Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Keterlibatan Tria

Bab 11 Keterlibatan Tria

"Bas, asal kau tahu kau sudah menikah. Bagaimana mungkin kau tidak memberitahuku. Apa yang akan orang katakan jika sampai tahu hubungan gelap kita. Apa kau pernah memikirkan perasaan istrimu."

Bastian masih terdiam dengan menunduk dalam. Ia merasa begitu hina ketika Jay mengatakan demikian. Mereka sudah lama kenal satu sama lain. Namun, Jay tidak sampai hati jika akan meneruskan hubungan mereka selama ini.

"Apakah istrimu tahu apa yang kau lakukan selama ini. Kau tidak hanya menyakiti dirinya, namun kau juga menyakiti diriku bahkan dirimu sendiri. Apa kita sudahi hubungan dan kegilaan ini."

"Tapi aku tidak ingin, Jay. Aku lebih nyaman seperti ini."

"Nyaman darimana, apa kau sudah gila? Tidak ada kenyamanan dalam hubungan kita. Kau selalu harus bersembunyi layaknya tempurung kura-kura. Kau selalu bersembunyi dibalik kata-kata untuk mengelabui istrimu sendiri. Bagaimana jika ia tahu, aku yakin selama ini kau tidak memperlakukannya dengan baik. Namun, kenyataannya kau sendiri yang tidak dapat mengambil sikap. Apa yang kau pikirkan selama ini?"

Bastian mendesah mengasihani dirinya sendiri.

"Apa yang kau pikirkan selama ini? Tidakkah kau menghargai perasaan pasanganmu, meskipun kau tidak mencintainya."

"Aku tidak tahu, Jay. Aku tidak tahu jika akan berakhir rumit seperti ini."

"Setiap hubungan apapun itu pasti akan rumit, Bas. Tidak ada yang mudah dalam hidupnya termasuk hubungan kita. Sudah berapa lama kita harus menyembunyikan ini semua. Kukira kau akan tetap bersamaku, namun kenyataan justru kau menikah dengan orang lain."

"Itu semua karena keluargaku. Aku tidak ingin menikah sama sekali, aku ingin tetap seperti ini."

"Seperti apa? Hubungan tanpa kepastian seperti kita ini. Kau tahu pandangan masyarakat akan orang seperti kita, Bas. Mereka mengutuk kita habis-habisan, tidak ada ruang bagi kita untuk tetap bersama."

"Ya, aku tahu. Itulah mengapa aku ingin kita pergi ke luar negeri dan melegalkan hubungan ini. Cinta adalah cinta, Jay."

"Aku tidak dapat melanjutkan hubungan ini, Bas. Aku tidak sampai hati pada pasanganmu, istrimu sendiri."

"Tapi, kami sudah membuat perjanjian di awal menikah. Aku tidak akan mencampuri hidupnya, begitupun sebaliknya."

"Apakah itu disepakati bersama atau hanya sepihak dari kau. Aku yakin ia tidak mengetahui hubungan kita ini, bahkan ia tidak mengenalmu sama sekali. Darimana kau kenal dirinya?"

"Meg, ia direktur di perusahaan ketika aku magang menjadi asisten dulu. Meg adalah ibu tirinya. Namun, aku ingin bersamamu, Jay aku sungguh-sungguh, aku tidak akan mengkhianatimu."

"Namun, kau mengkhianat perempuan itu, aku yakin ia perempuan yang baik."

"Tidak, Jay, kau tidak mengerti."

"Dan bagaimana jika itu terjadi denganku, bagaimana jika kau beralih dengan orang lain. Kau akan meninggalkanku pula, bukan?"

"Jay, tidak, Jay aku tidak bermaksud demikian. Aku--"

Jay keluar ruangan dengan kesal. Bastian berdiri kaku setelah pertengkaran yang kesekian kalinya terjadi. Ia tidak ingin berpisah dengan Jay. Sudah lebih dari empat tahun mereka bersama meskipun tanpa ikatan apapun. Namun, Jay berubah ketika ia sudah menikah pada Mary. Bastian salah memperkirakan, ia pikir Jay akan tetap sama seperti dulu. Ia tidak akan menyentuh Mary, namun Jay merasa telah dilangkahi oleh orang lain. Dan Bastian menerima langkah tersebut sebagai persetujuan dengan digelarnya pernikahan.

***

Suara dering telepon rumah terdengar nyaring pagi-pagi. Suara rengekan anak balita yang kesulitan menyuapi bubur membuat pagi terasa begitu heboh. Sang Ayah bolak-balik memperhatikan kedua anak perempuannya dan satu bocah laki-laki. Sedangkan sang Bunda sibuk di dapur membalikkan telur setengah matang yang dicampur lada.

