Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Untuk kedua kalinya Azora terbangun di kamar yang sama. Azora telah menyiakan kesempatan kaburnya.

"Kesempatan kaburmu habis, Azora." Lagi-lagi suara Elzio yang pertama kali Azora dengar. "Kau harusnya bekerja lebih keras dari tadi, Azora." Elzio yang tadinya menghadap ke pemandangan di luar kamarnya kini menghadap ke Azora. "Ah, ini sudah pagi hari. Jadi kau sudah pingsan atau tertidur cukup lama." Sambungnya.

Azora memandang Elzio dengan tatapan datarnya, andai saja kemarin perutnya tidak bermasalah sudah pasti dia bisa menemukan jalan keluar. Azora memiliki penyakit maag, ini karena dia yang tidak pernah makan dengan teratur.

"Daripada melihatku seperti itu lebih baik kau cepat turun dari ranjang dan bersihkan tubuhmu, sarapan sudah ada di meja makan." Elzio kembali bersuara, tak ada jawaban dari Azora jadi Elzio memilih keluar dari kamar itu.

"Wanitamu sudah sadar?" Marcell tak mengalihkan wajahnya dari komputer. Suara langkah kaki Elzio yang membuatnya tahu kalau Elzio melangkah di belakang meja kerjanya.

"Sudah."

"Kau semalam tidur di sofa?"

"Kau bertanya seperti itu maka kau pasti tahu jawabannya." Elzio menyalakan televisi.

"Kenapa kau yang harus tidur di sofa? Kau harusnya tidur di ranjang. Berhentilah menjauhi wanita." sebelum semalam Marcell berpikir kalau Elzio tertarik pada Azora namun melihat Elzio tak menyentuh Azora sedikitpun mematahkan segalanya.

Elzio memilih diam, dia malas menjawabi ucapan Marcell. Elzio bukan tipe pria yang mudah di dekati wanita, terhitung hanya satu wanita yang bisa mendekatinya. Wanita pemilik rumah bordil di pinggir kota, wanita yang selalu memuaskannya setiap ia datang ke tempat itu.

"Orang Mr. X menghubungiku tadi, dia membayarkan uang untuk pekerjaanmu." Marcell bersuara lagi setelah dia diam beberapa saat.

"Dia memang harus membayar," sahut Elzio. Dia memang tidak membunuh Azora tapi dia sudah menculik Azora dan membuat Azora seolah sudah mati.

Marcell memiringkan tubuhnya menghadap ke Zio yang berada 6 meter di depannya. "Tapi Azora masih hidup, Zio. Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kenapa membiarkan dia hidup dan tinggal disini?"

"Entahlah. Aku hanya tidak ingin dia mati, itu saja." Zio memberikan jawaban yang membuat Marcell menghela nafas. "Dunia hanya tahu kalau Azora sudah mati, jadi biarkan saja seperti ini. Jangan bertanya lagi jika kau tidak ingin komputermu aku hancurkan."

"Waw, kau mengerikan." Marcell mencibir Elzio, dia kembali fokus pada komputernya. Saat ini ia sedang mengumpulkan data yang Elzio inginkan. Pekerjaan Elzio bukan hanya sekedar membunuh orang namun juga mencuri data rahasia.

"Kau sudah cukup banyak mendengarkan, Zora. Segeralah ke meja makan. Gunakan mulutmu untuk menemukan ruang makan." Elzio memiringkan wajahnya ke Zora setelah ia selesai bicara. Elzio tahu kalau Zora sudah ada di anak tangga terakhir sejak beberapa detik lalu.

Azora tak menjawabi ucapan Zio, dia tidak bermaksud mendengarkan dengan sengaja. Kakinya melangkah mencari ruang makan. Ia  malas membuka mulutnya jadi ia akan mencari sendiri. Azora sebenarnya tak ingin makan tapi dia harus bertahan hidup demi ambisinya.

"Sangat wajar jika dia sangat ditakuti." Marcell melihat Azora yang sudah berbelok di ujung koridor. "Wajahnya memang pas untuk kepribadiannya. Tangguh, angkuh dan ambisius." Sambungnya.

"Daripada menilainya lebih baik kau dapatkan data yang Mr. Park inginkan." Elzio berkata seakan tak mau Marcell beristirahat.

Marcell menunjukan raut masa bodohnya namun dia sudah kembali mengakses jaringan yang ingin ia bobol. "Ah, menyusahkan saja." Marcell menggerutu.

"Kenapa?" Elzio memiringkan kepalanya menghadap Marcell.

"Komputer itu menggunakan sistem keamanan yang sulit dibobol."

"Sulit bukan berarti tak bisa, kan?"

"Aku butuh beberapa waktu." Kata Marcell.

"Kau punya waktu sampai dua hari." Marcell tak menyahuti ucapan Elzio, dia memasukan beberapa kode untuk mendapatkan apa yang diminta oleh Elzio.

♥♥

"Mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini, eh?" Elzio sudah berdiri di sebelah Zora yang saat ini memandangi hutan.

"Apa yang sebenarnya kau mau? Aku tidak bersyukur sama sekali kau tidak membunuhku. Mengurungku disini sama saja dengan kematianku." Azora menatap mata elang Zio.

Elzio tersenyum tipis. "Apa yang membuatmu sangat ingin keluar dari sini? Kekasihmu?"

"Laki-laki bukan tujuan hidupku. Dengar, jika kau mengurungku disini karena kau tertarik padaku maka aku berikan kau tubuhku tapi lepaskan aku."

"Uang tidak bisa jadi kau menawarkan tubuhmu. Waw, kau benar-benar ingin bebas rupanya."

"Aku masih perawan. Lepaskan aku dan kau akan dapatkan itu."

Elzio tersenyum lagi. Penawaran bodoh, jika hanya kenikmatan seks yang Zio mau maka tak perlu kesepakatan diantara mereka. Zio bisa dengan mudah memaksa Zora melayaninya.

"Jelaskan padaku apa yang membuatmu ingin bebas? Di luaran sana banyak orang yang mengincar nyawamu. Disini kau aman, tak ada seorangpun yang bisa menyakitimu."

"Ambisiku bukan berada di dalam sini tapi diluar sana. Dua minggu lagi pemilihan pemimpin asosiasi akan diadakan dan aku harus ada disana agar tidak di diskualifikasi. Menjadi pemimpin asosiasi adalah tujuan hidupku."

"Wanita dengan ambisi pria. Well, kau memang berbeda dari wanita lainnya, Zora."

"Aku harus berada dipuncak tertinggi agar bisa mengendalikan orang lain. Nyawaku sudah diincar sejak aku kecil jadi bahaya bukan dari ketakutanku."

Pribadi Azora memang mengesankan bagi Elzio. Menyembunyikan luka terdalam dengan ambisi dan keangkuhan. Elzio yakin hanya dirinya yang pernah melihat kerapuhan Azora. Wanita seperti Zora mana mungkin menunjukan kerapuhannya di depan orang lain.

"Aku akan melepaskanmu, satu hari sebelum pemilihan." Elzio sudah mengambil keputusan.

"Syaratnya?"

"Serahkan tubuhmu padaku. Bukan untuk satu hari tapi selama yang aku mau."

"Apa maksudmu kau mau aku jadi wanitamu?" Azora menaikan alisnya. "Jangan bermimpi. Pria yang pantas memilikiku adalah pria yang berada di posisi lebih diatasku."

"Kalau begitu bermimpilah untuk keluar dari sini." Elzio tidak memaksa. Pilihan memang ada di tangan Zora.

Azora tertawa getir. Saat ini bukan dia yang memberikan pilihan tapi dia yang harus memilih.

"Persetan dengan syaratmu. Aku harus keluar dari tempat ini." itu artinya Azora menerima syarat dari Elzio. Bagi Azora tak ada yang lebih penting dari ambisinya. Nanti dia bisa mengurus Elzio, saat ini dia harus mencari kesepakatan yang membuatnya bebas.

"Kau tahu mana yang harus kau pilih, Zora." Elzio tak menunjukan raut senangnya. Wajahnya hanya terlihat dingin seperti biasa. "Aku tidak suka dipermainkan dan dikhianati. Melakukan dua hal itu maka aku hancurkan ambisimu." Kesalahan Azora adalah mengatakan tentang ambisinya. Elzio kini memperingatinya dengan ambisi itu.

"Azora tidak pernah main-main dengan kata-katanya."

"Bagus. Sekarang masuklah, tak perlu memikirkan cara kabur lagi." Elzio meninggalkan Azora lebih dulu sebelum akhirnya Azora masuk kembali ke kamar.

♥♥

"Apa maksudmu dengan kau akan melepaskannya? Kau sudah gila?" Marcell benar-benar tak mengerti jalan pikiran Elzio. Satu kalipun Elzio tidak pernah melakukan kesalahan dan sekarang bukan hanya sekedar kesalahan tapi kegagalan, dan kegagalan itu hanya karena wanita.

"Kau ingin melihatku bersama wanita, kan? Azora, dia pantas untuk menjadi wanitaku. Wanita yang penuh ambisi dan tangguh adalah jenis wanita yang bisa berada disisiku."

"Kau mencintai wanita itu?"

"Ayolah, Marcell. Tahu apa kita tentang cinta? Di dunia ini hanya orang-orang lemah yang berpikiran tentang cinta dan kita terutama aku bukan bagian dari orang lemah itu."

"Apa dia akan menguntungkan untuk kita?"

"Tanpa menggunakannya kita bisa mendapatkan banyak uang, Marcell. Jangan mencari keuntungan dari seorang wanita, kecuali tubuhnya."

"Waw, aku mengerti sekarang. Apakah dia mengalihkanmu dari Bellvina?" Marcell memainkan alisnya, menggoda Elzio yang hanya tersenyum tipis. Entah kapan Elzio bisa tersenyum lebar, senyuman yang bukan terlihat dingin namun menghangatkan.

"Kembalikan uang Mr. X. Katakan bahwa aku gagal membunuh Azora, wanita itu selamat dari jurang."

"Azora benar-benar sesuatu. Baiklah, aku akan melakukan seperti yang kau mau." Marcell memang akan selalu menuruti keputusan Elzio. Ponsel Marcell berdering, di pekerjaan ini hanya nomor Marcell yang bisa dihubungi untuk menerima transaksi. Elzio malas berurusan dengan pengguna jasanya.

"Kirimkan datanya ke emailku." Balas Marcell pada si penelpon.

"Siapa?" Elzio bertanya setelah Marcell selesai menjawab panggilan itu.

"Pekerjaan untukmu." jawab Marcell. "Victoria Lee, usia 46 tahun. Ceo Lee Company." Marcell membacakan email yang baru saja masuk ke komputernya.

Elzio mendekat ke Marcell, ia melihat foto targetnya. "Siapa yang memerintahkan?"

"Daniel Lee, kakak tiri Victoria. Pemilik sah Lee Company. Wanita kalau sudah terlalu ambisius benar-benar berbahaya."

"Lacak lokasi Victoria."

"Gedung Lee, dia baru saja sampai di lobby." Marcell sudah meretas kamera pengintai gedung perusahaan Lee.

"Baiklah, aku akan segera mengurusnya." Elzio melangkah meninggalkan Marcell. Ia segera ke kamarnya, tempat dimana Azora berada.

"Aku akan keluar, jangan membuat kesalahan yang akan membuat kau menyesalinya. Kemarin saat kau keluar dari rumah ini aku sengaja mematikan keamanan tempat ini. Keluar rumah tanpa izin dariku bisa membuat kau kehilangan nyawamu." Elzio memperingati Azora, bukan dia takut Azora pergi karena dia pasti bisa menemukan Azora. Rumahnya ini berbahaya bagi Azora jadi karena itu dia memperingati Azora.

"Aku tak akan melakukan hal yang bisa membuat kesepakatan berakhir."

"Pintar. Aku suka wanita sepertimu." Elzio keluar lagi dari kamarnya, melangkah ke tempat persenjataan untuk mengambil semua yang dia butuhkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel