar rumah itu sekarang juga.

"Ngapain lo harus balik, sialan!" Nesya mencengkram stir mobilnya dengan sangat kencang, membuat buku-buku jarinya memutih.

Gadis itu semakin memacu mobilnya sangat kencang, bahkan melebihi kecepatan saat berada di arena balapan.

"Gue udah bahagia sama mama, lo ngapain balik sama bajingan itu, argh!" Nesya semakin mencengkram stirnya.

Seputar kilas balik terputar di otaknya, ingatan yang paling di bencinya. Semua hal yang paling di bencinya, sampai sesuatu yang mebuatnya trauma hingga memutuskan untuk off sekolah.

Karena tidak fokus dengan jalanan, tanpa sadar Nesya hampir saja menabrak seseorang. Nesya memekik, ia menutup mulutnya karena shock.

Orang yang hampir Nesya tabrak tadi tiba-tiba mengetuk kaca mobil Nesya dengan kasar, orang itu berteriak mengumpat kasar.

Nesya masih terpaku, dengan tangan bergetar ia membuka pintu mobilnya dan segera keluar. Ia menundukan kepalanya, karena orang yang baru saja hampir ia tabrak terus-terusan mengumpat.

"Bisa bawa mobil nggak sih! Malem-malem gini bawa mobil ngebut seenak jidat, lo itu cewek macam apa sih? Kupu-kupu malam?"

Suara bariton khas itu, Nesya mengenalinya. Suara yang sama saat mencaci dirinya di panti asuhan seminggu yang lalu.

Nesya mendongakan kepalanya, menatap lelaki yang tengah mencacinya itu dengan nanar.

Rey, lelaki itu nampak terkejut. Ternyata yang hampir menabraknya tadi adalah Nesya. Gadis itu sedang dalam keadaan tidak baik sekarang, matanya sembab wajahnya terlihat kacau.

"Lo? Ngapain nangis?" Rey merendahkan sedikit suaranya, sekasar apapun dirinya tetap saja ia tidak bisa melihat wanita menangis.

Gadis itu tidak menjawab, ia malah bergerak untuk memeluk Rey. Menelungkupkan wajahnya di dada bidang lelaki itu, tanpa memperdulikan umpatan yang terus keluar dari mulut pedas Rey.

"Woi! Gila, sinting lo! Lepasin," Rey berusaha melepaskan pelukan Nesya yang sangat erat itu.

"Bentar Rey, gue nggak punya siapa-siapa... abis ini gue janji nggak bakalan ganggu lo, walaupun gue nggak pernah ganggu lo sama sekali. Lo juga boleh benci gue, tapi tolong, bentar aja Rey."

Gadis itu terisak, tangannya masih melingkar kuat di tubuh Rey. Untung sekarang mereka sedang di pinggir jalan.

"Lo sinting ya, kalo mama gue liat bisa di gampar lo tau nggak!" Rey terus berusaha untuk melepaskan diri dari gadis yang di anggapnya tidak waras itu.

"Gue nggak peduli mau di tampar siapapun, itu nggak ngaruh apapun buat gue. Bahkan kalo bisa, gue mau mati sekarang."

"Lo ngomong apaan sih, lepasin astaga. Badan gue, dipeluk cewek setres!" Rey mengacak rambutnya frustasi.

• • • •

Rey sedang menatap tajam gadis yang ada di hadapannya ini, karena Nesya bersi keras tidak ingin melepaskan pelukannya. Rey menyeret gadis itu ke cafe kecil depan minimarket tempat dia nongkrong tadi.

"Maaf," cicit Nesya yang tertunduk tidak berani menatap Rey yang sedang berada di hadapannya.

"Malam-malam keliaran, bawa mobil ngebut, tiba-tiba meluk orang. Dan, lo cuman minta maaf?" Rey menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gue ada masalah, maaf gue meluk lo sembarangan." Nesya masih menunduk menatap jarinya yang saling bertautan.

"Kalo semua orang di dunia ini melampiaskan amarahnya dengan cara kebut-kebutan tengah malem terus tiba-tiba ketemu orang langsung di peluk, gue nggak bisa bayangin apa jadinya." padahal Rey juga begitu. Sayangnya ia tidak menemukan apapun untuk di peluk.

"Lo nggak tau masalah gue Rey, gue udah minta maaf. Gue pulang duluan." Nesya bangkit dan segera berjalan menuju mobilnya.

"Gimana gue bisa mastiin kalo lo bener-bener pulang?"

Nesya terdiam, ia menghentikan langkahnya. Kemudian ia berbalik menatap Rey yang ternyata juga sedang menatapnya.

"Bukan urusan lo Rey."

Nesya melanjutkan langkahnya, ia sudah memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengan makhluk bernama Raelando Wirawan. Selamanya.

• • • •

Sekitar pukul 12 malam Nesya sampai di rumahnya, ia tidak perduli lagi siapa yang berada di rumahnya sekarang.

"Persetan sama lo," Nesya menggumam.

Kemudian ia membuka pintu rumahnya dengan kasar, mobil ibunya tidak ada di garasi tadi berarti ibunya belum pulang.

"Baru pulang kak?"

Nesya menghentikan langkahnya, suara itu. Ternyata dia belum pulang, ia menengok untuk mencari suara yang membuatnya menghentikan langkah itu.

"Ngapain lo dirumah gue?" Nesya sengaja menekankan kata 'dirumah gue'.

"Ini rumah aku juga kak,"

Nesya memutar bola matanya jengah, "Semenjak lo mutusin buat ikut lelaki brengsek itu, gue udah nggak anggep lo siapa-siapa. Bagi gue, cuman ada bunda dan gue."

"Jangan sebut papa brengsek kak!" gadis itu memekik.

Nesya melipat kedua tangannya di depan dada. "Dia bokap lo, bukan bokap gue."

"Jangan sebut papa begitu kak!"

Nesya mendorong gadis itu agar menjauh, "Keluar dari rumah gue!"

Gadis itu menggeleng, "Kenapa aku harus keluar? Ini rumah aku juga, aku juga punya hak di sini!"

Nesya semakin naik pitam, "Semenjak lo sama si brengsek itu mutusin buat pergi, ninggalin gue sama bunda, kalian udah gue anggap mati!"

"Aku ikut papa karena menurut aku papa benar!" gadis itu berteriak sama seperti Nesya.

"Benar? Dimana otak lo?" Nesya mendorong tubuh gadis yang mengaku sebagai adiknya itu.

"Papa itu benar!" gadis balas mendorong tubuh Nesya.

"NGEJUAL ANAK KANDUNG SENDIRI BUAT HARTA, BENAR KATA LO?" Nesya sudah naik pitam.

Gadis itu terdiam.

"KENAPA LO DIEM HAH? KENAPA!" Nesya mendorong tubuh gadis itu sampai keluar dari rumahnya.

"Gue ini adik lo kak! Dan, dia itu bokap lo! Jangan seenaknya lo ngusir gue dari sini!"

"Terakhir kali, gue bilang. Bagi.gue.lo.berdua.udah.mati" Nesya hendak menutup pintu, namun sebelum itu ia mengatakan sesuatu.

"Bagi gue, Tiara Grecindya dan Hanz Bramantyo itu udah mati."

----------------------------------------------------------

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel