02
Sebelum sistem dapat merespons, tubuh David mendadak menegang dan tak terkendali. Dia ingin berteriak, namun seolah ada tangan tak kasat mata menutup mulutnya. Tulang-tulangnya terasa dihancurkan, lalu dibentuk kembali dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Air mata jatuh berderai di wajahnya, menandakan betapa luar biasa rasa sakit yang mendera.
Setelah beberapa lama, rasa sakit mulai mereda, dan tubuh David kembali utuh, namun dengan penampilan yang berbeda. Dia merasa tubuhnya lebih bertenaga, dan tulang-tulang di tubuhnya terasa lebih kuat. Dengan tatapan takjub, dia mengangkat tangan kirinya yang sebelumnya patah, "Aku bisa merasakannya," katanya, gembira akan kekuatan barunya.
Bahkan kakinya yang sempat cedera kini kembali sempurna, dan dia merasa kesembuhan menyeluruh di setiap anggota tubuhnya. Dengan kebahagiaan yang memuncak, David melompat-lompat di rerumputan, menikmati kesempatan barunya.
Mengikuti naluri barunya, dia berjalan menuju sungai untuk memeriksa lebih lanjut tentang perubahan pada wajahnya. Sinar bulan purnama yang memantulkan cahaya di air sungai berhasil memperlihatkan wajah tampan baru yang kini ia miliki.
"Aku jadi lebih tampan juga," katanya puas, kini dengan keyakinan penuh akan keajaiban sistem ini. Dengan langkah gembira, dia buru-buru melanjutkan petualangan yang menunggu di depan mata.
David buru-buru berlari memasuki gubuk kecil peninggalan orang tuanya yang telah tiada. Dalam kegelapan, ia mencari beberapa potong kain dan segera melepaskan sarungnya, mengikat kain-kain itu pada tubuhnya. Keringat dingin bercucuran membasahi seluruh badannya, namun hatinya tetap keras menghadapi ujian takdir yang menghampirinya.
Setelah merasa cukup siap, dia mulai menyanyikan lagu kesukaannya yang sering didengarnya di radio-radio rusak yang ada di gubuk. Menyanyi seolah dapat mengusir rasa takut yang mulai menguasai pikirannya. "Hari ini saya akan bernyanyi, mengingat segala kenangan yang pernah saya alami," gumamnya perlahan.
"Sistem, tolong bantu saya menemukan jalan pintas ke apartemen," pinta David dengan harap.
Ding…
[Jalan pintas ditemukan,] GPS di layar biru yang diberikan oleh sistem terpampang jelas, menunjukkan lokasi David saat ini dan tujuannya adalah apartemen tersebut.
Menempuh berbagai jalan berliku, mendaki dan menuruni tangga, akhirnya David tiba di depan gedung mewah berlantai 22 yang membuatnya kagum. Namun, saat ia hendak mendekat, tiba-tiba seorang satpam menghalanginya. "Ini bukan tempat umum. Ini tempat khusus orang kaya, pengemis dilarang," ucap satpam tersebut sambil mencibir sinis.
Terasa pedih hati David, bagai disambar petir di siang bolong.
David melihat nametag yang terpampang di dada kiri pria di hadapannya: 'Satpam'. Dengan langkah percaya diri, dia berkata, "Jangan sombong, aku pemilik gedung ini!" Dia tidak ingin dianggap miskin atau dianggap pengemis seperti dulu, kini ia telah berubah. Sistemnya kini dapat dipercaya, kepribadiannya telah berubah - dulunya pendiam, mengumpat, atau bahkan membiarkan dirinya dipukuli. Namun kini, dia bertekad untuk membalas apa pun yang diinginkannya.
Mendengar jawaban aneh tersebut, amarah Satpam memuncak. Dia menggenggam tongkatnya erat, lalu melontarkan ancaman, "Jika kamu tidak pergi sekarang juga, jangan salahkan tongkat ini karena mematahkan lengan dan kakimu!"
Kata-kata 'patah tangan dan kaki' itu seolah menusuk kalbu David, membangkitkan amarah yang terpendam. Dia menatap Satpam itu tajam dan menantang, "Kalau memang berani, pukullah!"
Ditampar oleh tatapan penuh tekad itu, Satpam merasa tidak yakin akan tindakannya sendiri. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Di tengah ketegangan itu, hanya waktu yang dapat menjawab.
Melihat tatapan mata pengemis itu, hati satpam merasa berdebar dan gugup. Namun, dia segera mengabaikannya. Bukankah dia hanyalah seorang pengemis tak berarti? Terlepas dari rasa bersalah yang mulai merayapi pikirannya, satpam itu meyakinkan diri bahwa tidak ada salahnya mengusir pengemis itu dengan cara kasar.
Dia mengangkat tongkatnya, hendak menurunkannya dengan brutal ke arah kepala pengemis itu. Namun, ternyata baginya, David bukanlah sembarang pengemis. Dia telah menguasai ilmu bela diri kuno, meskipun belum sepenuhnya sempurna.
Menghindar dan membalikkan keadaan, David malah melancarkan pukulan ke perut satpam arogan itu.
Braak...!! Petugas keamanan itu mundur tiga langkah dan membenturkan punggungnya ke pagar apartemen. Dia terduduk di tanah, meraung kesakitan sambil memegangi perutnya dan mengusap punggungnya yang nyaris terkoyak…
Deras langkah kaki terdengar di telinga David dan satpam itu. Keduanya menoleh, melihat sosok laki-laki baru yang mendekati mereka. Dibalik wajah sakit yang mencerminkan penyesalan, satpam yang tadi menyerang David merasa senang melihat teman sejawatnya. Dalam hati, ia yakin bahwa pengemis itu tak akan lepas dari siksaan mereka.
Sambil mengatur napas, satpam yang baru saja datang bertanya, "Apa yang sedang terjadi? Aku mendengar suara perkelahian."
Siapa sangka, sosok tersebut ternyata adalah kepala satpam di tempat itu yang baru saja keluar dari toilet.
"Dia komandan," ujar Muhlis, matanya melirik ke arah David yang berdiri santai sambil memegang buntalan kain. "Ada masalah apa dengannya?" Tanya komandan itu, tatapannya beralih pada David sesaat.
"Dia nekat masuk ke sini, dan saya berusaha menghalanginya. Tapi dia malah memukul saya dengan kejam," ucap Muhlis, menyembunyikan kenyataan bahwa ia hanya ingin menghukum David karena telah menghina kehormatannya di depan publik. Ia tahu, komandan yang bijaksana itu memiliki kelembutan hati kepada rakyat miskin.
Komandan menghadap David, tajam menatap ke matanya. "Apakah yang dikatakannya itu benar?"
"Saya hanya mencari apartemen baru yang dibeli ayah saya di sini," sahut David, setengah berbohong. "Ia justru mengusir dan hendak memukul saya tanpa alasan yang jelas."
Kening sang komandan mengerut saat mendengar David menjawab dengan suara bergetar. Ia lantas menoleh kepada Muhlis dan menyelidik lebih dalam. "Apakah kamu sudah mencari kebenaran dari apa yang dituduhkan padanya?"
"Tidak, dia memang tidak menyebut memiliki apartemen di sini. Namun dari penampilannya yang terlalu biasa dan sikap angkuhnya, saya yakin ia bukan orang yang berpunya," bantah Muhlis, mencoba memutar balikkan situasi agar dirinya tak terlihat bersalah.
Komandan itu mengamati David sekali lagi dengan seksama, menilai setiap inci tubuhnya. Memang tidak ada yang mencirikan anak-anak orang kaya, namun ia tidak berani meyakinkan sepenuhnya penilaiannya. "Apakah benar apa yang dikatakannya?" pikirnya sambil bertanya, "Bolehkah saya melihat berkas kepemilikan apartemen tersebut?"
Dengan hati-hati, David menurunkan bungkusan kainnya dan membukanya. Dia mengambil berkas itu dan menyerahkannya kepada komandan. Sang komandan segera memeriksa map yang ada di depannya, lalu membukanya. Sesaat kemudian, matanya terbelalak kaget.
"Ini adalah kepemilikan seluruh gedung apartemen, bukan hanya satu, tapi semuanya miliknya! Artinya, orang di depanku ini adalah bos besar!" pikir komandan sambil menekan kegembiraannya dan berusaha mempertahankan wajah tenang.
"Permisi sebelumnya, tapi untuk memastikan kebenarannya, Anda harus menunjukkan kartu identitas Anda terlebih dahulu." Kata petugas tersebut dengan sopan dan tegas.
David segera mengambil ID Card dari saku celananya. Sebelumnya, dia meminta sistem untuk membuatkan identitas baru untuknya dan sistem memerintahkan untuk mengambilnya di saku belakang celananya. “Ini ID saya,” katanya sopan sambil tersenyum lembut, menyadari bahwa sikap sopan orang itu patut diapresiasi.
Setelah mencocokkan nama pada ID Card dan nama yang ada di file, sang komandan langsung membungkuk dan berkata, “Maaf aku tidak menyapamu dengan baik, Boss muda. Panggil aku Joni, dan tentang orang ini...” Dia menunjuk Muhlis, "Aku akan memecatnya sekarang, Boss muda."
Melihat komandannya yang tegas dan tangguh membungkuk di hadapan David, Muhlis merasa tidak enak hati. Setelah mendengar sang panglima akan memecatnya, ia segera menghampiri pemuda lusuh itu dan memberikan penyesalan mendalam. Muhlis sadar bahwa kesalahannya kali ini berakibat fatal. Dia tahu bahwa komandannya, Joni, tidak akan tunduk kecuali kepada orang yang memiliki kekuasaan lebih besar.
Muhlis langsung duduk dan memegangi kaki David. Dia segera berkata sambil menangis. “Jangan pecat aku, bos. Saya akan melakukan hukuman apa pun. Selama Anda tidak dipecat. di rumahku banyak perut yang perlu makan,” ucapnya memelas.
David melangkah mundur dan melepaskan kakinya dari pelukan para mukhlis. “Seharusnya kamu sudah berpikir lebih awal, oke.. Aku akan memberimu satu kesempatan lagi, Dan ini terakhir kalinya, Komandan akan melaporkan kelakuanmu di kemudian hari. kalau kejadian seperti ini terulang lagi aku akan memecatmu, bahkan aku bisa membuatmu tidak bisa bekerja dimanapun” ancamnya dengan tatapan tajam…