Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

"Menjadi wanita jahat bukan lah hal yang sulit, lebih sulit menjadi wanita baik yang tak pernah dipercaya."

Ada yang berbeda dengan suasana rumah Rey pada pagi hari ini, jika biasanya mereka hanya sarapan berempat, kali ini ada Nesya.

Hari ini adalah hari sabtu, hari libur untuk SMA Golden. Karena mereka bersekolah sampai pukul setengah 5 petang, kecuali hari jum'at, jadilah sekarang setiap hati sabtu mereka libur.

Seperti biasa, si kecil Regitha selalu saja mengoceh tidak jelas. Jika biasanya hanya Eldy atau Zahra yang menanggapi celotehan Rere, namun kali ini ada Nesya yang selalu merespon celotehan Rere yang tidak jelas.

"Kakak cantik, jadi pacar abang Rey aja. Biar sering ke sini, terus Rere ada temennya. Nanti kita main salon-salonan." celoteh Rere santai dan direspon peletotan mata oleh Rey.

"Emang kalo mau main sama Rere harus jadi pacarnya abang Rey dulu, ya?" tanya Nesya.

Rey langsung terbatuk, dalam hatinya ia sudah mengeluarkan segala umpatannya. Sayang, di sini ada ayahnya. Jika tidak, sudah dari tadi kata-kata tidak berfaedah itu meluncur dari bibir Rey.

"Re, makan yang bener. Ingat 'kan? Temen abang yang meninggal gara-gara kesedak selai waktu ngomong sambil makan?"

Teguran yang selalu diberikan Rey jika menurutnya celotehan Rere sudah sangat berisik. Lagi pula, siapa yang bisa meninggal hanya karena tersedak selai? Mungkin bisa jadi, jika di dalam selai itu ada pecahan kaca.

"Abang ih, ngasih tau itu mulu. Kesel Rere jadinya." Rere meletakan sendok dan garpunya, kemudian melipat tangannya ke depan dada, menekuk muka dan memajukan bibirnya.

Ini cara Rere ngambek.

"Orang cuman ngingetin." Rey melanjutkan makannya dengan santai tanpa memperdulikan adiknya yang sedang ngambek di buatnya, yang penting Rere sudah diam.

Suasana rumah Rey sangat ramai sekarang, tentu saja karena ini adalah hari sabtu. Seperti biasa, para sahabat orang tuanya berkumpul untuk mengadakan acara kecil-kecilan khusus untuk mereka.

Tadinya Nesya ingin pulang karena merasa tidak enak berada di pertemuan keluarga seperti ini, sayangnya Zahra menahan Nesya agar tetap berada di sini.

Dan, jadilah sekarang dirinya membantu para mama untuk menyiapkan makanan. Terkadang mereka menggoda Nesya, dengan menyebutnya sebagai wanita pertama yang di bawa Rey ke rumah.

"Padahal dulu si Rey punya pacar, tapi nggak pernah dia bawa ke sini," ujar Tania yang sedang memotong bawang.

"Bukan Rey yang bawa Tan, gue yang nyuruh," sahut Zahra dari belakang.

"Elah, gue kira inisiatif bocahnya."

Mereka semua terkekeh geli, berbeda dengan Nesya yang pipinya terus merona entah mengapa.

Saat mereka sedang asik dengan kegiatan memasak, tiba-tiba Eldy datang sambil menggendong Regitha yang sedang menangis.

"Rere kenapa, sayang?" Zahra menghampiri putrinya yang sedang menangis di gendongan ayahnya itu.

"Nggak ada yang mau temenin Rere main berbie Ma, abang-abang sibuk. Kakak Aya nggak ada ...."

"Jangan nangis, dong." Zahra mengusap airmata yang terus mengalir dari pelupuk mata gadis kecilnya itu.

"Rere mau main berbie," rengek Rere, "sama kakak cantik."

"Sama kakak Nesya, ya?" tanya Zahra dan di balas anggukan oleh Rere.

Zahra kemudian berbalik untuk memanggil Nesya yang sedang asik memotong daging, gadis itu sepertinya tidak menyadari kalau Zahra sedang berada di depannya sekarang.

"Nesya?"

Yang dipanggil langsung mendongakan kepalanya, "Iya tante?"

"Temenin Rere main, ya? Abang-abangnya pada asik main PS."

Nesya mengangguk, "Iya tante, Nesya cuci tangan dulu."

Setelah mendapat anggukan, Nesya berlalu untuk mencuci tangannya yang kotor. Kemudian mengambil alih Rere yang berada di gendongan Eldy, untuk membawanya bermain.

Rere mengajak Nesya untuk bermain di kamarnya, saat ingin masuk ke kamar Rere, Nesya mendengar suara beberapa orang laki-laki sedang berteriak menyerukan suatu nama club sepak bola.

Sebelahan sama kamar Rey ternyata.

"Kakak, ayo masuk. Kenapa melamun?"

"Eh? Iya, yuk masuk." Nesya mengikuti Rere masuk ke dalam kamarnya.

"Anjir ah, gue bilang pas udah deket itu langsung pencet bulat!" hardik Rio pada Revin.

"Gue juga udah pencet bulet keles! Stiknya aja nih yang rusak!"

Selalu stik yang disalahkan saat kalah dalam bermain PS.

"Eh, stik gue baru! Bilang aja emang elo yang kaga bisa maen!" Rey mencibir Revin karena menyalahkan stiknya, padahal ia baru membeli stik itu dua hari yang lalu.

Revin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Kayaknya tadi gue pencet ini deh," ia menunjuk tombol berlambang kotak.

Setelah itu, Rio langsung menoyor kepala Revin sembari mengumpat kasar.

"Itu kotak bego! Udah gue bilang yang bulet juga, ah, pake acara nyalahin stik lagi." Rio mendesah kecil.

"Udah, emang nggak ada yang bisa ngalahin gue." Rey berujar sembari menepuk dadanya, bangga.

"Idih," cibir Rico.

"Pede banget lo, biasanya juga kaga mau ngomong," ujar Rio dengan nada mengejek.

"Bacot," sahut Rey.

"Eh!" Revin memekik, membuat mereka semua menatapnya heran."Gue baru nyadar, kok di sini ada Nesya?".

"Masa?" sahut Rio.

"Gue juga tadi liat dia di sini, siapa yang ngajak?" tandas Rico.

"Yaelah, lu semua bego atau gimana sih. Udah pasti yang ngajak yang punya rumah lah," celetuk Rasya sembari menatap Rey dengan senyuman jahilnya.

"Lah, bukannya lo paling anti sama cewek, Rey?" ujar Rio sembari menatap Rey.

"Wah, syukur deh, Rey. Gue sempat mikir, gara-gara sakit hati dikhianatin Tiara, lo bakalan jadi homo."

Rey menoyor kepala Rasya, "otak lo dangkal emang."

"Abis, lo sendiri yang pernah bilang. Kalo lo benci liat Nesya, soalnya lo kayak ngeliat Tiara."

Rey menggedikan bahu, "itu anak tiap ketemu gue, pasti dalam keadaan nggak baik."

"Nggak baik gimana?" tanya Rio penuh selidik.

"Kesepian, ngumbar senyum di depan orang, tapi pas nggak ada yang liat, dia nangis." jawab Rey.

"Kata Tasya, dia itu broken home."

Rey mengernyitkan dahinya, "Broken home?"

"Pasti kurang kasih sayang," celetuk Rico.

"Astagfirullah, dia udah kesepian gitu. Di kelas temennya cuman Tasya, temen sebangkunya ngajak ribut mulu. Sungguh malang nasib Nesya." Rasya menggeleng-geleng 'kan kepalanya, sembari mengusap-usap dadanya.

"Udah ah, gue mau minum."

Bohong.

Rey segera keluar dari kamarnya, meninggalkan teman-temannya yang sedang asik berada di kamarnya. Saat ingin turun ke bawah, Rey mendengar suara Rere yang sedang tertawa lepas.

Pintu kamar Rere tidak tertutup rapat, cukup untuk mengintip aktivitas yang terjadi di sana.

Dua orang gadis sedang bermain sembari tertawa riang, yang satu masih balita dan yang satu sudah cukup dewasa untuk memakai bando bermotif mahkota di kepalanya.

"Aku adalah peri Regitha, akan ku kabul 'kan 3 permintaan sebagai balasan karena kau telah membebaskan ku."

Sungguh, ini seperti bukan bahasa seorang anak berumur 7 tahun.

"Baik lah peri, permintaan yang pertama, saya ingin seseorang yang selalu ada, di saat saya sedih, senang, di saat saya butuh," ujar Nesya, sepertinya ini adalah curahan hati.

"Okay, akan peri kabul 'kan."

Rey terkekeh sendiri saat melihat aksi drama yang dilakukan oleh Nesya dan Rere, selama ini Rey selalu melihat Nesya bercerita, namun belum pernah melihat Nesya berperan langsung dalam cerita itu.

Saat sedang asik mengamati, seekor kecoa tiba-tiba melintas di kaki Rey. Membuat lelaki itu terjungkal, Rey phobia kecoa. Bukannya jatuh ke belakang, Rey justru jatuh ke depan.

Bruk!

"Tring!"

Sebuah kebetulan, saat Regitha selesai mengucapkan mantra sihirnya untuk mengabulkan permintaan Nesya, tiba-tiba Rey datang dengan posisi tersungkur di lantai.

"Rey!" pekik Nesya saat melihat lelaki itu tersungkur sembari mengaduh kesakitan.

"Astaga! Ini pangeran yang di kasih Tuhan buat kakak cantik!" Rere menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mengira mantranya barusan berhasil.

"Rey, ayo bangun ...." Nesya mengulurkan tangannya untuk membantu Rey berdiri dan langsung di sambut oleh lelaki itu.

Rey meringis sembari mengusap dada bidangnya yang terasa sakit karena habis menubruk lantai.

"Lo ngapain, sih? Sampe jatoh gitu?" Nesya menatap Rey penuh selidik.

"Ah? Itu gue tadi, kecoa anu minum peri."

"Menjadi wanita jahat bukan lah hal yang sulit, lebih sulit menjadi wanita baik yang tak pernah dipercaya."

Ada yang berbeda dengan suasana rumah Rey pada pagi hari ini, jika biasanya mereka hanya sarapan berempat, kali ini ada Nesya.

Hari ini adalah hari sabtu, hari libur untuk SMA Golden. Karena mereka bersekolah sampai pukul setengah 5 petang, kecuali hari jum'at, jadilah sekarang setiap hati sabtu mereka libur.

Seperti biasa, si kecil Regitha selalu saja mengoceh tidak jelas. Jika biasanya hanya Eldy atau Zahra yang menanggapi celotehan Rere, namun kali ini ada Nesya yang selalu merespon celotehan Rere yang tidak jelas.

"Kakak cantik, jadi pacar abang Rey aja. Biar sering ke sini, terus Rere ada temennya. Nanti kita main salon-salonan." celoteh Rere santai dan direspon peletotan mata oleh Rey.

"Emang kalo mau main sama Rere harus jadi pacarnya abang Rey dulu, ya?" tanya Nesya.

Rey langsung terbatuk, dalam hatinya ia sudah mengeluarkan segala umpatannya. Sayang, di sini ada ayahnya. Jika tidak, sudah dari tadi kata-kata tidak berfaedah itu meluncur dari bibir Rey.

"Re, makan yang bener. Ingat 'kan? Temen abang yang meninggal gara-gara kesedak selai waktu ngomong sambil makan?"

Teguran yang selalu diberikan Rey jika menurutnya celotehan Rere sudah sangat berisik. Lagi pula, siapa yang bisa meninggal hanya karena tersedak selai? Mungkin bisa jadi, jika di dalam selai itu ada pecahan kaca.

"Abang ih, ngasih tau itu mulu. Kesel Rere jadinya." Rere meletakan sendok dan garpunya, kemudian melipat tangannya ke depan dada, menekuk muka dan memajukan bibirnya.

Ini cara Rere ngambek.

"Orang cuman ngingetin." Rey melanjutkan makannya dengan santai tanpa memperdulikan adiknya yang sedang ngambek di buatnya, yang penting Rere sudah diam.

Suasana rumah Rey sangat ramai sekarang, tentu saja karena ini adalah hari sabtu. Seperti biasa, para sahabat orang tuanya berkumpul untuk mengadakan acara kecil-kecilan khusus untuk mereka.

Tadinya Nesya ingin pulang karena merasa tidak enak berada di pertemuan keluarga seperti ini, sayangnya Zahra menahan Nesya agar tetap berada di sini.

Dan, jadilah sekarang dirinya membantu para mama untuk menyiapkan makanan. Terkadang mereka menggoda Nesya, dengan menyebutnya sebagai wanita pertama yang di bawa Rey ke rumah.

"Padahal dulu si Rey punya pacar, tapi nggak pernah dia bawa ke sini," ujar Tania yang sedang memotong bawang.

"Bukan Rey yang bawa Tan, gue yang nyuruh," sahut Zahra dari belakang.

"Elah, gue kira inisiatif bocahnya."

Mereka semua terkekeh geli, berbeda dengan Nesya yang pipinya terus merona entah mengapa.

Saat mereka sedang asik dengan kegiatan memasak, tiba-tiba Eldy datang sambil menggendong Regitha yang sedang menangis.

"Rere kenapa, sayang?" Zahra menghampiri putrinya yang sedang menangis di gendongan ayahnya itu.

"Nggak ada yang mau temenin Rere main berbie Ma, abang-abang sibuk. Kakak Aya nggak ada ...."

"Jangan nangis, dong." Zahra mengusap airmata yang terus mengalir dari pelupuk mata gadis kecilnya itu.

"Rere mau main berbie," rengek Rere, "sama kakak cantik."

"Sama kakak Nesya, ya?" tanya Zahra dan di balas anggukan oleh Rere.

Zahra kemudian berbalik untuk memanggil Nesya yang sedang asik memotong daging, gadis itu sepertinya tidak menyadari kalau Zahra sedang berada di depannya sekarang.

"Nesya?"

Yang dipanggil langsung mendongakan kepalanya, "Iya tante?"

"Temenin Rere main, ya? Abang-abangnya pada asik main PS."

Nesya mengangguk, "Iya tante, Nesya cuci tangan dulu."

Setelah mendapat anggukan, Nesya berlalu untuk mencuci tangannya yang kotor. Kemudian mengambil alih Rere yang berada di gendongan Eldy, untuk membawanya bermain.

Rere mengajak Nesya untuk bermain di kamarnya, saat ingin masuk ke kamar Rere, Nesya mendengar suara beberapa orang laki-laki sedang berteriak menyerukan suatu nama club sepak bola.

Sebelahan sama kamar Rey ternyata.

"Kakak, ayo masuk. Kenapa melamun?"

"Eh? Iya, yuk masuk." Nesya mengikuti Rere masuk ke dalam kamarnya.

"Anjir ah, gue bilang pas udah deket itu langsung pencet bulat!" hardik Rio pada Revin.

"Gue juga udah pencet bulet keles! Stiknya aja nih yang rusak!"

Selalu stik yang disalahkan saat kalah dalam bermain PS.

"Eh, stik gue baru! Bilang aja emang elo yang kaga bisa maen!" Rey mencibir Revin karena menyalahkan stiknya, padahal ia baru membeli stik itu dua hari yang lalu.

Revin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Kayaknya tadi gue pencet ini deh," ia menunjuk tombol berlambang kotak.

Setelah itu, Rio langsung menoyor kepala Revin sembari mengumpat kasar.

"Itu kotak bego! Udah gue bilang yang bulet juga, ah, pake acara nyalahin stik lagi." Rio mendesah kecil.

"Udah, emang nggak ada yang bisa ngalahin gue." Rey berujar sembari menepuk dadanya, bangga.

"Idih," cibir Rico.

"Pede banget lo, biasanya juga kaga mau ngomong," ujar Rio dengan nada mengejek.

"Bacot," sahut Rey.

"Eh!" Revin memekik, membuat mereka semua menatapnya heran."Gue baru nyadar, kok di sini ada Nesya?".

"Masa?" sahut Rio.

"Gue juga tadi liat dia di sini, siapa yang ngajak?" tandas Rico.

"Yaelah, lu semua bego atau gimana sih. Udah pasti yang ngajak yang punya rumah lah," celetuk Rasya sembari menatap Rey dengan senyuman jahilnya.

"Lah, bukannya lo paling anti sama cewek, Rey?" ujar Rio sembari menatap Rey.

"Wah, syukur deh, Rey. Gue sempat mikir, gara-gara sakit hati dikhianatin Tiara, lo bakalan jadi homo."

Rey menoyor kepala Rasya, "otak lo dangkal emang."

"Abis, lo sendiri yang pernah bilang. Kalo lo benci liat Nesya, soalnya lo kayak ngeliat Tiara."

Rey menggedikan bahu, "itu anak tiap ketemu gue, pasti dalam keadaan nggak baik."

"Nggak baik gimana?" tanya Rio penuh selidik.

"Kesepian, ngumbar senyum di depan orang, tapi pas nggak ada yang liat, dia nangis." jawab Rey.

"Kata Tasya, dia itu broken home."

Rey mengernyitkan dahinya, "Broken home?"

"Pasti kurang kasih sayang," celetuk Rico.

"Astagfirullah, dia udah kesepian gitu. Di kelas temennya cuman Tasya, temen sebangkunya ngajak ribut mulu. Sungguh malang nasib Nesya." Rasya menggeleng-geleng 'kan kepalanya, sembari mengusap-usap dadanya.

"Udah ah, gue mau minum."

Bohong.

Rey segera keluar dari kamarnya, meninggalkan teman-temannya yang sedang asik berada di kamarnya. Saat ingin turun ke bawah, Rey mendengar suara Rere yang sedang tertawa lepas.

Pintu kamar Rere tidak tertutup rapat, cukup untuk mengintip aktivitas yang terjadi di sana.

Dua orang gadis sedang bermain sembari tertawa riang, yang satu masih balita dan yang satu sudah cukup dewasa untuk memakai bando bermotif mahkota di kepalanya.

"Aku adalah peri Regitha, akan ku kabul 'kan 3 permintaan sebagai balasan karena kau telah membebaskan ku."

Sungguh, ini seperti bukan bahasa seorang anak berumur 7 tahun.

"Baik lah peri, permintaan yang pertama, saya ingin seseorang yang selalu ada, di saat saya sedih, senang, di saat saya butuh," ujar Nesya, sepertinya ini adalah curahan hati.

"Okay, akan peri kabul 'kan."

Rey terkekeh sendiri saat melihat aksi drama yang dilakukan oleh Nesya dan Rere, selama ini Rey selalu melihat Nesya bercerita, namun belum pernah melihat Nesya berperan langsung dalam cerita itu.

Saat sedang asik mengamati, seekor kecoa tiba-tiba melintas di kaki Rey. Membuat lelaki itu terjungkal, Rey phobia kecoa. Bukannya jatuh ke belakang, Rey justru jatuh ke depan.

Bruk!

"Tring!"

Sebuah kebetulan, saat Regitha selesai mengucapkan mantra sihirnya untuk mengabulkan permintaan Nesya, tiba-tiba Rey datang dengan posisi tersungkur di lantai.

"Rey!" pekik Nesya saat melihat lelaki itu tersungkur sembari mengaduh kesakitan.

"Astaga! Ini pangeran yang di kasih Tuhan buat kakak cantik!" Rere menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mengira mantranya barusan berhasil.

"Rey, ayo bangun ...." Nesya mengulurkan tangannya untuk membantu Rey berdiri dan langsung di sambut oleh lelaki itu.

Rey meringis sembari mengusap dada bidangnya yang terasa sakit karena habis menubruk lantai.

"Lo ngapain, sih? Sampe jatoh gitu?" Nesya menatap Rey penuh selidik.

"Ah? Itu gue tadi, kecoa anu minum peri."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel