Bab 11
"If I tell you I love you, would you love me back?"
Menangis, itu lah yang dari tadi Nesya lakukan. Dari sepanjang perjalanannya menuju rumah Tasya, sampai sekarang ia sudah sampai. Airmata nya terus mengalir tanpa henti, membuat Tasya yang menyaksikan itu merasa iba.
Tasya membawa Nesya masuk ke kamarnya, gadis itu masih saja menangis. Walau ia menangis dalam diam, tidak bersuara. Percayalah, menangis seperti ini adalah curahan hati yang paling sakit.
"Udah Nes, mata lo astaga. Udah ...." Tasya mencoba menenangkan sahabat yang baru di kenalnya kurang lebih satu bulan itu.
"Gu-gue, Bunda---" Nesya terisak, bahkan ia seperti tidak sanggup untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Stt, lo diem aja. Bentar, gue ambilin air buat lo minum, ya." Tasya berdiri dan segera keluar dari kamarnya untuk mengambilkan Nesya segelas air putih.
Setelah beberapa menit, Tasya kembali dengan segelas air putih dan sekotak tissu di genggamannya. Ia menyodorkan air putih dan beberapa lembar tissu untuk Nesya.
Lega, setelah meminum segelas air putih tadi dan membuang sedikit ingus yang menumpuk di hidung mancungnya, Nesya menghapus airmatanya.
"Udah bisa cerita?" tanya Tasya sedikit pelan, takut kalau sahabat barunya itu menangis lagi.
Nesya mengangguk, ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan pelan.
"Gue, diusir."
"Hah?!" Tasya membelalakan matanya, jika tadi ia bertanya dengan hati-hati, sekarang volume keterkejutannya sudah tidak bisa di kontrol.
"Iya, Sya. Gue diusir," ucap Nesya seraya menggigit bibir bawahnya yang bergetar.
"Lo bikin masalah apa, Nes? Sampe diusir, ya ampun. Terus lo tinggal di mana?" cerocos Tasya.
"Kembaran gue balik, gue nggak bisa nerima dia. Gue bilang ke Bunda, gue mau maafin dia, tapi dia nggak boleh tinggal di rumah gue. Bunda marah, dia bilang gue egois. Dan, itu rumah Bunda, peraturan Bunda, yang nggak terima, boleh keluar. Bunda bilang semua itu sambil natap gue."
"Astagfirullah ... tapi, Nes. Kenapa lo nggak terima aja lo satu rumah sama kembaran lo itu?"
Nesya menggeleng, "Gue bukan nggak mau Sya, tapi dia belum bener-bener tobat. Gue tau itu Sya, gue tau siapa kembaran gue. Feeling sesama kembar itu nggak pernah salah, dia kembali cuman buat harta Bunda."
"Maaf Nes, bukan gue nggak percaya sama lo. Gue 'kan nggak punya kembaran, so gue kurang tau. Tapi, lo bisa jelasin ke gue yang lo maksud 'feeling sesama kembar' itu?" tanya Tasya.
Nesya menghela nafasnya kasar, "Waktu kecil, gue sama Tiara lagi main. Tiba-tiba, dia pergi terus balik lagi dengan keadaan nangis. Gue panik ngeliat lututnya yang berdarah, walaupun cuman beda 15 menit, tetep aja gue ini seorang kakak.
Gue merasa bertanggung jawab sama apa yang terjadi dengan Tiara. Pas gue tanya, kenapa lututnya bisa berdarah, dia jawab di dorong oleh anak-anak tetangga. Gue nggak terima, tapi dalem hati gue kayak ada yang bilang kalo itu nggak bener.
Tanpa mikir panjang, gue samperin anak-anak yang di bilang sama Tiara. Mereka bilang mereka nggak nyentuh Tiara sama sekali."
Tasya melongo, "Karena itu doang?"
"Belum," Nesya menggeleng. "Masih banyak, setelah itu gue cari tau. Ternyata dia jatoh sendiri, dan semenjak kejadian itu, dia sering cari perhatian dengan cara nggak wajar. Dan, firasat gue selalu bener."
Tasya menggeleng-geleng 'kan kepalanya, "Ada ya, manusia kayak gitu?"
Nesya mengangguk, "Sebenernya, bukan itu yang bikin gue benci banget sama dia."
"Terus?" Tasya mengangkat sebelah alisnya, "apa yang bikin lo benci sama dia?."
"Dia, ngebantu bokap buat ngejual gue."
• •
Pandawa Lima (5R)
Rio : Rey mana Rey?
Rey : ap
Rio : Lo sama Nesya deket nggak sih?
Rey : g
Rasya : gue kudu nyuruh tante Zahra ngebeliin lo hp baru Rey, keyboard lo udah rusak kayanya.
Rico : ^2
Rey : brsk
Rio : Barusan kata Tasya, si Nesya dateng ke rumahnya nangis-nangis
Revin : Kenapa?
Rico : ^2
Rasya : ^3
Rey : Knp
Rico : Sumpah Rey, gue kesel ngeliat balesan lo.
Rey : oh
Rico : .
Rio : malah pada ngeributin keyboard si Rey
Rasya : lu juga, ngomong setengah-setengah
Revin : demi Dewa, Tapasya diam!
Rasya : Rasya sama Tapasya jauh, bgst
Revin : oh
Rasya : gausah sok sok an kayak Rey, kaga cocok
Rey : ngp jd gw
Rio : woi!
Rio : kaga faedah banget lu semua
Rio : tadi 'kan ngomongin Nesya, napa jadi Tapasya sih
Rey : L ngmng stngh stngh
Rio : kaga faham bgst
Rio : Nesya di usir dari rumah oi
Rey : y
Rio : demi
Rico : Dewa
Rasya : Krishna
Revin : Icha!
•
Dengan kecepatan standar, Rey melajukan mobilnya ke suatu tempat. Di tangannya ada secarik kertas berisikan sebuah alamat, itu alamat Tasya.
Saat sudah memasuki sebuah komplek kawasan rumah mewah, Rey melirik lagi alamat yang tertera di kertas kecil yang diberikan Rio tadi.
"126, mana, ya?" mata Rey menoleh ke kiri dan ke kanan. Seandainya nomor rumah di sini tidak di acak, maka akan mudah mencarinya.
"Nah!" Rey berseru saat ia sudah menemukan rumah bernomor sama dengan yang tertulis di kertas.
Langsung saja Rey memarkirkan mobilnya di depan rumah bertipe minimalis dan ber cat abu-abu itu.
Bingung harus berbuat apa, Rey mengambil ponselnya yang berada di kantong untuk menelfon seseorang. Tidak butuh waktu lama, orang yang di tuju segera mengangkat.
"Hallo?"
"Lo dirumah Tasya kan?"
"Rey? Tau nomor gue dari man-"
"Berisik, buruan keluar."
"Hah?"
"Gue depan rumah Tasya, buruan keluar atau ini rumah gue bakar."
"Eh! Jangan, iyaiya gue turun."
Sambungan telfon diputus oleh Rey, seulas senyum terlukis di bibir lelaki itu. Entah apa yang membuatnya datang kemari, semua itu tidak lepas karena Rey selalu ada di saat Nesya sedang bersedih. Dan, itu semua karena tidak disengaja.
Namun, sekarang Rey tau. Dan, ia sengaja untuk menemui Nesya. Entah apa tujuannya, rasanya sedikit iba saat mengetahui gadis itu di usir dari rumahnya.
Tok tok tok
Menoleh, Rey mendapati Nesya sudah berada di samping pintu mobilnya. Secepat kilat Rey membuka pintu untuk keluar dari dalam sana.
"Lo, nggak pa-pa?"
Nesya mengernyitkan dahinya, ia meletakan punggung tangannya di dahi Rey. Untuk memastikan suhu lelaki itu, normal.
"Badan lo normal kok, Rey. Kok berubah cepet banget? Habis kejedot?" Nesya memperhatikan setiap inci dari wajah Rey, tidak ada apa-apa.
"Lo emang sinting, ya? Gue nanya lo kenapa. Ngapain pake acara ngukur suhu badan gue, sih?!" Rey menoyor jidat Nesya.
"Habisnya, nggak ada angin, nggak ada hujan, nggak ada ojek, becek-becek," ujar Nesya sembari menirukan gaya Cinta Laura.
Rey menepuk jidatnya, sepertinya ia sudah salah mengkhawatirkan orang. Buktinya, bukannya sedih, kelakuan Nesya lebih mirip orang gila. Atau memang cara seperti ini, untuk dia menyembunyikan rasa sakitnya?
"Lo kapan sih bisa serius?" Rey menatap Nesya sebal.
"Habis kuliah deh, ntar kita serius. Kalo sekarang masih SMA, masih cinta monyet. Belum bisa serius." Nesya nyengir lebar menampilkan deretan gigi putih rapinya.
Rey mengusap wajahnya kasar. "Salah kayaknya gue khawatir."
"Hah? Khawatir? Kenapa? Emang gue kenapa?" cerocos Nesya menampilkan wajah polosnya.
Mata Rey menatap Nesya dengan tajam, saat Nesya mendongakan wajahnya matanya bertemu dengan mata Rey. Sejenak Rey terdiam, bukan karena wajah cantik Nesya.
Namun, mata gadis itu sembab. Itu pertanda ia habis menangis lama, masih ada sedikit sisa-sisa air matanya. Rey dapat melihat semua itu dengan jelas.
Gue emang bener, jangan nilai seseorang dari luarnya. Kayak gue nilai lo sekarang, gue pikir lo baik-baik aja. Ternyata, lo bisa hancur juga.
"Rey!" seru Nesya seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah lelaki itu. "Kenapa melamun?"
Rey terkesiap, segera ia mencari alasan agar Nesya tidak membahas hal ini lagi.
"Lo, suka es krim nggak?" tanya Rey spontan.
Nesya mengangguk antusias, "Suka banget, apa lagi yang tiga rasa."
"Mau es krim?" tanya Rey lagi, dan di balas anggukan antusias oleh Nesya.
"Yuk, beli es krim."
Rey menyuruh Nesya untuk masuk ke dalam mobilnya, namun gadis itu kembali masuk ke rumah. Ingin izin pada Tasya katanya.
Sekitar 5 menit kemudian, Nesya kembali dengan jaket dan sligbag yang menyampir di bahunya.
"Katanya cuman mau izin, kok pake acara dandan," cibir Rey.
"Ish!" Nesya memukul lengan Rey. "Yang dandan siapa, emang nggak boleh pake jaket? Lagian, masa gue nggak bawa uang."
"Kan gue yang ngajak, berarti gue yang bayar."
Nesya menggeleng, "Nggak mau, ntar yang ada gue malah dibilang matre."
Rey terkekeh, "Nyindir gue ya?"
"Ngerasa, ya?" Nesya ikut terkekeh.
Tidak menjawab, Rey hanya menyunggingkan senyumnya. Kemudian melajukan mobilnya untuk mencari kedai es krim terdekat.
Padahal Rey tidak menyukai es krim.
-------------------------------------------------------------
Hai! Wkwk
Part ini gue rasa absurd banget, tapi kebelet pengen publish :( so maafkan segala typo ku wkwk
Salam 6R?