Bab 9 Firasat Harlan
Bab 9 Firasat Harlan
Harlan membuka foto masa kecil Mary secara perlahan. Ia usap foto tersebut dengan penuh kasih sayang. Mary kecil terlihat sedang memegang bunga dandelion di tangan kanannya. Ia sudah tampak begitu dewasa melebihi kawan-kawannya ketika masih berusia lima tahun. Harlan kerap mengajak Mary pergi ke taman untuk memperkenalkan tumbuhan apa saja yang ada di sana.
"Ayah, ini bunga apa?"
"Itu bunga dandelion, Mary."
"Seperti nama tengah Ibu ya!"
"Ya, Ibu punya nama tengah Dandelion."
"Mengapa orang suka mencabut bunga ini?"
"Karena bunga ini kerap dipandang sebelah mata oleh orang yang melihatnya, Mary. Orang hanya melihatnya sebagai bunga yang tumbuh di tempat yang tidak menarik bahkan di tempat yang biasa diinjak oleh orang."
"Padahal aku suka warna kuning bunga ini."
"Ayah juga demikian. Ayah ingin kau menjadi seperti bunga dandelion."
"Apakah Ayah ingin Mary diinjak oleh orang lain?"
"Bukan begitu sayang. Ayah ingin kau sekuat bunga ini, sekuat Ibumu sekarang. Apa kau lihat Ibu pernah mengeluh karena keadaannya yang sekarang?"
Mary menggeleng dengan menatap bunga dandelion yang barusan ia petik.
"Ya, Ibu tidak menyerah pada keadaannya, sesulit apapun Ibu akan terus melawan penyakitnya. Kau pun begitu Mary, kau tidak boleh menyerah pada keadaan sesulit apapun. Akan ada saatnya dimana kau akan merasa begitu terpuruk, namun kau harus selalu ingat Ibu."
"Memang apa artinya bunga ini, Ayah?"
"Dandelion memiliki makna dan simbol yang mendalam. Dandelion berasal dari kata dent de lion yang artinya gigi singa. Mereka bunga yang kuat, Mary. Dandelion dapat tumbuh dimana pun entah itu di di celah trotoar bahkan sejumput tanah. Secara harfiah dandelion dapat berarti penyembuhan dari rasa sakit emotional dan fisik, itulah mengapa Ibu selalu tampak ceria, karena Ibu memiliki jiwa penyembuhan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Selain itu bungan ini mencirikan orang yang cerdas baik dalam intelektual maupun spiritual. Dan jiwa itu ada padamu Mary. Kau juga memiliki ketahanan dalam menghadapi setiap kesulitan selama ini. Ayah tidak pernah melihat kau sedih berkepanjangan. Kau selalu terlihat ceria meskipun keadaan saat ini sedang sulit. Ayah bangga padamu, Mary."
"Ayah.."
"Sungguh, Ayah merasa bangga dengan selalu ada kau di samping Ayah dan Ibu. Kaulah Dandelion kami."
Harlan mengusap air mata untuk kesekian kalinya. Ia merasa kehilangan sosok masa kecil Mary dahulu. Sekarang ia sudah bersuami, Harlan merasa Mary tidak diperlakukan dengan baik oleh suaminya sendiri. Kesedihan Mary terasa sampai ke sanubari Harlan meskipun keduanya belum pernah bertemu. Harlan berusaha menenangkan dirinya sendiri. Air matanya terus mengalir tidak dapat berhenti. Mary, aku sangat merindukanmu, ucapnya begitu pelan. Seolah-olah ia telah kehilangan Mary. Ia merasa begitu jauh dengan Mary dan merasa terasing berada di rumah sendiri meskipun terdapat Meg. Kehadiran Meg tidak dapat menyembuhkannya perasaan Harlan yang merasa sunyi setelah bertahun-tahun ditinggalkan oleh Frida.
"Sedang apa kau?" Tiba-tiba Meg berdiri di depan pintu. Harlan segera menutup kembali lembaran album yang setelah sekian lama tidak dibuka. Diam-diam ia usap matanya yang masih basah.
"Album apa itu?"
"Bukan apa-apa." jawab Harlan singkat.
"Apa kau masih memikirkan Mary? Apa yang membuatmu begitu gusar dengan satu-satunya putrimu itu. Sudah kukatakan ia akan baik-baik saja bersama suaminya."
"Meg, aku adalah Ayah Mary, aku merasakan apa yang ia rasakan."
Meg terdiam sejenak. Ia merasa tidak enak dengan ucapan Harlan barusan.
"Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya tidak ingin kau terlalu khawatir pada sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi apa-apa."
"Bukan sekarang, namun nanti akan ada tiba saatnya dimana firasatku mengatakan benar apa yang sedang Mary alami."
Harlan beranjak pergi dengan menaruh kembali album ke rak paling atas. Meg masih terdiam dengan perasaannya sendiri. Ia tidak tahu bagaimana harus menyikapi Harlan. Ia merasa bahwa Harlan terlalu memanjakan putri semata wayangnya tersebut. Mary terlalu manja sehingga selalu saja membuat orang tua menjadi resah. Apa aku harus berbicara pada Bastian atau bagaimana, pikirnya.
Meg kembali ke ruang depan. Ia melihat Harlan sedang di kebun dengan buku bacaannya. Ia pasti sedang banyak pikiran, memikirkan Mary tentunya. Meg mengangkat gagang telepon rumah dan memencet nomor. Beberapa detik suara terdengar di telinga sedang terhubung pada orang di seberang sana.
"Halo, dengan kediaman keluarga Sambara, ada yang bisa dibantu?"
"Halo, Ainur, ini saya Meg Ibu Marry."
"Oh Ibu Meg, apa kabar lama tidak berkabar."
"Saya baik terima kasih. Bagaimana kabarmu Ainur, apakah Sambara masih sibuk diluar kota?"
"Ya, Sambara sedang di Semarang. Ada apa Bu?"
"Tidak perlu panggil aku Ibu, Ainur. Cukup panggil aku Meg saja."
"Oh iya, saya merasa kurang nyaman jika tidak menggunakan nama depan."
"Saya ingin menanyakan kabar Mary. Apakah ia pernah berkunjung ke rumah?"
"Ya, beberapa hari lalu Mary datang ke rumah bersama teman perempuannya. Hanya sekadar berkunjung saja. Barangkali udara kota membuatnya jenuh dan ingin kembali sejenak ke rumah pedesaan yang jarang macet seperti rumah saya."
"Apakah ada ia mengatakan sesuatu?"
"Mengatakan apa maksudnya saya kurang mengerti."
"Ah, tidak Ainur mungkin ini hanya perasaan saja. Belakang Harlan terlihat begitu mengkhawatirkan Mary. Aku tidak bermaksud untuk menyinggung Bastian. Aku yakin ia menjalankan perannya dengan sangat baik sebagai suami. Aku mengenalnya dulu ketika magang sebagai asisten di perusahaanku. Dan kupikir ia orang yang cakap dalam menyelesaikan setiap masalah, apalagi hanya masalah rumah tangga. Biasa bukan dalam rumah tangga terjadi percekcokan, itu sesuatu yang wajar."
"Iya, Bu. Maksud saya Meg, memang pernikahan bukan sesuatu yang mudah bagi sebagian orang. Ada tanggung jawab yang berat di sana."
"Ya, kupikir kau paham apa yang sedang kita bicarakan ini. Mungkin Harlan hanya sedang merindukan sosok Mary kecil dahulu saja."
"Iya, barangkali seperti itu. Orang tua juga kerap merindukan masa lalu nya dengan anaknya. Namun, jika boleh saya sarankan, lebih baik bawa Harlan untuk menemui Mary, cukup mereka berdua saja. Mereka dapat bercakap antara Ayah dan puterinya."
"Ya, ide baik Ainur. Terima kasih banyak atas percakapan ini, kau sangat membantu."
