PUTUS ASA
Kini tertua dari keturunan Louwen tengah marah besar. Semua barang yang ada disekitarnya dirinya banting. Sedangkan Sera hanya mampu menangis dipelukan Citra sang mama. Sera sudah menceritakan tindakan bodohnya kepada keluarganya, dan sekarang Opa dan papanya marah besar.
"Maafin, Era Opa," ucap Sera disela tangisannya.
"KESALAHAN KAMU SUDAH FATAL, SERA," bentak Fikri. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu sangat marah dengan cucu satu-satunya yang lalai. Akibat dari perbuatan Sera perusahaannya kini terancam bangkrut karena dana masuk kedalam nama Giory.
"Pa, jangan bentak anak aku. Sera memang salah, tapi Citra mohon jangan seperti ini hiks hiks." Citra ikut menangis lantaran tak tega melihat Sera seperti ini. Dia tau anaknya berbuat salah, ibu mana yang tega melihat putrinya menangis ketakutan seperti ini?. Sebenarnya ia juga marah dengan Sera, namun ia tak bisa melampiaskan emosinya kepada Sera.
"Diam Citra." Fikri menatap tajam menantunya itu. Amarahnya sudah diubun-ubun, mungkin jika Sera laki-laki akan ia pukili bagai samsak.
Sera bangkit dari duduknya dan bersujud dikaki Fikri. "Hiks hiks udah, bunuh Sera hiks hiks Sera udah bodoh hiks hiks Sera udah bikin keluarga kita malu hiks hiks. Ayo Opa bunuh, Sera!" ucapnya dengan nada lemah diakhir, dirinya sudah putus asa.
Fikri hanya diam sembari menatap kedepan, tak ada yang bisa menyelamatkan kekayaannya kecuali keluarga Giory sendiri. Fikri langsung menghempaskan tubuh, Sera kasamping. Sedangkan, Sera hanya pasrah menerima apapun apa yang dilakukan oleh, Fikri.
"Jangan harap kau akan menjadi cucuku lagi sebelum nama Louwen berada diurutan paling atas. Kau sudah mengecewakanku, Sera!" ucap Fikri menujuk Sera yang terduduk dilantai marmer yang dingin.
Fikri berbalik badan dan melangkah, "Kau sudah membuatku marah, Sera dengan tindakan cerobohmu itu. Kau bodoh, Sera," ucapnya sarkas lalu pergi dari sana menuju kamarnya yang berada dilantai atas.
Kini diruang keluarga yang nampak seperti kapal pecah hanya tersisa Sera, Citra dan Rama. Mereka sama-sama diam, dan hanya terdengar suara tangisan Sera yang menyayat hati.
Sera mencoba berdiri dan berjalan kearah Rama dengan mata sembab, "Papa ngak mau nampar anak papa yang bodoh ini? Lihatlah Sera sekarang bodoh papa, Sera bukan princess papa lagi. Ayo tampar, Sera Papa hiks hiks. Sera bodoh, Pa!" ucapnya diakhir ia berkata lirih dan menunduk karena air matanya tak bisa berhenti untuk menetes.
Rama tetap diam, kalimat demi kalimat yang Sera ucapkan menyapu indra pendengarannya. Putrinya kini kacau, mata bengkak karena terlalu lama menangis dan pipi yang memerah akibat tamparan dari, Fikri.
Rama berjalan kedepan, ia melihat istrinya yang berada dibelakang yang juga kini menatap dirinya seolah meminta dia untuk jangan menyakiti Sera. Rama mengangguk seolah paham maksud dari istrinya yang masih menangis itu.
Lelaki berusia hampir setengah abad itu memeluk sang putri dengan erat. "Sera akan tetap menjadi princess papa. Sera ngak bodoh, Sera hanya kurang teliti. Sera tetap putri papa dan mama yang paling kita sayangi," ucapnya, tangannya mengelus punggung Sera yang tingginya sebatas dagunya.
"Sera, udah ngerusak kepercayaan kalian hiks hiks hiks Sera gila papa," ucap Sera, tangisannya semakin menjadi.
Citra mendekat kearah anak dan suaminya. "Sera, jangan nangis sayang. Papa sama mama akan selalu ada untuk, Sera," ucapnya, ia mengelus kepala Sera dengan penuh sayang.
Rama bingung karena tak mendengar suara tangisan Sera ditambah berat tubuh anaknya seolah menopang keatas tubuhnya. Rama mencoba menepuk punggung Sera.
"Mas, Sera pingsan." Citra berteriak histeris.
Tanpa aba-aba, Rama menggendong Sera menuju kamar perempuan itu. Citra berjalan cepat mengukuti langkah suaminya. Citra juga menyuruh asisten Sera untuk memanggilkan dokter. Dirinya khawatir melihat keadaan sang anak, semua sudah kacau balau.
***
Didalam kamar yang bernuansa abu-abu Arsya duduk ditepi kasurnya. Ditangan lelaki penyuka matcha itu terdapat sebuah iPad besar yang menampilkan video seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah video Sera.
Ya... Arsya telah berhasil membobol CCTV dikediaman Louwen dan sekarang semua kegiatan dirumah itu terhubung dengan iPadnya. Sedari tadi lelaki itu melihat perpecahan ditengah-tengah keluarga itu.
Arsya tak paham ada apa dengan dirinya, disisi lain ia bahagia bisa mengalahkan nama Louwen dan kini nama Giory menjadi urutan paling atas. Lelaki itu tak tega melihat Sera yang menjadi amukan Fikri.
"Seharusnya aku senang, mengapa hatiku seolah sakit melihat Sera seperti ini?" batin Arsya bertanya-tanya.
Dan kini berita-berita ditv semua menyorot nama Louwen yang kini tak lagi diurutan kesatu. Bahkan banyak sekali wartawan didepan pagar mansion, namun Wisnu tak membolehkan dirinya untuk menemui para wartawan itu.
Arsya memutuskan untuk mematikan iPadnya setelah menampilkan Sera yang pingsan. Sial! Arsya tak boleh memikirkan perempuan itu. Lelaki itu berjalan kearah jendela kaca kamarnya, ia menyingkap sedikit korden. Matanya melihat kebawah, disana para bodyguardnya berada didepan pagar supaya tak ada yang bisa masuk kedalam.
Jika dihitung-hitung ada sekitar 1000 lebih wartawan dari berbagai saluran TV baik dalam negeri maupun luar negeri. Asistennya datang dan memberikan dia beberapa berkas. Alis Arsya terangkat seolah menanyakan berkas apa yang dia berikan kepadanya.
"Jika anda menandatangani berkas ini, semua harta kekayaan Louwen akan jatuh atas nama anda," Ucap Niko.
"Apakah kakek menyuruhku menandatangani ini sekarang?" tanya Arsya.
Niko menggeleng. "Jika tuan merasa lelah, lebih baik besok saja. Tuan Wisnu hanya menyuruh saya untuk memberikan berkas itu kepada anda," balasnya.
"Besok tuan Fikri mengajak anda bertemu untuk membicarakan kecobrohan cucu tunggalnya," lanjut Niko.
"Hm, besok kau siapkan semuanya. Aku tak sabar bertemu dengan pria tua itu," ucap Arsya dengan seringai kecil.
Niko pamit untuk pergi, sepeninggalan Niko kini kamar Arsya menjadi sepi. Lelaki itu berjalan kearah kasurnya dan menyimpan berkas penting itu dirak yang ada sensornnya. Jadi jika ada yang mengambil berkas itu, sensornya akan berbunyi. Jadi yang bisa mengambil sesuatu didalamnya hanya anggota keluarganya saja.
"Sampai bertemu esok hari tuan Fikri, apakah kau akan bersujud dikakiku?" batin Arsya, lelaki itu membayangkan bagaimana pertemuan besok dengan Fikri.
Arsya memilih untuk tidur, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah 'perang' dan pulang dengan kemenangan yang dinanti-nantikan oleh keluarganya. Perjuangannya yang kini sudah ada hasil, keluarganya berbahagia dan keluarga Sera bersedih.