Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Usai dihajar, Kevin dan Naura dibawa masuk ke dalam rumah utama di tempat itu.

Kevin diikat di kursi dengan tubuh babak belur setelah dihajar sedemikian rupa oleh orang-orang itu.

“Jangan sentuh istriku, keparat!” Teriak Kevin frustasi melihat beberapa orang penagih hutang itu merabai tubuh istrinya.

“Hihihi, siapa suruh kau tak bisa melunasi hutangmu, bung! Kau anggap kami ini apa, hum? Mau mempermainkan kami? Cih! Bahkan kami bisa menemukan kalian meski kalian kabur diam-diam!” kata Niko dengan geramnya.

Niko adalah semacam pimpinan di tempat itu yang mengepalai semua debt collector perusahaan pusat tempat mereka semua bekerja.

“Aku akan melunasinya! Tolong lepaskan kami. Kami tidak kabur, kami ingin mencari uang untuk membayar hutang!” kata Kevin memohon.

“2 Milyar bukan uang sedikit, Pak Kevin! Mau cari di mana, hum? Rumah, tanah, dan mobil kalian itu, hahaha, berapa harganya? Oh, bukankah sudah digadaikan juga ya! Jadi kalian punya apa!” kata Niko memandang Kevin dengan tatapan sinis.

“Beri kami waktu, aku mohon…” kata Kevin.

“Kamu sudah mengatakan hal itu berulang kali. Dan zonk! Tapi kamu masih punya istri cantik, pak Kevin. Jadi masih ada peluang kamu bisa hidup. Hihihi, Naura sayang… ayo kemari… atau kau akan melihat leher suamimu tergorok pelan-pelan!” kata Niko.

“Aku mohon… jangan sentuh istriku. Dia tidak bersalah. Bunuh saja aku…” kata Kevin frustasi.

“Hahaha, apa gunanya membunuhmu? Kami akan menjual istrimu! Dengan begitu, kalian bisa melunasi hutang!” kata Niko dengan sikap pongahnya.

“Jangan… aku mohon…” kata Kevin. Ia sungguh panik. Tak rela rasanya jika ada apa-apa dengan istrinya.

“Tapi sebelum aku menjual istrimu ini, tentu aku ingin merasakan pelayanan pertamanya. Begitu, pak Kevin. Paham?” kata Niko sambil tertawa sinis.

“Brengsek! Bajingan keparat!” teriak Kevin sangat marah.

“Terserah! Tapi dengarkan aku. Kami memang penjahat, tapi kami menawarkan solusi bijak! Kami akan menjual Ibu Naura sebagai salah satu pelacur kami sampai hutang kalian Naura!” kata Niko.

“Tidak! Jangan! Kami mohon… kasihanilah kami!” Kevin mulai memelas lagi.

“Bukan penjahat namanya jika kami bisa mengasihani kalian! Tono, sumpal mulutnya yang berisik itu!” pinta Niko.

“Baik, bos!” Maka Tono, salah satu anak buah Niko yang ada di situ segera mengikat mulut Kevin dengan seutas kain.

Kevin memberontak dengan sekuat tenaga. Tapi sia-sia saja.

Kini Niko menoleh ke arah Naura. “Ibu Naura, jika kau menolak melayaniku, aku akan sungguh-sungguh meminta anak buahku untuk menggorok leher suamimu. Setelah itu menculik anakmu dan membunuhnya di depan matamu. Lalu orang tuamu!”

Naura sangat ketakutan mendengar hal itu. Tubuhnya gemetaran. Ia sangat khawatir jika semua keluarganya dibunuh. Namun ia juga tak mau melayani lelaki itu meski wajahnya lumayan tampan dan tubuhnya tampak gagah.

“Lantas bagaimana denganmu? Hohoho, kami akan tetap menjadikanmu pelacur untuk ganti rugi uang yang telah kalian habiskan. Kamu tak punya pilihan. Yang ada hanyalah bekerjasama dengan baik atau dengan paksaan! Semoga kau punya pilihan tepat, Ibu Naura!” kata Niko dengan senyum mengejek.

Naura masih menangis ketakutan dan tak ada yang bisa ia lakukan kecuali tetap bersikap seperti itu.

Naura benar-benar mencintai suaminya. Meski Kevin jatuh terpuruk, ia tak sekalipun berniat untuk mengkhianatinya. Kevin terlalu tampan dan sempurna baginya.

Maka mana mungkin ia bisa menyanggupi permintaan Niko. Tapi ancaman itu benar-benar membuat Naura tak punya pilihan lain. Ia tak mau suami dan keluarganya mati dan kini ia berpikir untuk berkorban. Bukankah mereka pernah berjanji akan selalu setia sehidup semati? Bukankah akan menanggung suka dan duka bersama-sama?

Kevin pun begitu mencintai Naura; istri cantiknya itu adalah wanita paling sempurna di matanya. Ia sungguh tak rela dan lebih memilih untuk mati daripada istrinya disakiti.

Tapi jika sudah seperti itu, ia bisa apa? Jangankan untuk melawan, bunuh diri pun ia tak bisa jika diikat seperti itu.

“Bagaimana, Ibu Naura? Waktuku tidak banyak. Kami punya acara untuk membuang mayat suamimu. Akan kami potong-potong dan kami buang ke sungai!” kata Niko.

“Tolong… jangan lakukan itu!” kata Naura dengan isakan tangisnya. Sungguh benar-benar petaka.

“Maka bekerjasama lah. Berhenti menangis dan layani aku di depan suamimu, dan juga di depan anak buahku. Ini adalah pilihan terbaik. Jika tidak, suamimu akan mati, lalu kami akan secara bergilir memperkosamu, setelah itu membiusmu dan menjadikanmu pelacur,” kata Niko.

Lali Niko kembali menambahkan ancamannya, “Kau ingin tahu bagaimana cara paling kejam untuk membuatmu tunduk? Kami akan menggunakan morfin. Kau akan kecanduan dan mau tak mau akan tunduk dengan terpaksa. Nah, mana yang kau pilih? Dan jika kau melakukan hal bodoh, suamimu akan mati, anakmu, juga keluargamu yang lainnya!” kata Niko.

Naura benar-benar dihadapkan pada pilihan yang sama-sama buruk. Intinya, mau tidak mau ia harus tetap mau melayani Niko. Tak ada ruang negosiasi lagi. Tak ada celah untuk melarikan diri.

Niko mulai kesal mendapati Naura masih diam saja dan sibuk dengan air matanya.

“Tanto, potong saja dulu jari-jari tangan kanannya. Sekarang!” kata Niko memberi perintah.

“Siap, bos!” jawab Tanto.

“Tunggu… jangan lukai suamiku… jangan… aku akan turuti apa mau kalian!” kata Naura panik.

Kevin hanya bisa membelalakkan matanya. Ia sungguh tidak rela istrinya dilecehkan; dipaksa untuk melayani nafsu bejad Niko.

“Bagus! Gitu dong! Cobalah berhenti menangis terlebih dahulu!” kata Niko.

“Aku… tidak bisa berhenti… hiks…” balas Naura. Ia memang sedang berusaha dan menyeka air matanya. Namun tetap saja gagal. Tak semudah itu bisa berhenti menangis manakala ia benar-benar ketakutan.

“Ya sudah kalau begitu. Sini mendekat. Aku ingin tahu seberapa baik kau bermain dengan mulutmu!” kata Niko.

Tanpa malu dan dengan santai, lelaki itu membuka resleting celananya, sedikit memelorotkannya hingga miliknya itu menyembul keluar.

Jantung Naura seolah berhenti berdetak saat itu juga. Sungguh ia tak mau. Tak sudi. Tapi ia tak punya pilihan lain.

Kevin semakin tegang. Ia kerahkan segenap tenaganya untuk meronta, untuk melepaskan dirinya dari jerat tali yang mengikatnya di kursi itu manakala Niko sudah sepenuhnya memaksa istrinya.

Tanto menjambak rambut Kevin agar lelaki itu tidak terus-terusan memberontak dan berulah.

“Diam atau aku tusuk lehermu!” ancam Tanto.

Naura menoleh ke arah suaminya. Air matanya mengalir deras. “Mas, maafkan aku… yang penting kamu selamat mas… aku tidak rela kamu celaka…” kata Naura.

“Woy, tidak usah banyak drama! Nafsuku bisa turun melihat perilaku kalian itu!” bentak Niko dengan marahnya.

Naura tersentak dan ia kembali menatap Niko dan melirik ke arah pisang lelaki itu yang belum terbangun.

“Lekas!” bentak Niko.

Dengan gemetar, Naura mendekat, lalu jongkok di dekat kursi di mana lelaki itu sedang duduk dengan sikap yang benar-benar kurang ajar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel