Bab 10
"But if you broken, you don't have to stay broken."
"Ini adalah formulir untuk study tour ke pulau dewata, Bali. Nanti kalian isi, dan di kumpul besok." bu Nani membagikan selembaran kertas formulir itu kepada seluruh siswa.
"Sudah dapat semua?"
"Sudah, Bu," jawab seluruh murid serempak.
"Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan pelajaran kemarin. Buka bab 13 tentang Kerumunan."
Semua siswa membuka buku Sosiologi mereka masing-masing dan mulai membacanya, berbeda dengan Nesya, gadis itu bingung karena buku miliknya belum selesai di-fotocopy.
"Ini cowok nggak peka banget sih," gerutu Nesya, Rey daritadi sibuk memperhatikan apa yang di terangkan oleh bu Nani. Tanpa sadar bahwa teman di sebelahnya tidak memiliki buku.
Jadilah sekarang, Nesya selalu mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Rey agar lebih mudah untuk membaca isi buku paket itu.
Merasa aneh, Rey segera menengok ke samping. Ia terkejut melihat Nesya yang sedang mengintip isi bukunya. Dengan secepat kilat, Rey langsung menutup buku itu dan menatap Nesya tajam.
"Nyontek, ya?!" hardik Rey.
"Nyontek apaan, emang lagi ngerjain soal?" gerutu Nesya.
"Buktinya, lo ngintip-ngintip buku gue."
Nesya memutar bola matanya jengah, "Buku gue belum selesai di-fotocopy, lo nggak peka banget sih! Bukannya digeser itu buku, malah ditutup, dituduh nyontek pula."
"Ya bilang dong, kalo lo diem aja mana gue paham."
"Lo, peka dong. Idih,"
"Nggak semua cowok itu peka, bahkan lo nggak ngasih kode," ujar Rey tidak terima.
"Yaudah si, tinggal lo buka aja bukunya. Ribet amat," cibir Nesya.
Tidak ingin berdebat lagi, lantas Rey membuka buku paket dan menaruhnya di tengah-tengah mejanya dan Nesya agar dapat mereka baca bersama.
•
"Bunda, aku kangen."
Gadis itu lantas berlari memeluk seorang wanita yang di panggilnya Bunda itu.
"Tiara?" Citra---bunda dari gadis itu nampak terkejut akan kehadiran putri keduanya itu.
"Kenapa bunda? You wanna push me like my twins ignore me?" ujar gadis itu sembari menatap manik mata teduh milik sang bunda.
"Enggak sayang, tapi, Bunda kaget. Kamu kok bisa di sini?"
"Aku sadar Bunda, Tiara salah. Karena gaya hidup Tiara yang nggak bisa jauh dari uang, Tiara lebih milih ikut ayah daripada sama Bunda," raut wajah gadis itu sangat sedih sekarang.
"Engga pa-pa, Sayang. Yang penting sekarang kamu udah balik lagi ke sini," balas Bundanya seraya memeluk erat Tiara.
"Bohong!" pekik Nesya dari atas tangga, gadis itu bergerak turun sembari berlari kecil. "Lo, balik lagi gara-gara ayah bangkrut 'kan?!"
Tiara menggeleng, setitik air mata mengalir di pipinya.
"Enggak kak, aku beneran udah sadar. Aku salah, aku minta maaf sama kakak," ujar Tiara tersedu-sedu.
"Alah! Gue nggak butuh airmata palsu lo itu, gue tau siapa lo Tiara. 15 tahun gue hidup sama lo, kita kembar, gue tau apa yang lo rasain. Dan, hati gue sekarang bilang kalo lo itu bohong!"
Citra berusaha menengahi adu mulut di antara kedua putri kembarnya ini, "Nesya sayang, jangan begitu. Tiara mungkin udah bener-bener menyesal, sayang. Kasih dia kesempatan kedua."
"Enggak, Bun! Dia balik ke sini gara-gara sekarang kita udah kayak dulu lagi, keuangan kita udah stabil lagi. Sedangkan dia sama ayah, harus jual diri dulu baru bisa foya-foya!"
"Kakak, kenapa kakak mikir kayak gitu? Apa aku nggak berhak, dapat kesempatan kedua?" lirih Tiara dengan airmata yang terus saja mengalir di pipinya.
Nesya berdecak sebal, "Cukup Tiara, jangan drama. Gue nggak ada waktu buat ngurusin orang kayak lo."
"Udah-udah, Bunda mohon. Kalian jangan bertengkar, kalian berdua bersaudara." Citra memohon, airmatanya perlahan ikut turun membanjiri pipi tirusnya.
"Bunda, jangan nangis. Nesya nggak suka!" Nesya bergerak menghapus airmata yang mengalir di pipi bundanya.
"Kalau kamu nggak mau bunda nangis, ayo damai sama kembaran kamu." Citra menatap mata putri pertamanya itu lekat-lekat.
Nesya menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, "Oke."
Citra dan Tiara berpelukan saat mendengar jawaban dari Nesya, namun sedetik kemudian, mereka mematung.
"Dengan syarat, dia nggak boleh tinggal di sini."
"Nggak pa-pa kok kak, Bun. Tiara nggak harus tinggal di rumah ini, yang penting kalian udah maafin Tiara." gadis itu tersenyum getir, kemudian ia melangkahkan kakinya untuk pergi keluar dari rumah ini.
"Tunggu Tiara." Citra menarik Nesya, "kalian berdua, tinggal di sini sama bunda. Nggak ada yang pergi!" cetus Citra final.
"Maaf bunda, aku nggak bisa tinggal serumah sama dia," ujar Nesya datar, kemudian ia menatap Tiara dengan tajam.
"Bunda, jangan begitu. Tiara nggak pa-pa." Tiara tersenyum simpul untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Enggak Tiara, selama ini bunda pikir kamu yang egois. Ternyata bunda salah." Citra menatap Nesya dengan tajam. "Ini rumah bunda, peraturan bunda, kalau ada yang keberatan, silahkan keluar."
Nesya membelalakan matanya, barusan bundanya berkata seperti itu sembari menatapnya. Secara tersirat, baru saja ia telah diusir dari rumahnya sendiri. Dan, yang lebih menyakitkan orang yang satu-satunya ia miliki yang mengusirnya.
"Bunda ngusir, Nesya? Oke!"
Nesya langsung berlari ke kamarnya, mengambil koper besar, memasukan semua barang-barang yang di perlukan setelah itu menyambar kunci mobil dan dompetnya.
Setelah selesai, ia kembali turun dan bersiap akan pergi. Bunda dan Tiara masih berada di pintu menatapnya dengan mulut ternganga.
"Puas lo? Buat apa lo balik lagi, kalau cuman buat ngehancurin rumah ini lagi?" Nesya menatap Tiara dengan sinis.
"Ini yang bunda mau 'kan? Makasih karena bunda udah milih orang yang nggak pernah milih bunda, semua Atm yang bunda kasih, udah Nesya taruh di kamar. Untuk mobil, berhubung Nesya beli sendiri jadi Nesya bawa."
Tanpa basa basi lagi, Nesya langsung pergi sembari menyeret kopernya. Ia memasukannya ke dalam mobilnya dan segera melenggang pergi, entah kemana.
"Bunda, maafin Tiara, seharusnya Tiara nggak usah balik lagi ...," lirih Tiara seraya terisak.
Citra bergerak untuk memeluk putrinya yang baru saja kembali itu dengan sangat erat, tangannya mengusap punggung Tiara untuk menenangkannya.
"Nggak pa-pa, Sayang. Bunda percaya, Nesya bisa jaga diri."
Seulas senyum terlukis di bibir Tiara, terima kasih kembaran ku, ke egoisan lo secara tidak sengaja bikin gue jadi lebih dekat dengan misi gue.
•
Panti asuhan, Nesya melajukan mobilnya kesana. Dengan kecepatan tinggi, mobilnya membelah jalanan pada petang itu. Airmatanya terus mengalir, rasanya ia ingin mati saja.
Hanya satu orang yang dimiliki Nesya di dunia ini, dan itu adalah Bundanya. Namun, sekarang bunda sudah mengusirnya. Untuk apa sekarang ia hidup?
"Bunda ...." Nesya menggigit bibir bawahnya yang bergetar, air matanya sudah mengalir deras membanjiri pipi chubynya.
Sekitar 20 menit kemudian, Nesya sampai di Panti asuhan. Ia menatap penampilannya di kaca spion mobil, nampak berantakan. Tangannya bergerak untuk menarik tissu untuk menghapus airmata dan ingusnya.
Matanya merah, hidungnya merah. Nesya mencoba untuk tertawa agar ia dapat menyembunyikan bahwa ia habis menangis, namun semakin ia mencoba menyembunyikannya airmatanya malah mulai mengalir lagi.
Rasanya ia tidak sanggup untuk berkunjung ke sini dengan keadaannya yang sedang buruk seperti sekarang.
Nesya merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel, mengutak atik ponsel itu sebentar, lalu ia menempelkannya di telinga kirinya.
"Hallo?" sapa Nesya dengan suara bergetar.
"Nesya? Kenapa? suara lo kayak abis nangis?"
"Tasya, gue butuh tempat buat nginap malam ini."
"Ke rumah gue aja, nggak pa-pa. Orang tua gue lagi nggak ada, lo tau kan alamatnya?"
"Iya, gue kesana sekarang ya."
"Hati-hati ya, jangan ngebut."
Panggilan berakhir, pesan terakhir Tasya tidak di gubris oleh Nesya. Nyatanya, gadis itu sedang melaju dengan kecepatan tinggi.
"But if you broken, you don't have to stay broken."
"Ini adalah formulir untuk study tour ke pulau dewata, Bali. Nanti kalian isi, dan di kumpul besok." bu Nani membagikan selembaran kertas formulir itu kepada seluruh siswa.
"Sudah dapat semua?"
"Sudah, Bu," jawab seluruh murid serempak.
"Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan pelajaran kemarin. Buka bab 13 tentang Kerumunan."
Semua siswa membuka buku Sosiologi mereka masing-masing dan mulai membacanya, berbeda dengan Nesya, gadis itu bingung karena buku miliknya belum selesai di-fotocopy.
"Ini cowok nggak peka banget sih," gerutu Nesya, Rey daritadi sibuk memperhatikan apa yang di terangkan oleh bu Nani. Tanpa sadar bahwa teman di sebelahnya tidak memiliki buku.
Jadilah sekarang, Nesya selalu mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Rey agar lebih mudah untuk membaca isi buku paket itu.
Merasa aneh, Rey segera menengok ke samping. Ia terkejut melihat Nesya yang sedang mengintip isi bukunya. Dengan secepat kilat, Rey langsung menutup buku itu dan menatap Nesya tajam.
"Nyontek, ya?!" hardik Rey.
"Nyontek apaan, emang lagi ngerjain soal?" gerutu Nesya.
"Buktinya, lo ngintip-ngintip buku gue."
Nesya memutar bola matanya jengah, "Buku gue belum selesai di-fotocopy, lo nggak peka banget sih! Bukannya digeser itu buku, malah ditutup, dituduh nyontek pula."
"Ya bilang dong, kalo lo diem aja mana gue paham."
"Lo, peka dong. Idih,"
"Nggak semua cowok itu peka, bahkan lo nggak ngasih kode," ujar Rey tidak terima.
"Yaudah si, tinggal lo buka aja bukunya. Ribet amat," cibir Nesya.
Tidak ingin berdebat lagi, lantas Rey membuka buku paket dan menaruhnya di tengah-tengah mejanya dan Nesya agar dapat mereka baca bersama.
•
"Bunda, aku kangen."
Gadis itu lantas berlari memeluk seorang wanita yang di panggilnya Bunda itu.
"Tiara?" Citra---bunda dari gadis itu nampak terkejut akan kehadiran putri keduanya itu.
"Kenapa bunda? You wanna push me like my twins ignore me?" ujar gadis itu sembari menatap manik mata teduh milik sang bunda.
"Enggak sayang, tapi, Bunda kaget. Kamu kok bisa di sini?"
"Aku sadar Bunda, Tiara salah. Karena gaya hidup Tiara yang nggak bisa jauh dari uang, Tiara lebih milih ikut ayah daripada sama Bunda," raut wajah gadis itu sangat sedih sekarang.
"Engga pa-pa, Sayang. Yang penting sekarang kamu udah balik lagi ke sini," balas Bundanya seraya memeluk erat Tiara.
"Bohong!" pekik Nesya dari atas tangga, gadis itu bergerak turun sembari berlari kecil. "Lo, balik lagi gara-gara ayah bangkrut 'kan?!"
Tiara menggeleng, setitik air mata mengalir di pipinya.
"Enggak kak, aku beneran udah sadar. Aku salah, aku minta maaf sama kakak," ujar Tiara tersedu-sedu.
"Alah! Gue nggak butuh airmata palsu lo itu, gue tau siapa lo Tiara. 15 tahun gue hidup sama lo, kita kembar, gue tau apa yang lo rasain. Dan, hati gue sekarang bilang kalo lo itu bohong!"
Citra berusaha menengahi adu mulut di antara kedua putri kembarnya ini, "Nesya sayang, jangan begitu. Tiara mungkin udah bener-bener menyesal, sayang. Kasih dia kesempatan kedua."
"Enggak, Bun! Dia balik ke sini gara-gara sekarang kita udah kayak dulu lagi, keuangan kita udah stabil lagi. Sedangkan dia sama ayah, harus jual diri dulu baru bisa foya-foya!"
"Kakak, kenapa kakak mikir kayak gitu? Apa aku nggak berhak, dapat kesempatan kedua?" lirih Tiara dengan airmata yang terus saja mengalir di pipinya.
Nesya berdecak sebal, "Cukup Tiara, jangan drama. Gue nggak ada waktu buat ngurusin orang kayak lo."
"Udah-udah, Bunda mohon. Kalian jangan bertengkar, kalian berdua bersaudara." Citra memohon, airmatanya perlahan ikut turun membanjiri pipi tirusnya.
"Bunda, jangan nangis. Nesya nggak suka!" Nesya bergerak menghapus airmata yang mengalir di pipi bundanya.
"Kalau kamu nggak mau bunda nangis, ayo damai sama kembaran kamu." Citra menatap mata putri pertamanya itu lekat-lekat.
Nesya menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, "Oke."
Citra dan Tiara berpelukan saat mendengar jawaban dari Nesya, namun sedetik kemudian, mereka mematung.
"Dengan syarat, dia nggak boleh tinggal di sini."
"Nggak pa-pa kok kak, Bun. Tiara nggak harus tinggal di rumah ini, yang penting kalian udah maafin Tiara." gadis itu tersenyum getir, kemudian ia melangkahkan kakinya untuk pergi keluar dari rumah ini.
"Tunggu Tiara." Citra menarik Nesya, "kalian berdua, tinggal di sini sama bunda. Nggak ada yang pergi!" cetus Citra final.
"Maaf bunda, aku nggak bisa tinggal serumah sama dia," ujar Nesya datar, kemudian ia menatap Tiara dengan tajam.
"Bunda, jangan begitu. Tiara nggak pa-pa." Tiara tersenyum simpul untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Enggak Tiara, selama ini bunda pikir kamu yang egois. Ternyata bunda salah." Citra menatap Nesya dengan tajam. "Ini rumah bunda, peraturan bunda, kalau ada yang keberatan, silahkan keluar."
Nesya membelalakan matanya, barusan bundanya berkata seperti itu sembari menatapnya. Secara tersirat, baru saja ia telah diusir dari rumahnya sendiri. Dan, yang lebih menyakitkan orang yang satu-satunya ia miliki yang mengusirnya.
"Bunda ngusir, Nesya? Oke!"
Nesya langsung berlari ke kamarnya, mengambil koper besar, memasukan semua barang-barang yang di perlukan setelah itu menyambar kunci mobil dan dompetnya.
Setelah selesai, ia kembali turun dan bersiap akan pergi. Bunda dan Tiara masih berada di pintu menatapnya dengan mulut ternganga.
"Puas lo? Buat apa lo balik lagi, kalau cuman buat ngehancurin rumah ini lagi?" Nesya menatap Tiara dengan sinis.
"Ini yang bunda mau 'kan? Makasih karena bunda udah milih orang yang nggak pernah milih bunda, semua Atm yang bunda kasih, udah Nesya taruh di kamar. Untuk mobil, berhubung Nesya beli sendiri jadi Nesya bawa."
Tanpa basa basi lagi, Nesya langsung pergi sembari menyeret kopernya. Ia memasukannya ke dalam mobilnya dan segera melenggang pergi, entah kemana.
"Bunda, maafin Tiara, seharusnya Tiara nggak usah balik lagi ...," lirih Tiara seraya terisak.
Citra bergerak untuk memeluk putrinya yang baru saja kembali itu dengan sangat erat, tangannya mengusap punggung Tiara untuk menenangkannya.
"Nggak pa-pa, Sayang. Bunda percaya, Nesya bisa jaga diri."
Seulas senyum terlukis di bibir Tiara, terima kasih kembaran ku, ke egoisan lo secara tidak sengaja bikin gue jadi lebih dekat dengan misi gue.
•
Panti asuhan, Nesya melajukan mobilnya kesana. Dengan kecepatan tinggi, mobilnya membelah jalanan pada petang itu. Airmatanya terus mengalir, rasanya ia ingin mati saja.
Hanya satu orang yang dimiliki Nesya di dunia ini, dan itu adalah Bundanya. Namun, sekarang bunda sudah mengusirnya. Untuk apa sekarang ia hidup?
"Bunda ...." Nesya menggigit bibir bawahnya yang bergetar, air matanya sudah mengalir deras membanjiri pipi chubynya.
Sekitar 20 menit kemudian, Nesya sampai di Panti asuhan. Ia menatap penampilannya di kaca spion mobil, nampak berantakan. Tangannya bergerak untuk menarik tissu untuk menghapus airmata dan ingusnya.
Matanya merah, hidungnya merah. Nesya mencoba untuk tertawa agar ia dapat menyembunyikan bahwa ia habis menangis, namun semakin ia mencoba menyembunyikannya airmatanya malah mulai mengalir lagi.
Rasanya ia tidak sanggup untuk berkunjung ke sini dengan keadaannya yang sedang buruk seperti sekarang.
Nesya merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel, mengutak atik ponsel itu sebentar, lalu ia menempelkannya di telinga kirinya.
"Hallo?" sapa Nesya dengan suara bergetar.
"Nesya? Kenapa? suara lo kayak abis nangis?"
"Tasya, gue butuh tempat buat nginap malam ini."
"Ke rumah gue aja, nggak pa-pa. Orang tua gue lagi nggak ada, lo tau kan alamatnya?"
"Iya, gue kesana sekarang ya."
"Hati-hati ya, jangan ngebut."
Panggilan berakhir, pesan terakhir Tasya tidak di gubris oleh Nesya. Nyatanya, gadis itu sedang melaju dengan kecepatan tinggi.