FIKRI DENGAN ARSYA
Sera terbangun, perempuan itu mengerjapkan matanya. Dia sudah sadar sepenuhnya namun kepalanya masih pusing, Sera berada didalam kamarnya yang bernuansa tosca. Perempuan itu menoleh, tepat disebelahnya ada Citra yang tertidur dengan posisi duduk dikursi.
Perempuan itu baru ingat jika sebelumnya dia pingsan karena terlalu lama menangis dan ia belum makan dari pagi. Sera menoba untuk duduk dan bersender dikepala ranjang. Papanya juga tertidur disofa, Sera tak bisa melihat pemandangan seperti ini.
"Maa," panggil Sera, ia mengelus tangan Citra yang kini tengah menggengam tangan miliknya.
Mendengar suara sang anak, Citra terbangun dan terkejut mendapati Sera yang sudah duduk bersender. Perempuan hampir berumur setengah abad itu bangkit dari kursinya dan duduk ditepi ranjang Sera. Tangan Citra masih mengengam kuat telapak tangan Sera.
"Kamu udah enakan?" tanya Citra lembut.
Sera hanya mengangguk. "Makasih udah nememin, Era," ucapnya menatap sang mama. Sungguh ia sangat beruntung memiliki orang tua sebaik mereka.
"Sama-sama, sayang. Itu sudah menjadi kewajiban Mama," ucap Citra, ia mengelap keringat yang ada dipelipis Sera menggunakan punggung tangannya. Rama mendekat dan ikut duduk dipinggir ranjang, Sera. Lelaki itu memijat kaki sang anak yang berbalut dengan selimut tebal. Sedangkan, Sera ia melihat kearah papanya dengan wajah sayunya.
"Apa kakek masih marah?" tanya Sera menatap Rama lekat. Sebenarnya ia masih takut dengan sang kakek, apalagi saat beliau membentaknya.
Mau tak mau Rama mengangguk, Sera sendiri sudah menduga jika Fikri masih marah atau mungkin tak akan memaafkan dirinya. Sera mencoba tersenyum, diotaknya masih berfikir cara untuk mengembalikan nama Louwen lagi.
"Sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja sayang." Rama mencoba menghibur sang anak, walau dia sendiri tak tau apa yang akan terjadi kedepannya.
"Opa kecewa sama Sera," ucap Sera, ia teringat oleh kata-kata yang opanya berikan kepadanya.
Fikri menggengam tangan Sera dengan erat. "Papa yang akan melindungi Sera dari apapun. Papa tak apa hidup miskin, yang terpenting Sera harus ada bersama papa," ucapnya.
"Papa pelindung, Sera. Sera sayang papa," ucap Sera. Citra dan Fikri tersenyum kompak melihat wajah Sera yang kembali ceria walau hanya sedikit. Orang tua mana yang tega melihat anaknya rapuh atas kesalahan yang tak dia sengaja? Apalagi Citra, wanita berusia hampir setengah abad itu merasa sedih melihat keadaan sang anak. Mertuanya marah kepada anaknya dan ia tak bisa melakukan apa-apa selain diam.
Mereka bertiga berpelukan sekilas, lalu Citra dan Fikri meninggalkan Sera sendirian supaya ia istirahat untuk mengembalikan tenaganya. Sera sudah mencoba untuk tidur namun tak bisa. Perempuan itu memilih untuk turun dari kasurnya dan berjalan kearah pojok ruangan.
Sera berdiri dihadapan pembatas kaca antara kamarnya dan balkon. Tangannya terulur untuk membuka korden besar itu, seketika mulutnya terbuka lebar. Didepan mansionya banyak sekali wartawan yang datang. Dengan segera Sera menutup kembali kordennya. Perempuan itu berjalan kearah sofa dan duduk, ia membuka laptopnya.
Sera menghela nafas, kini nama Louwen berada diurutan nomer 10. Yang menjadi tanda tanya besar, mengapa Arsya tak langsung menjadikan nama Louwen diurutan paling akhir. Apa lagi yang akan direncanakan oleh keluarga itu? Batin, Sera bertanya-tanya.
"Mengapa semua ini terjadi kepadaku?" batin Sera pilu.
"ARGHH!" Sera berteriak melampiaskan seluruh emosinya. Untung saja kamarnya kedap suara, sedikit lebih lega bisa berteriak seperti ini.