"Sama-sama, senang kau menghubungi, sering-seringlah dan jangan lupa untuk berkunjung ke rumah."
"Tentu, selamat sore."
"Selamat sore."
Ainur menutup telepon. Ia meremas-remas genggaman tangannya. Meg, belum mengetahuinya ternyata, pikirnya. Ainur semakin gelisah dengan perasaannya sendiri. Meskipun Bastian adalah anaknya namun perangai anak itu berubah semenjak ia sudah bekerja. Entah, apakah karena pergaulan sesama kantor atau ia hanya berusaha beradaptasi saja. Namun, tabiatnya tidak lagi seperti Bastian yang dahulu. Ia bahkan jarang mengunjungi Ibunya sendiri, ia begitu sibuk dengan dunia kerja dan hiruk pikuk perkotaan sampai lupa pada kampung halaman. Bastian bukan lagi anak laki-laki yang dikenal ibunya. Ia sudah beranjak terlampau jauh bahkan sampai sulit diprediksi. Dan ketika Bastian menikah beberapa bulan yang lalu pun, Ainur tidak mengetahui secara pasti siapa calon istrinya kelak. Sampai akhirnya istri tersebut datang sendiri kerumah mertuanya dan meminta untuk berpisah.
"Apa yang sudah kau lakukan, Bastian?" Ainur berbicara sendiri seolah-olah Bastian mendengarnya.
***
"Mary, sebaiknya kau urus saja segera gugatan ke pengadilan. Kalau kau menunggu Ibunya Bastian berpikir akan lebih lama. Jangan tunggu ia memukulmu lagi baru setelah itu kau sadar."
"Aku tahu, Bil. Namun, kau tahu jika Ayah dan Meg belum mengetahui kabar ini. Terutama Meg, kau tahu sendiri ia akan berulah seperti apa. Ia yang mengenal Bastian bukan aku. Seingatku Bastian adalah salah satu magangnya dulu di perusahaan."
"Ah, Meg. Mengapa ia berumur panjang?"
"Bil..."
"Oh maaf terkadang aku tidak menyadari ucapanku sendiri."
"Kita harus pasang strategi jika hendak bicara dengan, Meg. Ia akan sangat menentang ide perpisahan ini."
"Kalau kau mau, kau bisa ajak aku dengan senang hati aku akan ikut."
"Tapi kumohon kau jangan bicara sembarang. Terutama di depan Meg aku tidak suka jika memandangmu sebelah mata."
"Astaga, Mary kapan aku bicara sembarangan? Aku selalu memperhatikan ucapan dan sikapku jika di depan orang, terutama Meg. Aku tahu penyihir itu bisa berbuat begitu kejam baik padamu maupun padaku."
"Kau ini bisa saja."
"Yah, memang begitu. Ada baiknya kau bicara pada Harlan terlebih dahulu, aku juga rindu orang tua satu itu."
"Kurang ajar kau. Ia Ayahku tahu."
"Ya, aku tahu, ia sudah kuanggap sebagai Ayahku sendiri sejak dulu semasa sekolah."
"Sudah lama rasanya tidak berjumpa dengan Ayah, bagaimana kabarnya sekarang?"
"Barangkali kita bisa berkunjung ke rumahnya, namun saat Meg pergi ke kantor. Jika ada ia semua terasa tidak enak. Kau tahukan di dunia permeditasian yang kupelajari, ada seseorang yang memiliki aura yang cukup suram. Ia memiliki aura yang dapat membuat seseorang merasa terintimidasi, aura jahat yang memang dari lahir ia miliki."
"Bil..."
"Aku serius, aku sedang tidak bercanda, apa aku terlihat bercanda?"
"Iya, aku sedikit khawatir jika berhadapan dengan Meg nantinya."
"Ya, aku juga khawatir, ia seperti penyihir dengan rambut putih yang menandakan usianya sudah berapa."
"Ayo, kita pergi. Jangan bahas Meg terus."
"Kau yang mulai."