Bab 4
"Marah bisa di hilangkan, sayangnya kecewa tidak."
Lantunan musik mengalun di telinga Rey melalui earphone, tidak biasanya lelaki itu menyendiri sembari mendengarkan musik seperti sekarang ini.
Turn every situation into Heaven, yeah
Oh, you are
My sunrise on the darkest day
Got me feelin' some kind of way
Make me wanna savor every moment slowly, slowly
Entah mengapa, saat mendengarkan lirik demi lirik lagu itu di otak Rey terbayang wajah Nesya.
Sudah seminggu semenjak kejadian bertengkarnya mereka berdua di panti asuhan, dan seminggu pula mereka tidak pernah berbicara. Padahal mereka duduk sebangku.
Memang dari awal mereka berdua jarang bicara, itu karena Rey. Lelaki itu tidak pernah menjawab pertanyaan yang ditanyakan Nesya, walaupun itu seputar tentang pelajaran.
Namun, keadaan berbanding terbalik sekarang. Jika biasanya Rey selalu menatap Nesya dengan tatapan tajam, sekarang malah Nesya yang selalu menatap Rey dengan penuh kebencian.
Seharusnya Rey senang, karena dari awal ia sudah merencanakan untuk membuat Nesya menjauh darinya. Karena, Rey merasa melihat diri Tiara ada didalam Nesya.
Munafik.
Tidak dapat di pungkiri, pemikiran Rey tentang semua wanita yang mendekatinya hanya mengincar hartanya terlalu dangkal.
Jika diingat-ingat, Nesya bahkan tidak pernah menatap Rey seperti perempuan lain yang selama ini mengejarnya.
"Bodo amat lah." Rey mengacak rambutnya frustasi. Sekarang ia dirundungi perasaan bersalah, entah mengapa rasanya ia tidak pantas berbicara seperti itu kepada Nesya.
Mau bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasan Rey untuk tidak mengerem apa yang keluar dari mulutnya. Jika sudah masalah perempuan, entah mengapa rasanya mulut Rey seperti habis di beri 100kg cabai. Pedas.
•
Pagi ini, seperti biasa Nesya selalu bangun dengan cepat. Langsung melangkahkan kakinya untuk mandi, dan segera bersiap untuk pergi ke sekolah.
Sudah setahun Nesya off bersekolah, karena sesuatu hal yang membuatnya trauma dengan sekolah sehingga dirinya memutuskan untuk pindah kota dan juga sekolah.
Pengalaman yang membuat Nesya untuk tidak mudah percaya dengan siapapun, untuk sekedar berteman mungkin Nesya bisa.
Seperti Tasya, trauma Nesya tidak berlaku untuk Tasya. Karena penyebab traumanya adalah lelaki. Bahkan saat Jordan mengajaknya ke kantin waktu itu, Nesya ingin menolak tapi perutnya tidak.
Saat Nesya melihat teman sebangkunya---Rey. Awalnya ia ingin menolak, namun saat ia melihat tatapan tidak suka dari Rey membuat Nesya ingin tetap bertahan.
Kalau tidak suka pada dirinya, tidak mungkin lelaki itu sampai berani macam-macam. Pikirnya.
Setelah selesai bersiap, Nesya segera turun dari kamarnya yang terletak di lantai 2 rumahnya. Menuju meja makan untuk sarapan, seperti biasa hanya dirinya dan sejumlah makanan yang terbilang banyak.
Nesya mendengus kesal, setiap pagi selalu seperti ini. Bundanya selalu menyiapkan makanan yang banyak, padahal di rumah ini mereka hanya hidup bertiga. Nesya,Bunda dan bi Narti.
"Bibi." Nesya memekik memanggil bi Narti yang berada di dapur.
Bi Narti kemudian datang tergopoh-gopoh untuk menghampiri Nesya yang sudah duduk di meja makan.
"Iya, Non?"
"Temenin Nesya makan, bibi duduk di situ." Nesya menunjuk bangku di sampingnya dengan dagunya.
Bi Narti menurut saja, ia juga merasa kasihan dengan anak majikannya itu. Setiap hari di tinggal sendiri, sampai harus bermain ke panti asuhan untuk menghilangkan bosannya.
Mereka berdua makan dengan tenang, saat sudah selesai tiba-tiba bi Narti teringat sesuatu. Namun, ia sedikit ragu untuk mengatakannya.
"No-non," panggilnya dengan terbata-bata.
"Kenapa, Bi?" Nesya menegak segelas susu yang ada dihadapannya.
"Tadi, dia nelpon."
Nesya langsung terpaku, orang itu. Orang yang paling di bencinya, kini kembali lagi.
"Kalo dia nelpon lagi, langsung matiin. Kalau dia datang ke rumah, jangan dibukain. Nesya berangkat dulu."
Nesya bangkit dari posisi duduknya, tidak seperti biasanya. Kali ini ia menyambar kunci mobil miliknya, yang sudah lama sekali tidak pernah digunakan.
Mobil bercat putih tulang itu, nampak berdebu. Sudah lama sekali terparkir rapi di dalam garasi rumahnya, banyak sekali kenangan di mobil itu.
Nesya tersenyum miring sembari menggumam "Balik lagi, lo."
• • • •
Suasana kelas 11 Mipa 1 sedang ramai, ini karena bu Kinan---guru killer sedang tidak masuk.
Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh, bagaimana tidak? Sehabis berpanas-panasan upacara, lalu teringat akan ujian kimia, saat jantung sedang berdegup kencang menanti sang guru untuk datang.
Ternyata gurunya tidak jadi hadir.
Jordan, sang ketua kelas menyuruh teman-temannya untuk diam. Karena perintah dari bu Kinan, jika mereka ribut maka akan dikenakan hukuman untuk berdiri dibawah tiang bendera dari jam 10 sampai jam 2 siang.
"Kalo lo semua nggak mau dijemur, mending diem." pandangan Jordan lurus menatap tajam ke arah 5R yang sedang asik bercanda.
Sepertinya mereka tidak mendengarkan perintah Jordan, membuat lelaki itu jengkel. Tiba-tiba, Jordan menggebrak meja dan seketika seluruh siswa maupun siswi terdiam.
"Gue bilang diem, punya kuping nggak sih?!" Jordan menatap ke seluruh kelasnya, "gue nggak mau sampe harus dipanggil ke bp lagi, cuman gara-gara lo semua nggak bisa diatur."
Saat seluruh siswa terdiam, Jordan kembali duduk di bangkunya. Untuk kembali membaca halaman demi halaman buku yang belum selesai dibacanya.
"Jordan galak ya, Sya?" bisik Nesya yang kini sedang duduk di samping Tasya.
"Emang gitu, dia 'kan ketua kelas, Nes. Tapi aslinya baik banget kok, beda banget sama temen sebangku lo itu." Tasya menunjuk Rey yang sedang bercanda dengan teman-temannya dengan dagunya.
"Rey? Kenapa?" Nesya ikut memperhatikan Rey yang tengah bermain dengan 5 R di sudut belakang kelas.
"Dia itu, kasar banget sama cewek. Idih, gue mah ogah punya cowok kayak gitu. Ada aja cewek yang selalu ngejar-ngejar dia." Tasya bergidik geli.
Dahi Nesya mengernyit, "Emang siapa yang mau ngejar-ngejar cowok kayak gitu?"
Tasya nampak berpikir sebentar, setelah itu ia terkekeh geli.
"Si Angel tuh, anak kelas sebelah. Benalu-nya si Rey."
"Benalu?" Nesya mengangkat sebelah alisnya.
"Iya, nempel mulu. Bahkan kemaren sampe ngamuk sama kepala sekolah, gara-gara nggak dibolehin pindah ke kelas ini." Tasya terkekeh geli.
"Kok gue bisa masuk sini, ya?" Nesya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya bisa lah, Angel 'kan nggak bisa pindah ke kelas ini gara-gara mamahnya Rey."
"Kok bisa?" Nesya mengernyitkan dahinya.
"Mamahnya Rey, nggak suka sama cewek kaya Angel. Masa waktu pengambilan rapot dulu, si Angel nyium Rey di depan Mama Papanya."
"Hah? Nyium?" Nesya membelalakan matanya.
"Iya, di pipinya Rey. Terus lo tau apa yang terjadi? Angel ditampar sama Mamanya Rey," Tasya terkikik geli.
"Di-di tampar?" Nesya tiba-tiba gagap.
Tasya mengangguk antusias "Iya, sampe mau dikeluarin juga. Tapi orang tua Angel donatur terbesar kedua disini, jadi ya dia nggak bisa di drop out."
Nesya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kehidupan Rey juga ternyata tidak sempurna, lalu ada hak apa lelaki itu berani menghakiminya?
------------------------------------------------------------
"Marah bisa di hilangkan, sayangnya kecewa tidak."
Lantunan musik mengalun di telinga Rey melalui earphone, tidak biasanya lelaki itu menyendiri sembari mendengarkan musik seperti sekarang ini.
Turn every situation into Heaven, yeah
Oh, you are
My sunrise on the darkest day
Got me feelin' some kind of way
Make me wanna savor every moment slowly, slowly
Entah mengapa, saat mendengarkan lirik demi lirik lagu itu di otak Rey terbayang wajah Nesya.
Sudah seminggu semenjak kejadian bertengkarnya mereka berdua di panti asuhan, dan seminggu pula mereka tidak pernah berbicara. Padahal mereka duduk sebangku.
Memang dari awal mereka berdua jarang bicara, itu karena Rey. Lelaki itu tidak pernah menjawab pertanyaan yang ditanyakan Nesya, walaupun itu seputar tentang pelajaran.
Namun, keadaan berbanding terbalik sekarang. Jika biasanya Rey selalu menatap Nesya dengan tatapan tajam, sekarang malah Nesya yang selalu menatap Rey dengan penuh kebencian.
Seharusnya Rey senang, karena dari awal ia sudah merencanakan untuk membuat Nesya menjauh darinya. Karena, Rey merasa melihat diri Tiara ada didalam Nesya.
Munafik.
Tidak dapat di pungkiri, pemikiran Rey tentang semua wanita yang mendekatinya hanya mengincar hartanya terlalu dangkal.
Jika diingat-ingat, Nesya bahkan tidak pernah menatap Rey seperti perempuan lain yang selama ini mengejarnya.
"Bodo amat lah." Rey mengacak rambutnya frustasi. Sekarang ia dirundungi perasaan bersalah, entah mengapa rasanya ia tidak pantas berbicara seperti itu kepada Nesya.
Mau bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasan Rey untuk tidak mengerem apa yang keluar dari mulutnya. Jika sudah masalah perempuan, entah mengapa rasanya mulut Rey seperti habis di beri 100kg cabai. Pedas.
•
Pagi ini, seperti biasa Nesya selalu bangun dengan cepat. Langsung melangkahkan kakinya untuk mandi, dan segera bersiap untuk pergi ke sekolah.
Sudah setahun Nesya off bersekolah, karena sesuatu hal yang membuatnya trauma dengan sekolah sehingga dirinya memutuskan untuk pindah kota dan juga sekolah.
Pengalaman yang membuat Nesya untuk tidak mudah percaya dengan siapapun, untuk sekedar berteman mungkin Nesya bisa.
Seperti Tasya, trauma Nesya tidak berlaku untuk Tasya. Karena penyebab traumanya adalah lelaki. Bahkan saat Jordan mengajaknya ke kantin waktu itu, Nesya ingin menolak tapi perutnya tidak.
Saat Nesya melihat teman sebangkunya---Rey. Awalnya ia ingin menolak, namun saat ia melihat tatapan tidak suka dari Rey membuat Nesya ingin tetap bertahan.
Kalau tidak suka pada dirinya, tidak mungkin lelaki itu sampai berani macam-macam. Pikirnya.
Setelah selesai bersiap, Nesya segera turun dari kamarnya yang terletak di lantai 2 rumahnya. Menuju meja makan untuk sarapan, seperti biasa hanya dirinya dan sejumlah makanan yang terbilang banyak.
Nesya mendengus kesal, setiap pagi selalu seperti ini. Bundanya selalu menyiapkan makanan yang banyak, padahal di rumah ini mereka hanya hidup bertiga. Nesya,Bunda dan bi Narti.
"Bibi." Nesya memekik memanggil bi Narti yang berada di dapur.
Bi Narti kemudian datang tergopoh-gopoh untuk menghampiri Nesya yang sudah duduk di meja makan.
"Iya, Non?"
"Temenin Nesya makan, bibi duduk di situ." Nesya menunjuk bangku di sampingnya dengan dagunya.
Bi Narti menurut saja, ia juga merasa kasihan dengan anak majikannya itu. Setiap hari di tinggal sendiri, sampai harus bermain ke panti asuhan untuk menghilangkan bosannya.
Mereka berdua makan dengan tenang, saat sudah selesai tiba-tiba bi Narti teringat sesuatu. Namun, ia sedikit ragu untuk mengatakannya.
"No-non," panggilnya dengan terbata-bata.
"Kenapa, Bi?" Nesya menegak segelas susu yang ada dihadapannya.
"Tadi, dia nelpon."
Nesya langsung terpaku, orang itu. Orang yang paling di bencinya, kini kembali lagi.
"Kalo dia nelpon lagi, langsung matiin. Kalau dia datang ke rumah, jangan dibukain. Nesya berangkat dulu."
Nesya bangkit dari posisi duduknya, tidak seperti biasanya. Kali ini ia menyambar kunci mobil miliknya, yang sudah lama sekali tidak pernah digunakan.
Mobil bercat putih tulang itu, nampak berdebu. Sudah lama sekali terparkir rapi di dalam garasi rumahnya, banyak sekali kenangan di mobil itu.
Nesya tersenyum miring sembari menggumam "Balik lagi, lo."
• • • •
Suasana kelas 11 Mipa 1 sedang ramai, ini karena bu Kinan---guru killer sedang tidak masuk.
Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh, bagaimana tidak? Sehabis berpanas-panasan upacara, lalu teringat akan ujian kimia, saat jantung sedang berdegup kencang menanti sang guru untuk datang.
Ternyata gurunya tidak jadi hadir.
Jordan, sang ketua kelas menyuruh teman-temannya untuk diam. Karena perintah dari bu Kinan, jika mereka ribut maka akan dikenakan hukuman untuk berdiri dibawah tiang bendera dari jam 10 sampai jam 2 siang.
"Kalo lo semua nggak mau dijemur, mending diem." pandangan Jordan lurus menatap tajam ke arah 5R yang sedang asik bercanda.
Sepertinya mereka tidak mendengarkan perintah Jordan, membuat lelaki itu jengkel. Tiba-tiba, Jordan menggebrak meja dan seketika seluruh siswa maupun siswi terdiam.
"Gue bilang diem, punya kuping nggak sih?!" Jordan menatap ke seluruh kelasnya, "gue nggak mau sampe harus dipanggil ke bp lagi, cuman gara-gara lo semua nggak bisa diatur."
Saat seluruh siswa terdiam, Jordan kembali duduk di bangkunya. Untuk kembali membaca halaman demi halaman buku yang belum selesai dibacanya.
"Jordan galak ya, Sya?" bisik Nesya yang kini sedang duduk di samping Tasya.
"Emang gitu, dia 'kan ketua kelas, Nes. Tapi aslinya baik banget kok, beda banget sama temen sebangku lo itu." Tasya menunjuk Rey yang sedang bercanda dengan teman-temannya dengan dagunya.
"Rey? Kenapa?" Nesya ikut memperhatikan Rey yang tengah bermain dengan 5 R di sudut belakang kelas.
"Dia itu, kasar banget sama cewek. Idih, gue mah ogah punya cowok kayak gitu. Ada aja cewek yang selalu ngejar-ngejar dia." Tasya bergidik geli.
Dahi Nesya mengernyit, "Emang siapa yang mau ngejar-ngejar cowok kayak gitu?"
Tasya nampak berpikir sebentar, setelah itu ia terkekeh geli.
"Si Angel tuh, anak kelas sebelah. Benalu-nya si Rey."
"Benalu?" Nesya mengangkat sebelah alisnya.
"Iya, nempel mulu. Bahkan kemaren sampe ngamuk sama kepala sekolah, gara-gara nggak dibolehin pindah ke kelas ini." Tasya terkekeh geli.
"Kok gue bisa masuk sini, ya?" Nesya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya bisa lah, Angel 'kan nggak bisa pindah ke kelas ini gara-gara mamahnya Rey."
"Kok bisa?" Nesya mengernyitkan dahinya.
"Mamahnya Rey, nggak suka sama cewek kaya Angel. Masa waktu pengambilan rapot dulu, si Angel nyium Rey di depan Mama Papanya."
"Hah? Nyium?" Nesya membelalakan matanya.
"Iya, di pipinya Rey. Terus lo tau apa yang terjadi? Angel ditampar sama Mamanya Rey," Tasya terkikik geli.
"Di-di tampar?" Nesya tiba-tiba gagap.
Tasya mengangguk antusias "Iya, sampe mau dikeluarin juga. Tapi orang tua Angel donatur terbesar kedua disini, jadi ya dia nggak bisa di drop out."
Nesya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kehidupan Rey juga ternyata tidak sempurna, lalu ada hak apa lelaki itu berani menghakiminya?
------------------------------------------------------------