Dalam hati ia terus merapalkan do'a supaya semuanya baik-baik saja, supaya Fikri tak marah, supaya aset-aset nya kembali. Sera berharap itu semua yang entah terkabul atau tidak.
***
Diruanga serba hitam ada 2 orang lelaki berbeda usia. Mereka tengah membicarakan hal yang sangat penting. 2 orang lelaki itu adalah Fikri dan Arsya, seperti yang dikatakan kemarin Fikri akan bertemu dengan Arsya dan berbicara hanya 4 mata.
Baik Arsya maupun Fikri, mereka sama-sama tak mengajak asistennya. Awalnya Wisnu ingin ikut namun dengan cepat Arsya melarangnya, Arsya hanya ingin pembicaraan kali ini hanya ia dan Fikri saja yang tau.
"Saya sebenarnya tak menyangka jika Sera bisa seceroboh itu," ucap Arsya hanya sekedar basa-basi semata.
Fikri mengangguk setuju. "Apa kau tak ingin mengembalikan semua aset-aset saya?" tanyanya.
"Saya mendapatkan itu dengan hasil kerja keras saya. Ini dunia bisnis, apapun yang telah saya dapatkan tak akan bisa saya berikan lagi. Bukankan Anda tau tentang itu? Cara seperti ini bukanlah hal yang jahat," ucap Arsya kelewat santai.
"Keluargaku akan jatuh miskin. Setidaknya kau berikan setengah dari asetku dengan begitu keluargamu akan menjadi nomor satu dan nama Louwen akan bergeser posisi menjadi nomer 2." Fikri mencoba bernegosiasi dengan cucu 'musuhnya' ini. Nasibnya bagaimana jika ia jatuh miskin? Lalu apa kata dunia setelah mendengar kabar ini? .
Arsya menggeleng tak setuju, "Bagaimana jika kau pertemukan aku dengan, Sera. Dan aku akan mencoba berfikir tentang apa yang kau ucapkan tadi," ucap Arsya.
"Jika Sera tak mau bertemu maka jangan bermimpi jika saya akan mengembalikan aset-asetmu," imbuh Arsya. Keputusan yang cukup sulit diterima oleh keluarganya sendiri, namun entah mengapa ia berpikir jika ini keputusan yang terbaik buat kedepannya.
"Saya tak sudi mempertemukanmu dengan Sera," ujar Fikri. Dirinya tak ingin jika Sera bertemu dngan Arsya, ia tak rela jika Arsya berbuat hal yang tidak-tidak kepada cucu kesyangannya.
"Saya tak memaksa. Ingat kata-kata saya tadi, semua keputusan ada di tangan anda!" balas Arsya sengit.
Fikri terdiam, bagaimana ini? Ia binggung. Bagaimana jika nanti Sera kenapa-napa? Sial, Arsya benar-benar menjebaknya dengan kata-kata. Semua ini diluar ekspetasinya.
Fikri mengangguk dan berdiri, "Akan saya suruh, Sera menemui dirimu. Saya hanya ingin asetku kembali, bajingan," ucapnya dengan akhiran bisikan tepat disamping telinga Arsya lalu pergi dari ruangan itu.
Arsya tersenyum puas, entah lah apa yang akan ia bicarakan dengan Sera nanti. Lelaki itu tertawa kecil saat Fikri menyebut dirinya dengan sebutan bajingan. Arsya sangat puas melihat raut wajah Fikri, mungkin besok ia akan bertemu dengan Sera.
Lagi pula sekarang kekayaan keluarganya 75% berada diatas Louwen. Jadi Arsya bisa melakukan apapun, namun lelaki itu masih mempunyai rencana. Pihak keluarganya sendiri tak akan berbicara seperti didepan public sebelum rencananya berhasil. Begitu juga dengan keluarga Louwen, mereka tak memberikan semacam 'klarifikasi' atas masalah ini sebelum keputusan Arsya terdengar.
"Sera, tunggu saja kau yang akan memohon-mohon kepadaku," batin Arsya tersenyum puas, lelaki itu juga menyantap kue matcha buatan bundanya yang amat sangat lezat. Dibalik rasa puas, Arsya juga menyimpan keresahan hati. Tak ada yang tau tentang itu, Arsya memang pandai menyimpan sesuatu seorang diri.