Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2 // Penjara Bawah Tanah.

Pintu jeruji digembok, sipir berlalu tanpa kata-kata.

Bai Anhe menengadah. Tempat beradanya sekarang segelap tengah malam. Selain obor di ujung sana, tiada lagi penerangan penghangat sekaligus penenang jiwa.

Dia kemudian balik arah. Memperhatikan jeruji besi dengan tatapan redup, memperhatikan gembok terkunci dengan perasaan lemah.

"Ratu Bai, silakan."

Setelah dua shichen duduk bersandar tanpa suara, seorang Pelayan kediamannya mendadak datang bersama semangkuk nasi serta lauk pauk yang lekas dihidangkan.

"Bagaimana kamu bisa ke sini?" Bai Anhe merangkak, menggapai jeruji.

Pandangan redupnya sukses menggetarkan perasaan si Pelayan. Sambil mengusap sudut mata dia menjawab, "Kasim sepuh mengkhawatirkan keselamatan Ratu Bai, secara khusus meminta hamba membawakan makanan ini."

Bai Anhe melirik makanan beberapa saat. Meski lapar, dia tampak kurang tertarik mencicip.

"Jangan khawatir." Pelayannya bersuara. "Hamba sudah memeriksa, semuanya aman."

Tiap sudut bibir Bai Anhe terangkat meninggi. Sesegera mungkin dia menyambar semangkuk nasi, sekaligus mencicip tiap tiap lauk pauknya.

"Hamba mendapat kabar, Kaisar Lin Yi terkena racun tanpa penawar."

"Yang Mulia?" Secara naluriah Bai Anhe terkejut. "Siapa pelakunya?"

"Seperti biasa." Merendah suara Pelayan tersebut. "Nenek Permaisuri menduga Ratu Bai sebagai dalangnya, kalau tidak… mustahil Ratu Bai diseret ke sini."

Pupil Bai Anhe melebar, kepalanya spontan menggeleng.

"Hamba tahu." Pelayannya menunduk lesu. "Ratu Bai selalu diam di kediaman tapi… keyakinan Nenek Permaisuri akan identitas Ratu Bai sebagai mata-mata Yue Liang belum juga tergoyahkan."

Sorot mata Bai Anhe kian redup, dia tanpa sadar mengaduk-ngaduk semangkuk nasinya dengan air mata menetes.

"Tidak ada bukti apapun tapi kenapa aku yang selalu tertuduh?" keluh Bai Anhe.

Pelayannya tak menanggapi. Meski rumor identitas Bai Anhe terlalu meragukan, tetapi dibicarakan langsung dengannya juga termasuk tidak etik.

"Ratu Bai, habiskanlah makanannya. Hamba tidak tahu, nanti Kasim sepuh berkesempatan mengantar makanan lagi atau tidak."

Seperti yang Pelayannya katakan, hingga malam datang, tak seorang pun berkunjung walau sekedar membawakan minuman.

Perut Bai Anhe agak melilit. Dia berkali-kali memegangi sambil sesekali diusap.

Gluduk! Jeder!

Entah memasuki waktu apa, Bai Anhe yakin malam semakin larut. Pada saat yang sama hujan turun deras setelah guntur menggelegar.

Penjara bawah tanah terlalu lembab dan dingin. Bai Anhe melipat kaki, memeluk erat berharap dapat mengusir dingin. Namun saat diseret paksa Prajurit, dia tak sempat mengambil mantel atau setidaknya berganti pakaian lebih tebal.

Sekuat apapun dia meringkuk, tubuhnya tetap menggigil.

"Ratu Bai!" Suara serak nan lemah memecah.

Bai Anhe menggeliat bangun. Wajahnya pucat, bibirnya nyaris membiru.

"Hamba membawakanmu mantel bulu lynx."

Xu Rong… Pelayan yang siang tadi membawakan makanan, larut malam begini membawakan mantel.

Sorot mata Bai Anhe seketika penuh selidik. "Bagaimana bisa kamu ke luar semalam ini? Lantas, bukankah di luar hujan deras?"

Xu Rong menggeleng samar. "Hujan sudah reda, hamba baru sempat ke luar setelah Kasim sepuh memberi izin."

Bai Anhe bergeming. Matanya mengarah merah samar yang menyembul di balik lengan gadis itu.

"Siapa yang berani menyiksamu?" Bai Anhe tak tahan bertanya.

Xu Rong menarik ke bawah lengannya, serta menggeleng sambil tersenyum. "Bicara apa Ratu Bai ini. Tidak ada yang menyiksaku."

Tiga bulan Bai Anhe mengenal Xu Rong tapi… benar atau bohongnya gadis itu mudah baginya untuk ditebak.

"Ambilah, Ratu." Melalui celah jeruji, tangan Xu Rong mengulur menyerahkan mantel bulu lynx nya.

Semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, perasaan Bai Anhe bagai diremas hingga sakitnya sampai tak sanggup membuatnya menangis, melainkan bungkam menggigit bibir.

"Hamba tidak bisa berlama-lama." Xu Rong beranjak, melangkah mundur dan pergi secara tergesa-gesa.

Jejak merah di tangan Xu Rong terus membayang-bayangi pikiran Bai Anhe. Wanita itu tanpa sadar meremas mantel bulu lynx nya erat-erat.

Kemudian hari berganti.

Dua orang sipir melintasi penjara bawah tanah tempat Bai Anhe dikurung.

"Hujan tak berakhir hingga pagi tadi. Udara benar-benar semakin dingin. Kalau saja tidak ada tugas, aku lebih baik tidur."

"Ha ha ha, benar!"

"Ngomong-ngomong, empat hari sudah Kaisar tak sadarkan diri. Hal ini untungnya tidak bocor ke jangkauan luas. Jika sampai terjadi, bukankah pemberontakan tertahan bisa saja membludak?"

"Ssst!"

Bai Anhe mengerjap. Dengan segera memanggil dua sipir yang hampir mencapai ujung lorong.

"Tuan!"

Walau saat ini status Bai Anhe sebagai tahanan, tetapi dirinya tidak begitu diremehkan.

"Ya, Yang Mulia Ratu." Keduanya berbalik lantas menghampiri.

"Katakan pada Kasim sepuh, selain bertani identitas keluargaku adalah peracik obat, racun dan penawar. Aku berjanji, setelah memeriksa Kaisar akan mendapat penawarnya!"

Dua sipir tadi membeku, mereka saling lihat dengan kening berkerut.

"Kalau tidak berhasil, silahkan hukum aku seumur hidup di sini!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel