Bab 10 Benda Kepemilikan Bastian
Bab 10 Benda Kepemilikan Bastian
Keadaan apartemen masih sama seperti biasanya. Tidak ada yang menarik. Piring kotor semakin membuat Mary muak dan tidak bergairah. Beberapa pakaian berserakkan di lantai, beberapa pakaian kotor lainnya masih menumpuk di lantai. Ah, mengapa apartemen yang seharusnya menjadi rumahku menjadi buruk seperti ini. Barangkali aura negatif Bastian yang telah membuat ruangan ini menjadi semakin buruk dan suram, pikir Mary. Akhirnya kumpulkan niat untuk membersihkan semuanya, tidak terkecuali wilayah Bastian.
Namun, hanya bagian luarnya saja, tidak sampai masuk ruangan. Pakain, piring dan segala debu yang kotor habis di tangannya. Ia harus membersihkan apartemen ini dari aura negatif yang suram. Mary menyalakan pengeras suara dan memutar lagu ABBA- Dancing Queen. Ibu suka dengan band lawas. Ia sering katakan bahwa band lawas memiliki ciri dengan lirik dan nada yang hidup.
"Apartemenku, uangku dan kopiku!" Ia bergegas mengambil sapu dan kain pel.
Setengah jam berlalu hampir semua wilayah telah selesai bersihkan. Ia tidak ingin masuk ke ruang Bastian, namun lantai dan udaranya terasa begitu kotor. Akhirnya ia buka sejenak dan hanya menyapu bagian permukaannya saja. Namun, semakin lama ia semakin penasaran. Dokumen apa yang dulu membuatnya sampai marah bahkan menamparnya.
"Dasar bajingan tengik, beraninya ia menamparku." papar Mary pada dirinya sendiri.
Akhirnya ia beranikan diri untuk masuk lebih dalam. Ia memberanikan diri untuk menyapu sampai ke meja kerjanya. Ada banyak lembaran kertas dengan cap stempel perusahaan yang tidak dimengerti Mary. Banyak pula laporan keuangan dengan deretan angka-angka dengan nominal yang tidak sedikit. Mary masih fokus pada pekerjaannya. Sampai tidak sengaja ia menyandung salah satu laci belakang meja.
"Aduh! Ah laci sialan!"
Mary melihat laci tersebut terbuka. Ada sesuatu di dalam sana yang membuat Mary penasaran. Mary mengangkat sebuah alat panjang berwarna mirip dengan kulit manusia. Apakah ini sex toys? tanya Mary pada dirinya.
"Mengapa ia memiliki alat seperti ini?"
Mary bergidik membayangkan apa yang dilakukan Bastian dengan alat seperti ini. Mary lebih takut membayangkan siapakah Bastian sebenarnya. Saat itu pula Mary langsung menelepon Sabil. Dering telepon berdering beberapa detik, namun tidak pula diangkat oleh Sabil. Mary mengulang panggilan kembali. Masih juga tidak diangkat.
"Kemana ini anak?"
Akhirnya Mary masukkan kembali alat tersebut ke tempat semula. Ia takut jika tiba-tiba Bastian datang dan memergokinya menggeledah barang-barangnya. Padahal itu suatu ketidaksengajaan. Mary segera keluar dari ruangan dan menutupnya kembali. Setelah selesai dengan semua bersih-bersih yang cukup melelahkan sekaligus mengejutkan.
***
Langit kembali gelap dengan mendung yang kehitaman di ujung sana. Angin terlihat kencang jika dilihat dari lantai apartemen Mary. Musim penghujan adalah musim yang paling disukai Mary. Semesta tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini. Sudah beberapa bulan ia tinggal sendirian di apartemen ini. Seperti milik pribadi padahal harusnya terdapat orang disamping untuk saling berbagi. Mary menghelakan nafas panjang dan dalam. Ia hidup kopinya yang masih panas. Sungguh nikmat yang tidak ada duanya. Setelah lelah dengan riuh rendah bercakap dan berdrama dengan manusia, akhirnya ia dapat memulihkan kembali diri dan pikirannya.
"Ah lebih baik seperti ini. Aku bisa lebih tenang dan bahagia jika hidup seperti ini," paparnya sendirian.
Di samping meja terdapat foto Ibu mengenakan piyama di ranjang rumah sakit. Masa kehilangan Ibu adalah masa yang teramat sulit bagi Mary dan Ayah. Mary tidak merasa bahwa Ibu telah pergi selamanya. Ia hanya pergi sejenak entah sedang belanja ke supermarket atau sedang latihan di teater seperti sebelumnya. Ibu tidak pergi lama dan akan segera kembali. Pikiran yang selalu menancap pada benak Mary. Ia selalu beranggapan bahwa Ibu masih ada. Ia akan datang dan mendekap Mary dengan erat untuk menenangkan dengan aura keibuannya yang luar biasa. Ia akan berbicara dengan nada lembut dan menghanyutkan membuat orang terlena di pangkuannya. Ibu adalah pendongeng ulung. Mary tidak akan pernah bisa tidur sebelum Ibu mendongeng.
Namun, sekarang Mary hanya mampu melihat Ibu dari foto tersebut. Ibu tidak pernah kembali seperti yang diperkirakan Mary. Ia telah pergi meskipun kehadiran tidak berwujud fisik namun rohnya selalu ada didekat Mary. Itulah setidaknya yang dapat membuatnya tenang dan tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya. Mary mengambil foto tersebut, Ibu tampak cantik meskipun selang infus berada di hidungnya.
"Ibu, Mary sudah menikah sekarang. Mary berharap Ibu hadir di pernikahan yang Mary inginkan. Namun, pernikahan tersebut bukan pernikahan yang Mary inginkan, Bu. Mary tidak melihat pernikahan seperti Ayah dan Ibu dahulu. Yang selalu ceria dan senang dalam keadaan apapun entah sedang suka maupun duka. Bahkan ketika Ibu sakit pun, Ibu tetap berusaha menguatkan Mary agar tetap mau berangkat sekolah. Mary tidak suka di sekolah karena banyak teman-teman yang suka mengolok-olok Ibu. Mereka bilang Ibu akan segera pergi, Mary tidak percaya itu. Namun, Mary semakin tahu bahwa itu benar.
"Bu, terkadang Mary merasa kesepian, meskipun Ibu pernah berucap bahwa orang terkuat di dunia adalah mereka yang tahan dengan segala kesendirian dan kesunyian dalam jiwanya. Namun, terkadang Mary butuh seseorang, Mary butuh Ibu. Mary harap Ibu tenang disana. Jangan terlalu mengkhawatirkan Mary. Mary akan selesaikan masalah ini dengan cara Mary sendiri. Tuhan selalu baik pada Mary dengan mengirim orang-orang yang baik pula. Ibu pasti ingat dengan Sabil dan Tria dulu. Dua anak itu masih sama seperti dulu meskipun mereka sudah mulai menua. Mary senang mereka ada didekat Mary. Mary sangat menyayangi Ibu, peluk cium dari jauh untuk Ibu."
Mary mengusap foto dalam pigura tersebut dan menciumnya beberapa kali. Air matanya mengalir begitu saja. Ia sangat merindukan Ibunya. Perempuan Dandelion yang tahan banting atas segala ombak kehidupan yang keras dan ganas. Perempuan yang tetap berdiri tegap meskipun terbentur berulang-ulang kali. Ia bukan perempuan sembarang, ia begitu tangguh dengan segala yang menimpanya.
"Mary, ingin Ibu berada di sini, di apartemen ini," papar Mary sesenggukan. "Mary ingin Ibu di sini untuk menguatkan Mary atas segala yang terjadi. Mary semakin takut untuk melangkah, Bu. Mary merasa sendirian dan tenggelam. Ibu, Mary merasa takut."
Mary kembali menenggelamkan wajahnya pada figura itu. Ia tidak habis-habisnya memanggil Ibu untuk hadir dan merangkulnya dari belakang. Mendekapnya dengan sentuhan kasih sayang Ibu yang menghangatkan. Ia ingin Ibu untuk mengusap rambut panjangnya dan memberikan kecupan tulus di kening dan mengatakan -- Mary, kau akan baik-baik saja. Kau perempuan Ibu yang tangguh. Namun, itu semua hanya ada di benak Mary seorang.
Tiba-tiba telepon berdering. Mary segera mengusap air matanya dengan menyeka tissue. Ia mencari ponselnya di sofa.
"Halo, Sabil!"
"Hello, what's up?"
"Mengapa kau sok berbahasa Inggris."
"Ya ampun, ya sudah ada apa? Aku tadi sedang keluar sejenak mencari kebab. Kenapa kau?"
Mary terdiam sejenak memikirkan apa yang barusan terjadi. Apakah ia harus segera memberitahu Sabil atau jangan dulu. Ia merasa kebingungan sendiri.
"Hey! Apa kau sedang melamun seperti biasanya. Aku masih disini dan bertanya ada apa?"
"Aku hanya ingin bertemu Ayah saja, apa kau ada waktu untuk pergi denganku kapan-kapan."
"Hmm biar kupikir sejenak, sepertinya ada. Aku bisa segera mengerjakan permintaan klien dan pergi ke rumah Ayahmu."
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Bil."
"Sama-sama. Hei apa kau yakin tidak ada yang ingin dibicarakan?"
"Tidak ada, Bil. Aku baik-baik saja."
"Baiklah. Jika ada apa-apa kau bisa segera hubungi aku atau Tria, tidak perlu merasa sungkan atau apalah. Jika tidak kau bisa ke apartemenku, menginap semaumu pun tidak menjadi masalah. Asal kau bawa baju ganti dan perlengkapan mandi sendiri."
Mary tertawa mendengarnya.
"Aku serius, nona muda. Jangan merasa tidak enak hati atau takut merepotkan, mengerti?!"
"Siap, Bunda!"
"Anak baik. Istirahatlah jangan terlalu memikirkan hal yang tidak perlu atau belum kejadian. Itu akan menyusahkanmu sendiri."
"Kau ini!"
"Aku selalu benar, Mary, percayalah denganku."
"Ah! Sesat jika mengikuti saranmu. Aku tutup ya."
"Oke!"
Aku akan menceritakan soal alat tersebut nanti diwaktu yang tepat, pikir Mary.