MEMINTA MAAF
Fikri berjalan dengan langkah panjangnya menuju kamar Sera dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam kantung celana. Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu langsung menemui cucunya setelah bertemu dengan Arsya.
Perlahan-lahan pintu itu terbuka olehnya, bisa Fikri lihat jika Sera tengah duduk dihadapan meja riasnya. Hati Fikri seolah ditikam benda berat, ia menampar cucunya sendiri. Fikri menyesal telah menampar Sera apalagi menjelek-jelekannya, ia berjalan menuju tempat dimana Sera berada.
Fikri mengelus rambut, Sera dan membuat Sera kaget.
"Kakek," ucap Sera, perempuan itu langsung berdiri agak menjauh dari posisi Fikri. Sera bingung mengapa Fikri berada di kamarnya.
Sementara, Fikri ia termenung melihat sikap Sera. Dulu cucunya itu selalu memeluk dirinya, dan sekarang dia berdiri dengan posisi yang jauh darinya.
"Sera, ngak mau peluk Opa?" tanya Fikri mencoba untuk tersenyum.
Sera berjalan mundur. "Sera, bodoh opa. Sera bukan cucu opa lagi," ujarnya menggeleng cepat.
"Sini sayang. Sera cucu opa, Sera kesayangan opa," ucap Fikri lirih. Hatinya sakit melihat Sera seperti ini akibat perbuatannya sendiri.
Fikri berjalan cepat dan langsung memeluk cucu satu-satunya itu. Sedangkan Sera hanya diam, ia enggan membalas pelukan opanya. Lama kelamaan pelukan mereka semakin erat tangan, Sera terulur untuk membalas pelukan Fikri.
"Maafin, opa. Opa yang bodoh karena udah nampar, Sera." Hanya kata itu yang bisa Fikri ucapkan.
"Sera mau maafin opa?" tanya Fikri, kini pelukan mereka sudah terlepas.
"Sera ngak bisa kembaliin semua aset keluarga kita," ucap Sera. Dirinya sendiri bingung, tak ada cara untuk mengambil semuanya. Kesalahan ini sudah terlanjur fatal. Sekarang Fikri meminta maaf kepada dirinya setelah kemarin memaki-makinya? Benar-benar aneh.
"Bisa," ucap Fikri yakin. Dirinya menjadi teringat pertemuan kemarin.
"Bagaimana?" tanya Sera lirih. Semua kemungkinan buruk terngiang-ngiang diotak Sera. Apakah Fikri tak berubah? Apakah Fikri memintanya untuk memohon-mohon kepada keluarga Giory? semua pertanyaan itu terngiang-ngiang dikepalanya.
Fikri menceritakan pertemuannya tadi dengan Arsya. Sera mendengarkan cerita opanya dengan saksama, kini posisi mereka tengah duduk diatas sofa panjang. Tangan Sera digengam kuat oleh Fikri.
"Apa Sera mau nemuin, Arsya?" tanya Fikri penuh harap.
"Kalau dia berbuat macam-macam opa sendiri yang akan langsung jemput kamu. Coba sekali saja kamu bujuk Arsya untuk hal ini," imbuhnya.
Sera tetap diam dan Fikri beranjak dari duduknya dan pergi tak lupa ia mencium puncak kepala Sera. Setelah kepergian Fikri, air mata Sera turun begitu saja tanpa ia minta. Apakah dia harus bertemu dengan Arsya? Ia sendiri tak mau.
Kalau ia tak kesana otomatis keluarganya akan jatuh miskin. Semua pekerja yang ada dirumahmya kehilangan pekerjaannya, belum lagi para bodyguard yang berjumlah lebih dari 10 ribu orang. Bukan hanya keluarganya yang menderita nanti, tapi seluruh pekerja yang mengabdi dengan keluarganya akan kehilangan pekerjaannya.
Perempuan itu menghapus sisa air matanya dan mengambil remote lalu ia menyalakan tv.
"Sampai saat ini masih belum ada klarfikasi mengenai turunnya kekuasaan Louwen. Lebih dari 1000 wartawan berada didepan rumah Louwen dan Giory. 2 keluarga yang bermusuhan itu sama sekali belum keluar dihadapan public."
Sera kembali menekan salah satu tembol yang ada diremot itu.
"Diduga tuan Fikri Louwen sudah menemui cucu tunggal keturunan Giory. Semua mengatakan jika penyebab bergesernya posisi Louwen dikarenakan ulah dari cucu perempuannya."
"Dua belah pihak sama-sama bungkam, dan wartawan harus melawan para bodyguard dari masing-masing keluarga untuk mendapatkan informasi yang akurat. Para tim kita sedang berusaha untuk mencari berita yang pemirsa nantikan. Tetap stay dan saya akan kembali 1 jam kedepan."
Lagi-lagi semua stasiun televisi hanya menayangkan tentang itu saja. Public saling beradu tanggapan mereka masing-masing. Oke! Sera akan menemui, Arsya bukan hanya untuk keluarga saja tapi juga untuk para pekerja supaya mereka tetap mempunyai pekerjaan.
"Semoga, Arsya bisa diajak kerja sama. Aku akan membujuk dia dan menerima apapun syarat dari dia supaya nama Louwen kembali bersih." Doanya dalam hati, ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Arsya esok hari.
***
Diwaktu yang sama tepatnya dikediaman keluarga Giory, kini Arsya tengah disidang oleh anggota keluarganya. Wisnu menatap tajam sang cucu, sedangkan Arsya yang ditatap hanya tiduran dipangku Reta.
"Sya, dengarkan kakekmu ini," ucap Alif yang mulai jengah dengan situasi ini.
"Dari tadi udah, Arsya dengerin," ucap Arsya.
"Pokoknya kakek ngak setuju kamu kembaliin aset-aset mereka," ucap Wisnu.
"Emang bener, Sya?" tanya Reta, perempuan berusia hampir setengah abad itu bingung dengan pembicaraan ini. Para laki-laki dihadapannya ini membicarakan tentang pekerjaan, Reta sama sekali tak paham tugasnya hanya menghabiskan uang saja.
Arsya bangkit dari posisinya dan menyeruput matchanya yang berada didalam cangkir."Untuk apa kita ambil aset mereka, buat beli perusahaan lagi? Atau beli pulau? Ayolah kita udah punya itu semua. Atau kalian akan mandi dengan uang yang jumlah nya sangat banyak itu belum lagi uang milik kita," jelasnya panjang kali lebar.
"Bahkan jika kita menghabiskan 1 Milyar dalam sehari, uang kita ngak akan habis. Bahkan aku sendiri menyimpan uangku di brankas kantor, black card? Udah ada banyak, bahkan tak semuanya aku taruh didompet," imbuh Arsya.
"Benar apa yang dikatakan, Arsya. Uang kita sendiri masih banyak bahkan istriku yang cantik ini tak bisa menghabiskannya," ucap Alif dengan melihat kearah Reta yang tengah tersipu malu.
Wisnu berdecak sebal. "Terserah apa yang kau lakukan, Arsya. Yang terpenting posisi Giory tetap nomer 1, dan musuh kita tetap Louwen sampai kapanpun," ucap laki-laki yang berusia lebih dari setengah abad itu lalu pergi dari sana.
Arsya kembali menyeruput matchanya hingga habis, uang keluarganya sudah banyak sekali. Jika ditambah dengan aset keluarga Louwen bisa membentuk gunung, bukannya sombong tapi kenyataan.
"Apa bunda tak ingin sesuatu dariku?" tanya Arsya menatap Reta.
"Semuanya sudah bunda punya." Reta tertunduk lesu.
Arsya tertawa pelan lalu mencium pipi bundanya dengan sayang. "Nanti akan kubelikan bunda hadian yang paling spesial," ucapnya lalu pergi dari sana.
Reta tersenyum haru. "Betapa beruntungnya aku memiliki putra seperti Arsya," ucapnya.
"Dia sepertiku sayang." Alif memeluk istrinya dari samping.
"Yaa... Dan dia juga keras kepala sama sepertimu," ucap Reta, tak urung ia juga membalas pelukan sang suami. Walapun umur mereka sudah tak muda lagi namun kemesraan mereka semakin bertambah.
Bagi Reta Arsya adalah pangerannya, Arsya selalu mengutamakan kebahagiaannya. Reta beruntung bukan, sebab itu lah ia sangat menyayangi Arsya putra kecilnya yang saat ini sudah tumbuh dewasa menjadi lelaki yang kuat dan membanggakan.