Bab 6
Adelia tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya bersama Arsenio semalam. Dia kemudian teringat sang bunda.
"Maafkan Adel bu. Ini semua karena Adel telah berbohong sama ibu." Air mata Adelia tiba-tiba keluar begitu saja.
Dadanya terasa sesak, masih tidak percaya dengan apa yang telah diperbuatnya. Dia kemudian menoleh ke arah Arsenio yang masih tertidur pulas. Dia kembali membayangkan ketika dirinya bercinta begitu liarnya dengan Arsenio.
Adelia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku benar-benar tidak percaya semalam aku melakukanya. Arsen memang sudah menjadi suamik, tetapi kita tidak saling mencintai dan pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak." Adelia menatap wajah Arsenio.
Adelia kembali menangis sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih polos. Suara tangisanya pun begitu menyayat hati.
Arsenio terbangun karena mendengar suara tangisan tersebut. Dia memperhatikan Adelia dengan tatapan bingung. Arsenio langsung mengingat kejadian semalam.
"Sial! Apa yang kita lakukan semalam?" Arsenio bangun dari tidurnya lalu melihat tubuhnya di balik selimut. "Kamu ...." Arsenio terdiam sambil menatap wajah Adelia yang menangis. "Sudah tidak usah menangis! Kenapa semalam kamu tidak menolaknya?" kesal Arsenio lalu mengingat kejadian semalam.
Adelia mengusap pipinya. "Jadi kamu menyalahkanku? Kamu juga kenapa melakukannya? Kamu bilang tidak akan menyentuhku!" marah Adelia.
Adelia bangun dari tempat tidur. Dia mengambil baju tidur lalu memakainya. Adelia akan beranjak ke kamar mandi sambil menahan sesak di dadanya.
Namun, di saat kakinya melangkah. "Kenapa sakit sekali?" ucap Adelia.
"Sakit!" kaget Arsenio lalu memperhatikan tubuh bawah Adelia.
Adelia diam saja lalu berjalan ke arah kamar mandi. Arsenio memperhatikan punggung Adelia yang sedang berjalan.
"Dia benar-benar masih perawan!" Arsenio menggelengkan kepalanya lalu bangun dari tempat tidur. "Benar, dia masih perawan." Arsenio memperhatikan bercak darah pada sprei yang berwarna putih.
***
"Bagaimana tidur kalian nyenyak?" tanya Bu Martha di sela-sela makan pagi.
"Iya, Ma. Nyenyak." Arsenio menjawab dengan lesu.
Sementara Adelia hanya diam saja. Masih merutuki kejadian semalam.
"Kenapa kamu jawabnya lesu sekali?" kesal Bu Martha lalu menoleh ke arah Adelia. 'Kamu juga kenapa, Adel? Kok, diam saja? Kalian tidak lagi berantem, 'kan?"
"Tidak, Ma. Adel cuma tidak enak badan saja," kelit Adelia.
"Tidak enak badan! Ya, ampun kalian memang melakukannya ...." Bu Martha langsung terdiam dan menutup mulutnya. Dia malah keceplosan berbicara.
Arsenio dan Adelia langsung menatap wajah Bu Martha.
"Mama memberikan ramuan apa sama kita?" Arsenio menatap tajam wajah sang bunda.
"Ramuan biasa," jawab Bu Martha.
"Iya, tetapi ramuan apa, Ma?" Suara Arsenio meninggi.
"Kenapa suara kamu seperti marah sama Mama? Memangnya Mama salah memberikan ramuan itu? Lagian, 'kan kalian sudah suami istri. Kalian ini masih muda, tetapi payah dalam bercinta. Makanya Mama kasih kalian obat perangsang."
"Apa!" Jerit Arsenio dan Adelia secara serempak.
"Ya, ampun kenapa kalian kompak sekali kagetnya? Tapi bercinta kalian liar, 'kan? Tidak payah seperti yang kalian berdua katakan?"
Arsenio dan Adelia kembali tercengang mendengar ucapan Bu Martha. Mereka kemudian saling menatap. Ucapan mereka malah menjadi boomerang untuk mereka sendiri.
"Ya, sudah. Arsen mau berangkat ke perusahaan, Ma." Arsenio bangun dari duduknya.
"Iya, Nak. Hati-hati kamu, ya."
"Iya, Ma," jawab Arsenio lalu menoleh ke Adelia, "Sayang aku berangkat ke perusahaan dulu." Arsenio mencium kening Adelia.
"Iya, Sayang." Adelia menjawab dengan kaku sambil tersenyum.
***
Adelia pulang ke rumah ibunya. "Sore, Bu," sapa Adelia kepada Bu Wulan yang sedang menjahit.
"Kamu sudah pulang? Kirain mau menginap lagi." Bu Wulan menoleh lalu kembali menjahit.
"Adel memang mau menginap lagi."
"Kamu memangnya tidak capek? Kerja dua kali begitu? Sudahlah tidak usah. Jangan kuras tenagamu. Gajimu yang kerja di toko online sudah cukup."
"Sudah tidak apa-apa, Bu. Lagian cuma tiga bulan doang, kok."
Bu Wulan geleng-geleng kepala. "Ya, sudah terserah kamu. Tapi ingat kamu jangan macam-macam dan harus bisa menjaga diri," pesan Bu Wulan.
Deg, seketika dadanya kembali sesak mendengar ucapan sang bunda. Perkataan sang bunda seakan menampar dirinya sendiri. Merutuki perbuatannya dengan Arsenio dan juga merasa bersalah karena telah berbohong kepada sang bunda.
***
Seperti biasa Adelia mengantarkan pesanan jahitan kepada pelanggan. Adelia memasuki perumahan elite menggunakan motor kesayangannya.
"Tumben yang pesan jahitan di perumahan elit. Biasanya cuma kalangan di sekitar rumah." Adelia bicara sendiri sambil mencari alamat. "Nah, ini rumahnya." Adelia memberhentikan motornya.
Adelia sudah berada di rumah tersebut dan bertemu sang pemilik rumah. “Tante ini jahitannya sudah selesai.”
"Wah, saya tunggu-tunggu ini. Kamu duduk dulu, ya. Tante mau cobain dulu.”
'Iya, Tante silakan,” ucap Adelia lalu duduk di sofa.
Lima belas menit kemudian sang pemilik rumah kembali menemui Adelia. “Maaf, ya. Nyobainnya kelamaan. Soalnya ada teman Tante penasaran sama bajunya. Em, kamu kerjanya penjahit juga sama kaya ibu kamu?”
“Tidak, Tante saya cuma karyawan di toko online. Saya belum mahir dalam menjahit, masih belajar sama ibu saya.”
“Oh, begitu, kirain.”
“Oh, iya. Tante tahu dari mana menjahit baju ini di ibu saya? Soalnya baru kali ini saya mengantarkan pesanan jahitan ke perumahan ini."
"Tahu dari asisten rumah tangga saya. Katanya jahitan Bu Wulan sangat rapi. Tidak sangka ternyata anaknya cantik.”
"Tante bisa saja. Ya, sudah saya permisi. Mau mengantarkan jahitan lagi ke pelanggan." Adelia menundukkan kepalanya.
"Ya, sudah silakan. Sepertinya saya akan menjadi pelanggan baru ibu kamu."
"Iya, Tante. Terima kasih."
***
Adelia sudah mengantar jahitan lalu dia kembali bergegas ke rumah Arsenio. Dia berganti pakaian terlebih dahulu di rumahnya. Penampilan Adelia begitu elegan karena yang Bu Martha tahu Adelia bekerja sebagai desainer pakaian.
Namun, dia menutupinya kembali dengan sweater. Dia tidak ingin sang bunda bingung dengan pakaianya. Selama ini dia belum pernah berpakaian seperti itu karena di tempat kerja dia memakai pakaian bebas.
"Bu, Adel berangkat, ya."
"Iya, Adel. Kamu tidak bawa motor kamu lagi? Kenapa tidak pakai motor saja?"
"Tidak usah, Bu. Naik kendaraan umum saja."
"Ya, sudah hati-hati kamu."
"Iya, Bu."
***
Adelia sudah berada di rumah Arsenio.
"Hai, Ma. Serius sekali nonton televisinya?" Adelia duduk di samping Bu Martha.
Bu Martha diam saja. Dia memasang wajah cemberut sambil memperhatikan layar televisi. Terlihat jelas dia seperti menahan kekesalanya.
"Mama kenapa?" Adelia bingung dengan sikap Bu Martha.
"Pergi kamu dari sini! Aku tidak sudi punya menantu macam kamu! Bisa-bisanya kamu membohongi orang tua. Anakku sudah tertipu dengan kecantikanmu! Dan juga kamu sok, menjadi anak dari orang kaya. Padahal kamu hanyalah anak dari tukang jahit rumahan!"