"Ayah, jangan lupa celananya Cendana, kemarin lupa lupa lho. Sampai sekolah baru ingat kalau Cendana belum pakai celana."

"Iya, ini lagi dicari celananya."

Suara dering telepon terdengar lagi, namun tidak ada salah satu keluarga yang sempat untuk mengangkatnya.

"Sudah semuanya. Ayo masuk mobil nanti terlambat. Cium Bunda dulu."

Semua masuk mobil berbondong-bondong dengan tas ransel dan bekal makan siang tidak terkecuali si Ayah.

"Sayang, aku pergi dulu ya. Barangkali aku akan pulang malam, jadi minta maaf jika kau akan repot."

"Ya, aku tahu, hati-hati semuanya, jangan lupa catat pekerjaan rumah untuk besok jangan buat Bunda repot dengan harus menelpon guru sekolah."

"Iya, Bun. Daahh!"

Suara telepon rumah tidak berdering lagi. Bunda masuk kerumah dengan segala tumpukkan pekerjaan yang akan membebaninya sampai pukul satu nanti. Barangkali rebahan sejenak bolehlah, pikirnya. Lima menit kemudian telepon rumah berdering kembali, Bunda beranjak menuju samping kulkas.

"Halo!"

"Halo, ups maaf apakah ini Bunda Maya?"

"Ya, dengan saya sendiri."

"Halo Bunda, ini Sabil."

"Oh, Sabil! Sudah lama tidak bertemu ya. Ada apa pagi-pagi menelpon?"

"Bunda, aku sedang mencari Tria. Sejak kemarin kuhubungi sulit sekali. Apakah ia sedang sibuk."

"Ia baru saja berangkat ke kantor dengan anak-anak ke sekolah. Ya, kalau pagi memang selalu riuh, Sabil. Memiliki tiga anak kecil yang beranjak besar cukup melelahkan sekaligus menyenangkan juga."

"Wah, kangen sama tiga krucil jadinya. Baiklah, Bun nanti aku hubungi Tria saja. Terima kasih Bun."

"Sama-sama, Bil."

Sabil menutup teleponnya.

"Orangnya lagi sibuk."

"Sibuk kerjanya ya?"

"Sibuk sama anak-anaknya. Memang seperti itu jika sudah punya anak, apa-apa jadi serba riuh, entah dengan suara tangisan, rengekan, teriakan. Aduh aku tidak dapat membayangkannya."

"Kau saja yang belum bisa, nyatanya Tria sanggup menghidupi istri dan ketiga anaknya."

"Mary, itulah sebabnya mengapa aku belum menikah sampai sekarang. Aku tidak peduli orang hendak berbicara apa mengenai diriku. Kau lihat telingaku ini, aku sudah kebal dengar itu semua. Lucu sekali aku pernah berjalan dengan tiga temanku ketika sedang menjalankan project dengan salah satu seniman di Yogya dulu. Kemudian datang ibu-ibu yang menawarkan pakaian, setelah itu ia bertanya satu persatu dengan kami apakah kami sudah menikah. Kedua temanku memang sudah menikah, sehingga ia tersenyum senang mendengar itu. Namun, ketika ia bertanya denganku aku mengatakan bahwa aku belum tertarik untuk menikah saat itu. Ketika itu aku berusia 26 tahun, lalu ia mengernyitkan dahi dan merasa aneh dengan jawabanku. Kedua temanku mengerti dan aku menjelaskan bahwa barangkali jodohku belum datang, Bu. Kemudian ia memberikan wejangan gratis yang bahkan tidak kuminta. Ia menyarankan ku untuk segera menikah. Terutama jika sudah mau memasuki kepala tiga sepertiku ini. Perempuan memiliki tanggal kadaluarsa nya, katanya. Dan aku hanya tertawa lantas pergi begitu saja. Barangkali ia tidak enak hati dengan tertawaku, namun aku juga merasa tidak enak hati ketika ada orang yang menceramahiku terkait persoalan pribadi. Lucu bukan?"

"Aku bingung harus tertawa atau bagaimana."

"Ya, bagiku itu sesuatu yang lucu dan tidak masuk akal, Mary. Kau bayangkan saja siapa ibu-ibu bisa memberi ceramah moral soal hidupku. Apa jangan-jangan ia ibuku di masa lalu."

"Bicara apa kau ini?"

"Aku serius, Mary. Apakah aku akan bahagia hanya dengan menikah. Jika kau sudah menginjak usia 25 tahun maka kau harus bersiap untuk menikah. Ajaran dari mana itu? Tentunya dari masyarakat kita yang patriarki dan masih terbelenggu dengan adat tradisional. Apakah dengan aku menikah saat ini lantas aku akan bahagia? Apakah aku akan bahagia, Mary?"

Mary terdiam dengan pertanyaan Sabil. Pertanyaan itu terdengar konyol namun menohok dihati Mary. Itulah yang terjadi dengannya saat ini. Ia merasa tidak bahagia, sama sekali. Justru hidupnya semakin kacau dan berantakan setelah ia menikah. Ia jauh merasa lebih tenang ketika dulu masih sendiri dan sibuk dengan segala aktivitas yang ia inginkan. Tidak ada kekangan yang berarti dari manapun. Kalaupun ada ia dapat mengatasinya sendiri dan bukan menjadi masalah yang berkepanjangan. Namun, sekarang semuanya berbeda. Ia masuk ke dalam lingkaran yang jauh dari prediksi. Siapa mengira bahwa semesta akan menempatkannya pada lingkaran permasalahan yang sungguh sukar baginya.

Lain dengan di kantor ia dapat menyuarakan suara perempuan yang melawan untuk bebas dari segala ketertindasan baik di ranah domestik maupun publik. Namun, ia tidak berani menyuarakan suaranya sendiri. Mary semakin hanyut dalam penyesalan yang ia buat sendiri. Mengapa ia tidak berani untuk berkata tidak pada sesuatu yang tidak diinginkan. Mengapa ia harus menerima pernikahan yang ditawarkan oleh Meg ini. Mary semakin menyesal. Apa yang ia geluti tentang sejarah perempuan dan feminisme ternyata sulit untuk diterapkan dalam dunia nyata. Justru ia masih terkungkung pada pemikiran kolot yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.

"Hei! Mengapa kau melamun, kau tidak mendengarkan ku ya?"

"Aku mendengarkanmu, Bil. Aku hanya sedang berpikir saja."

"Apa yang kau pikirkan. Ya, kau memang sebaiknya memikirkan bagaimana caranya berhadapan dengan Meg. Aku sudah merasakan auranya dari sekarang."

"Kau ini bisa saja." Mary tersenyum geli karena memiliki teman konyol sekaligus sarkas seperti Sabil.

"Habis kau punya keluarga juga lucu sih. Ada saja karakter yang menyeramkan seperti itu."

"Ah, seandainya aku bisa sepertimu, Bil. Aku melihatmu begitu bebas dengan prinsip dan moral yang kau buat sendiri, tidak pusing dengan perkataan orang, tidak pula kau ambil hati. Kau hanya melakukan apa yang kau senangi dengan sepenuh hati. Aku ingin seperti itu, Bil."

"Astaga, apa yang barusan kau bicarakan, nona muda?" papar Mary seraya merangkul Mary. "Setiap orang memiliki peran hidupnya masing-masing. Kau tidak harus menjadi diriku atau sebaliknya. Aku justru berandai-andai dapat menjadi dirimu."

"Mengapa demikian?"

"Ya, karena kau dapat membawa keteduhan dan ketenangan dimanapun kau berada. Aku suka dengan aura dan pengaruhmu ketika menggerakan orang lain. Jika tidak ada kau siapa yang akan membuka jalan diskusi, menulis mengenai ketertindasan perempuan dan ketidakadilan yang kerap dilakukan oleh orang-orang berduit. Kau memiliki karakter yang hanya dirimu seorang yang punya, dan kau patut bangga akan hal itu. Kau mungkin merasa ini menggelikan, namun aku suka dengan kesederhanaan sekaligus kharisma yang kau miliki. Itulah sebabnya mengapa aku senang dan mau berteman denganmu ketika sekolah dulu. Aku jadi ingat, dulu kau jarang memiliki teman. Asal kau tahu itu bukan karena dirimu membosankan atau tidak populer. Itu karena kau tidak suka dengan pertemanan tataran permukaan. Yang hanya datang ketika senang saja, namun pergi ketika susah. Tidak banyak orang yang dapat menerima itu. Jadi, berbanggalah atas dirimu sendiri, sayang."

Mary tersenyum mendengar celoteh temannya barusan. Sabil selalu seperti ini, ia tidak pernah berubah. Ia selalu mampu melihat celah kecil kebaikan dari orang terdekatnya. Bahkan Mary sendiri tidak menyadari bahwa ia memiliki kharisma pada dirinya. Namun, Sabil menyadari hal tersebut.

"Hubungi Tria, dia harus ikut kita."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel